Perspektif

Murid Menjadi Korban KDRT, Guru Sebaiknya Bagaimana?

4 Mins read

Seperti saya versi muda, sebagian besar anggota masyarakat hingga hari ini pun rasanya masih cenderung diam waktu mendengar atau melihat peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Anak setan, kamu! Soal gampang kayak gini aja nggak bisa!!!”
“Dasar! Gobl*k banget, otakmu di mana???”

Begitulah makian yang dulu kerap diteriakkan tetangga sebelah rumah saya ke anaknya. Peristiwa di atas terjadi saat saya masih muda dan bodoh. Seharusnya saat itu saya tidak diam.

Ini tentu mengkhawatirkan. Apalagi, di masa pandemi angka KDRT meningkat. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik pada Juli 2020 melaporkan bahwa tahun 2019 mereka menerima rata-rata 60 pengaduan kasus KDRT per bulan. Pada masa Working from Home (WFH), jumlah tersebut jadi 90 per bulan.

Saksi yang diam memang banyak, tapi korban yang diam jauh lebih banyak. Korban yang melapor jumlahnya meningkat tapi korban yang tetap tak berkutik. Hitungannya lebih banyak. Jumlah kasus yang sampai di meja pengaduan selalu saja hanyalah pucuk dari sebuh gunung es.

Pembelajaran Jarak Jauh Itu Melelahkan

Pada  Oktober  2020, beredar video seorang anak SD sedang mengadu sambil menangis kepada Mas Menteri tentang betapa meletihkannya pembelajaran jarak jauh (PJJ). Ibunya merekam sambil tertawa-tawa. Video anak yang sedang stress menghadapi PJJ kerap viral, pelaku awal sirkulasi video hampir pasti orang tua. Jumlah orang tua seperti ini tidak bisa dibilang sedikit karena satu saja sebenarnya sudah terlalu banyak.

Ironisnya, video tersebut banyak ditanggapi netizen dengan tawa. Sungguh selera humor yang menyeramkan. Mbok ya belajar untuk bergembira di atas keceriaan anak, bukan di atas kesusahan mereka. Tertawa juga butuh etika.

Mereka (eh, kita?) sering lupa bahwa anak kecil adalah manusia utuh, bukan setengah anak kecil dan setengah manusia. Perasaan mereka belum tentu benar tapi wajib dihargai. Kalau salah dikoreksi. Jika benar ya dikonfirmasi.

Baca Juga  Membuka Sekolah Saat Pandemi: Kepastian dalam Ketidakpastian

Haelah, baperan amat, itu cuma becanda.” Sinonim dari kalimat itu rasanya adalah kalimat ini,” Yuk, mari kita melestarikan kebiasaan yang salah.” Betul begitu?

Cobalah  lihat PJJ dari mata anak TK-SD; mereka duduk terus, tidak bertemu teman dan guru favorit. Tugas menumpuk. Sangat jarang ketawa ngakak. Orang tua di rumah mungkin berkonflik dengan tajam. Bocah-bocah ini letih lahir batin.

KDRT dipahami sebagian orang hanya sebagai kekerasan fisik. Padahal, dalam konteks kekerasan kepada anak, sikap acuh tak acuh atau pengabaian  terhadap  hak anak juga termasuk bentuk kekerasan. Jenisnya terbagi empat yaitu pengabaian akan kebutuhan fisik, emosi, pendidikan, dan medis.

Ketika anak mengalami pengabaian di rumah, maka sekolah punya tugas tambahan karena kesejahteraan atau wellbeing murid adalah salah satu kunci kesuksesan pembelajaran. Pedagogi keren dan materi yang menarik tak bisa berfungsi secara optimal jika kesehatan mental murid terlantarkan. Isu KDRT sebaiknya diperhatikan karena  efeknya destruktif  terhadap wellbeing mereka.  

Sekolah Sebaiknya Bagaimana?

Ini settingnya online, susah sekali. Memang sangat sulit tapi tetap harus dilakukan, bukan? Mas Menteri  pernah mengajukan sebuah pertanyaan retoris yang menarik, “Sejak kapan sangat sulit menjadi kriteria untuk tidak melakukan apa yang harus dilakukan?”

Memang susah sekali dan hasilnya bisa jadi minimal. Namun, PJJ tidak akan berlangsung sampai selama-lamanya kecuali dunia kiamat besok atau bulan depan. Vaksin akan ditemukan dan murid kelak kembali ke sekolah. Hasil yang diperoleh guru sewaktu PJJ bisa ditindaklanjuti.

“Ribet. Fokus mengajar aja dulu. Kebutuhan emosi murid urusan nanti, saat sekolah sudah dibuka,”  begitu mungkin kata sebagian  guru. Namun, jika sikap demikian ditolerir, bukan tidak mungkin segalanya akan terlambat. Siapa tahu saat  sekolah tatap muka kembali dimulai, sebagian murid sudah  terlanjur agak gila sedikit.

Baca Juga  KPK (Harus) Mati!

Kepala sekolah sebaiknya mengundang psikolog untuk memberi training kepada guru tentang ini. Guru meminta murid untuk menulis jurnal adalah salah satu solusi yang efektif namun ada caranya, bukan hanya asal menulis. Cara bertanya pun ada tekniknya.

Apa yang Bisa Dilakukan Guru?

Jadi, di luar pelatihan, salah satu hal yang bisa dilakukan  adalah mengidentifikasi apakah murid berada dalam lingkaran KDRT. Guru bisa bertanya langsung. Jika itu sulit, guru bisa memanfaatkan fitur emoji yang ada pada video conference.

Salah satu ide adalah bertanya seperti ini, ”Kalau pagi ini kamu sedih, coba klik emoji yang ini,” lalu beri contoh.  Bisa juga guru mengoptimalkan ekspresi wajah, menggunakan gambar atau memanfaatkan chatting box. Gali informasi dalam jenis instruksi yang berbeda-beda. Lakukan berkali-kali. Nanti guru akan menemukan pola jawaban mereka. 

Guru juga bisa membuat survey.  Periset biasanya menggunakan skala 1-5: Sangat tidak suka, tidak suka, dan seterusnya. Modifikasi saja jadi 6 bahkan 7, dimulai dengan ”Ya nggak suka lah Buuuu, itu udah jelas toh.” Skala intensitasnya bisa dibuat lebih variatif.

Secara teoretis itu akan disalahkan para peneliti handal tapi pengetahuan toh tidak statis dan saat mempraktikannya kerap ada dinamika.  Teori yang sudah teruji kesahihannya harus dihormati namun sesekali ia perlu mengalah terhadap kreativitas dan intuisi.

Cara lain adalah berdiskusi di kelas tentang kesehatan mental dan KDRT. Guru bisa memberi mereka bacaan dan film terkait topik tersebut. Selain itu, guru  sebaiknya secara eksplisit menyampaikan bahwa menghakimi adalah tindakan yang dilarang keras dalam kelas. Cara mengkomunikasikannya tentu saja harus disesuaikan dengan usia murid.

Ciptakan kelas sebagai tempat yang nyaman. Mainkan games sebelum belajar, berikan ice breakers, dan sapa murid di grup  dengan emoticon lucu. Itu akan membuat mereka rileks.  Nyleneh nggak apa-apa yang penting jangan rasis dan gambarnya tidak pornografis.

Baca Juga  Kritik Ivan Illich Terhadap Pendidikan Masa Kini

Sebagian dari mereka akan mudah terbuka  jika kelas kita tidak angker. Salah satu ide terbaik adalah guru lebih dahulu membuka diri.  Saya terbuka tentang beberapa rasa sakit yang pernah saya alami di masa lalu. Hasilnya saya  raup dengan asyik; sebagian anak didik cenderung mudah terbuka kepada saya karena saya sudah membuka diri terlebih dulu. “Don’t waste pain, use it for others,” kata Rick Warren.

***

Pendidik introvert tentu gelagapan dengan ide semacam ini, maka carilah strategi lain. Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya; tantanglah kreativitasmu.

Sebagian bisa jadi akan berkomentar begini, “Aduh, susah banget ya jadi guru.” Memang, betul sekali, teacher is the mother of all professions.  Mana mungkin profesi sepenting itu kerjanya mudah?

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
2 posts

About author
Pengajar
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds