Jika ada tokoh yang rela menjadi martir demi tegaknya demokrasi dan toleransi di Indonesia, maka salah satunya adalah Prof. Siti Musdah Mulia.
“Saya dimaki dan di-bully. Saya tidak peduli walau harus jadi martir sekalipun. Ini saya lakukan untuk bangsa kita,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan salah satu media.
Todung Mulya Lubis, tokoh di balik penghargaan Yap Thiam Hien, menyebut Musdah Mulia sebagai sosok yang “mau dan berani bersuara”. Atas dasar itu, Musdah diganjar penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 2008.
Salah satu hal menarik dari Musdah adalah bahwa ia kerap membatalkan salat berjamaah ketika ia mendengar bacaan imam salat yang sumbang. Pelafalan ayat-ayat dengan tidak tepat menunjukkan bahwa imam tidak kredibel untuk memimpin salat. Baginya, imam salat adalah soal kompetensi, bukan soal gender.
Ia meyakini bahwa Ummu Waraqah, seorang sahabiyah pernah menjadi imam salat bagi sebagian sahabat laki-laki. Hal tersebut menjadi dasar bolehnya perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki selama memiliki kompetensi yang dibutuhkan.
Nama Musdah Mulia memang lekat kata kontroversi. Sebagaimana kita ketahui bersama, orang-orang yang ingin melaksanakan perubahan selalu mendapatkan tantangan dari orang-orang yang menginginkan status quo. Musdah Mulia memposisikan diri sebagai orang yang membawa angin perubahan dan menantang status quo.
Deretan kontroversi yang melekat pada diri Musdah antara lain ketika ia membela LGBT, membela pernikahan beda agama, menyebut jilbab sebagai budaya, dan yang paling heboh, isu Kompilasi Hukum Islam Kemenag tahun 2004.
Biografi Musdah Mulia
Siti Musdah Mulia lahir di Bone, Sulawesi Selatan pada 3 Maret 1958. Ibunya adalah perempuan pertama dari daerahnya yang berhasil mengenyam pendidikan. Neneknya, mendorong ibunya untuk masuk ke pesantren. Saat itu, keluarga tersebut mendapatkan tantangan dari masyarakat sekitar. Menurut masyarakat, perempuan tidak membutuhkan pendidikan. Keluarganya dikenal memegang teguh adat, agama, dan pendidikan.
Musdah mengawali pendidikan di salah satu SD di Surabaya. Setelah tamat, ia melanjutkan pendidikan ke Pesantren As’adiyah di Sulawesi Selatan. Musdah menempuh pendidikan tinggi program Sarjana Muda di Fakultas Ushuluddin jurusan dakwah Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Dua tahun kemudian, pada tahun 1982, ia menyelesaikan pendidikan bahasa dan sastra Arab IAIN Alaudin Makassar.
Sejak saat itu, ia menjadi dosen tidak tetap di IAIN Alaudin. Pada tahun 1985, Musdah dipercaya sebagai peneliti di Balai Penelitian Lektur Agama Makassar. Pada tahun 1990, ia bertolak ke Jakarta untuk menjadi peneliti di Balitbang Departemen Agama Pusat hingga tahun 1999.
Di Jakarta, ia tak hanya bekerja. Musdah juga melanjutkan pendidikan S2 sejarah pemikiran Islam dan S3 pemikiran politik Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia meraih gelar doktoral pada tahun 1997 dengan penelitian dan penulisan disertasi di Kairo, Mesir.
Setelah lulus S3, sembari menjadi peneliti di Depag, ia juga menjadi dosen di Institut Ilmu-Ilmu Alquran Jakarta hingga tahun 1999. Sejak tahun 1995, Musdah menjadi direktur Perguruan Al-Wathoniyah Pusat. Pada tahun 1997, ia bergabung sebagai dosen pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai aktivis demokrasi dan HAM, Musdah membekali diri dengan berbagai pelatihan tingkat nasional maupun internasional. Beberapa pelatihan yang ia ikuti antara lain kursus singkat mengenai Islam dan civil society di Universitas Melbourne, Australia (1998), kursus singkat pendidikan HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand (2000), kursus singkat advokasi penegakan HAM dan demokrasi (International Visitor Program) di Amerika Serikat (2000), kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan di Universitas George Mason, Virginia, Amerika Serikat (2001), kursus singkat Pelatih HAM di Universitas Lund, Swedia (2001), serta kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan Perempuan di Bangladesh Institute of Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh (2002).
Tak hanya itu, Musdah juga ditempa oleh dua tokoh besar pembaharu Islam: Gus Dur dan Harun Nasution. Sejak masih muda, ia aktif di Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) dan Fatayat NU. Hal tersebut membuatnya sering berinteraksi dengan Gus Dur. Sementara itu, ketika berada di UIN Jakarta, ia menjadi asisten dari Harun Nasution.
Bersama Gus Dur pula, ia mendirikan ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace). ICRP adalah organisasi lintas iman untuk mempromosikan perdamaian dan penegakan kebebasan beragama. Ia juga mendirikan Yayasan Mulia Raya bersama suaminya, Prof. Ahmad Thib Raya. Yayasan Mulia Raya memberikan pendidikan masyarakat sipil tentang penguatan literasi agama dan literasi kebudayaan keindonesiaan.
Karya Musdah Mulia
Dalam banyak karyanya, Musdah Mulia selalu konsisten menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan perdamaian. Beberapa karyanya antara lain Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (2005); Perempuan dan Politik (2005); Islam and Violence Against Women (2006); Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (2007); Islam dan Hak Asasi Manusia (2010); Muslimah Sejati (2011); Membangun Surga di Bumi: Kiat-Kiat Membina Keluarga Ideal dalam Islam (2011); Mengupas Seksualitas (2015), dan Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi (2020).
Pemikiran
Tidak mudah menjelaskan pemikiran seorang guru besar yang telah malang melintang dalam dunia aktivisme selama bertahun-tahun seperti Musdah Mulia. Namun, kalau boleh memeras, maka inti dari gagasan Musdah Mulia bisa diperas ke dalam beberapa poin.
Pertama, kesetaraan. Musdah Mulia mencoba membuat perempuan dan laki-laki menjadi setara. Hal ini tercermin dari keyakinannya bahwa perempuan berhak menjadi imam salat dari laki-laki. Ia juga menganggap bahwa orang-orang dengan orientasi seksual yang tidak lazim di masyarakat adalah manusia yang setara dengan manusia lain. Sehingga, kelompok tersebut berhak mendapatkan hak-hak atas ruang hidup, mata pencaharian, hingga hak untuk beragama, beribadah, dan berpasangan.
Kedua, kebebasan. Musdah Mulia selalu memberikan kebebasan kepada siapapun. Hal ini tercermin dalam sikapnya mengenai jilbab. Menurutnya, seseorang berhak memilih untuk menggunakan jilbab atau tidak. Sebagai bentuk konsistensi dari sikapnya, ia tidak pernah memaksa anak perempuannya untuk menggunakan jilbab, kendati ia sendiri menggunakannya.
Ia juga tidak pernah mendorong pemerintah untuk melakukan formalisasi syariat. Karena formalisasi syariat mengharuskan pemerintah untuk memaksa masyarakat untuk melakukan syariat-syariat tertentu. Musdah Mulia menentang hal tersebut.
Ketiga, toleransi. Melalui ICRP, ia bersama Gus Dur, Djohan Effendy, dan tokoh-tokoh yang lain menyuarakan pentingnya dialog antar agama. Menurutnya, toleransi antar agama adalah senyawa utama dalam demokrasi. Melalui toleransi, Indonesia akan menjadi payung besar bagi jutaan umat beragama yang bernaung di bawahnya.
Penghargaan
Atas keberanian dan kerja kerasnya, Musdah Mulia diganjar oleh beberapa penghargaan. Antara lain:
- International Women of Courage Award dari Pemerintah Amerika Serikat, 2007
- Yap Thiam Hien Human Rights Award, 2008
- Plangi Tribute to Women dari Kantor Berita Antara, 2009
- International Woman of The Year dari Pemerintah Italia, 2009
- NABIL Award, 2012
- Penghargaan dari Himpunan Indonesia untuk Ilmu-Ilmu Sosial, 2013
- The Ambassador of Global Harmony dari Anand Ashram Foundation, 2014
- Humanity Award dari International Forum for Peace and Human Rights, 2019