Oleh: Bowo Sugiarto*
Seiring dengan kesuksesan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dalam mengonsolidasikan kekuasaannya di Turki, banyak islamis yang menjadikan pengalaman partai tersebut sebagai model bagi mereka ketika memasuki arena formal demokrasi. Setelah Arab Spring, model semacam itu bertambah lagi dengan masuknya gerakan Ennahda ke kompetisi politik elektoral di Tunisia.
Gerakan Ennahda di Tunisia
Awalnya Ennahda adalah gerakan politik Islam yang didirikan oleh Rached Ghannouchi dan Abdel Fattah Mourou pada 1981 dengan nama Islamic Tendency Movement (MTI). Setelah pemilihan umum 1989 yang memberikan hasil mengejutkan dengan perolehan suara kandidat independen dari Ennahda sebanyak 17% secara nasional, Ghannouchi dan pendukungnya terbang ke London dan kota lain di Perancis untuk menghindari represi rezim Ben Ali.
Dua tahun kemudian Ben Ali melarang gerakan ini dan memenjarakan para aktivisnya dengan tuduhan gerakan ini berencana akan menjatuhkan pemerintahan secara tidak sah. Menyongsong Musim Semi Arab pada 2010 yang diawali dari Tunisia, Ghannouchi kembali ke negara itu untuk memimpin Ennahda menjadi salah satu partai politik di sana.
Tulisan ini merupakan resensi buku yang berjudul Rached Ghannouchi, Siasat Muslim Demokrat di Arah Baru yang berisi kumpulan tulisan dan wawancara dengan Ghannouchi (ditambah beberapa tulisan yang mengomentari pemikirannya). Penting untuk dicatat bahwa sebagian tulisan dan wawancara dengan Ghannouchi yang ada di buku tersebut mayoritasnya merupakan buah pemikirannya yang terkini. Dengan kata lain, buku ini tidak mencakup buah pikiran dia pada 1980-an dan 1990-an.
Mungkin karena itu buku ini lebih banyak memotret argumentasi Ghannouchi dalam menjustifikasi langkah-langkah politik Ennahda dalam berkompetisi di pemilihan umum dan menjaga eksistensi partai dalam transisi demokrasi di Tunisia. Salah satu isu penting yang berupaya dia selesaikan (paling tidak utuk sekarang ini) adalah tantangan sekularisme yang biasanya inheren dalam sebuah negara demokrasi.
Isu ini menarik untuk dilihat karena sekularisme biasanya menjadi salah alasan penting kenapa kelompok islamis gamang untuk menerima atau berpartisipasi aktif dalam demokrasi.
Kecurigaan untuk Islamis
Perihal sekularisme, Ghannouchi tampaknya relatif lebih maju dari umumnya kalangan islamis yang menganggap sekularisme sebagai sesuatu yang monolitik. Ghannouchi mampu mengapresiasi keragaman gagasan dan praktik sekularisme yang ada di sejumlah negara di Barat. Hal ini menjadi modal bagi dia dalam merumuskan ulang relasi “masjid” dan negara dalam sebuah negara demokrasi. Meski demikian, ini tidak berarti dia menerima sekularisme begitu saja.
Akan lebih tepat jika kita mengatakan bahwa Ghannouchi berupaya merumuskan sekularisme yang sesuai dengan konteks Tunisia yang masyarakatnya cenderung religius. Dia memang tidak secara tegas menyatakan hal tersebut. Tapi setidaknya dia secara eksplisit mendukung tafsir sekularisme sebagai ‘sebuah pengaturan prosedural yang dibuat untuk menjamin kebebasan dalam berkeyakinan dan berpikir’.
Di mata kelompok sekuler, penerimaan kelompok islamis atas sekularisme seakan menjadi sesuatu yang penting ketika mereka masuk ke arena politik formal. Kelompok yang pertama itu khawatir bahwa kesediaan kaum islamis menerima aturan main demokrasi tidak menjamin masa depan demokrasi jika kelak mereka memegang kursi kekuasaan. Mereka curiga bahwa kaum islamis masih memiliki agenda tersembunyi untuk melakukan islamisasi negara dan masyarakat.
Kecurigaan tersebut sejauh ini tampak berlebihan, apalagi terbukti Ennahda tidak memaksakan pengadopsian syariah dalam konstitusi Tunisia yang baru. Akan tetapi, tampaknya Ghannouchi belumlah beranjak terlampau jauh dari pemikiran umum kaum islamis terutama terkait dengan gagasan kewajiban bagi Muslim untuk mendirikan pemerintahan Islam. Setidaknya salah satu tulisan dalam buku itu menegaskan kesimpulan tersebut.
Perihal Pemerintahan Islam
Seperti kaum islamis lainnya, Ghannouchi menegaskan bahwa mendirikan sebuah pemerintahan Islam adalah sebuah kewajiban agama dan karena itu Muslim harus terus berupaya mendirikannya. Situasi yang memungkinkan untuk mendirikan pemerintahan semacam itu disebutnya sebagai sesuatu yang normal, sementara kebalikannya disebut tidak normal. Dalam situasi yang tidak normal, menurut dia, muslim mesti bersikap ‘realis dan fleksibel’ untuk bisa berpartisipasi dalam pemerintahan non-islam.
Dalam kerangka berpikir seperti itu, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa ijtihad politik Ghannouchi untuk berubah dari Islam politik ke Muslim demokrat bersifat temporal dan situasional. Sejauh ini, siasat Ennahda memang lebih kepada pilihan untuk diterima oleh elit politik yang lebih dahulu eksis di Tunisia, seperti misalnya partai Nidaa Tounes. Namun, kita harus melihat siasat Ennahda untuk membangun aliansi politik dengan pihak lain bukan sebagai pengorbanan, melainkan pilihan politik yang rasional untuk bertahan.
Terlepas dari aspek problematik dalam pemikiran Ghannouchi, ada sejumlah hal yang dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia yang sedang mengalami pasang naik penggunaan isu dan identitas agama dalam politik. Ghannouchi menegaskan bahwa negara tidak boleh mendominasi agama dan seharusnya tempat agama berada di ranah masyarakat sipil. Lebih jauh lagi dia mengatakan, tidak boleh ada partai politik yang mengklaim mewakili agama.
Salah satu aspek praksis dari gagasannya itu adalah keharusan untuk menetralkan masjid dari politik partisan yang dilakukan oleh partai politik atau kontestan pemilu. Idenya bahwa masjid harus menjadi ruang bagi semua orang dan bukan menjadi sarana untuk memecah belah umat adalah sebuah gagasan yang relevan bagi Indonesia. Dua pemilu terakhir di negeri ini dan pilkada Jakarta menunjukan betapa bahayanya akibat dari penggunaan masjid untuk kepentingan mobilisasi politik praktis.
Ide seperti itu tergolong berani karena disampaikan oleh pimpinan partai yang basis tradisional pendukungnya adalah pemilih religius. Yang tak kalah relevan juga adalah idenya agar kader partai tidak boleh berceramah di masjid dan memegang posisi di organisasi keagamaan (ormas). Ide tersebut yang bertujuan untuk melepaskan agama dari dominasi negara juga relevan bagi kondisi politik Indonesia yang ormas keagamaannya rentan ditunggangi politik praktis.
Secara umum, ide-ide besar Ghannouchi tentang Islam dan demokrasi sebenarnya tidaklah tergolong baru dalam konteks diskursus pemikiran Islam di Indonesia. Intelektual Muslim seperti Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif dan Nurcholis Madjid juga menyampaikan gagasan yang mirip dengannya. Sayangnya gagasan mereka cenderung diabaikan oleh kelompok islamis di Indonesia.
Identitas Buku
Judul buku : Rached Ghannouchi, Siasat Muslim Demokrat di Arah Baru
Penyusun : Yusuf Maulana
Penerbit : Yayasan Faham Indonesia Mandiri
Tahun : 2020
Tebal buku : 526 halaman
*) Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman
Editor: Nabhan