Berasal dari pembacaan buku Kuntowijoyo yang berjudul “Muslim Tanpa Masjid” yang saya beli di Malang beberapa bulan yang lalu. Dari situ, ide tulisan ini muncul.
Buku ini berisi esai-esai Kuntowijoyo di mana judulnya diambil dari salah satu esai di dalam buku ini. Dalam salah satu esai yang berjudul sama dengan judul buku ini, pembahasan di dalamnya menarik saya untuk membaca ulang sambil merefleksikan keadaan hari ini.
Muslim tanpa Masjid ala Kuntowijoyo
Esai berjudul “Muslim tanpa Masjid” menceritakan kejadian pada tahun 1998, tahun di mana terjadi demo yang begitu luar biasa sampai menumbangkan presiden kedua Indonesia, Soeharto. Namun esai ini lebih membahas tentang keagamaan para pendemo itu.
Mereka adalah generasi baru Muslim yang tidak merasa dirinya muslim. Generasi Muslim yang tidak menuruti konsensus umat Islam. Muslim yang merasa dan dirasa bukan bagian dari umat.
Identitas yang mereka gunakan bukanlah muslim, tetapi mereka pakai identitas sebagai mahasiswa, bukan umat. Mereka adalah satuan-satuan lain yang bukan umat, seperti negara, daerah, bangsa, partai, ormas, kelas, usaha dan sebagainya. Orang orang Islam sendiri tidak mengira bahwa mereka juga muslim.
Dari histori itu, Kuntowijoyo menjelaskan generasi baru dari umat tapi tidak merasa bagian dari umat. Sebab terjadinya kondisi ini dijelaskan Kuntowijoyo, karena mereka tidak banyak mengunjungi masjid tempat umat berkumpul. Mereka terasing dari umat.
Generasi yang lahir diperkotaan, yang pengetahuan agama hanya didapatkan secara formal di sekolah. Pengetahuan mereka tidak didapat dari lembaga-lembaga Islam konvensional seperti masjid, pesantren dan madrasah, ataupun perseorangan seperti kiai, ustadz, ulama, dan dai. Kalaupun di masjid, itu pun pasif dan tidak membentuk kepribadian mereka.
Mereka yang disebut muslim tanpa masjid adalah mereka yang mendapatkan dari sumber sumber anonim, seperti kaset, CD, VCD, internet, radio, dan televisi. Sumber pengetahuan yang didapat dari buku-buku, majalah-majalah, dan brosur, juga didapat dari sumber anonim. Guru agama di sekolah juga sebagai formalitas belaka, fungsi anonim tanpa ikatan.
Pendemo itu lahir di perkotaan dengan kampus sebagai basis sosialnya. Kuntowijoyo memaklumi jika pengetahuan muslim yang baru lahir itu, identitas kampus lebih dominan daripada masjid. Tidak perlu sakit hati dengan penolakan mereka terhadap otoritas lembaga dan organisasi keumatan, tokoh-tokoh Islampun menganggapnya bukan muslim. Wajar bila mereka mengalami krisis identitas.
***
Dalam esainya, kuntowijoyo juga membandingkan kelahiran mereka di akhir abad ke-20 dengan kelahiran Muhammadiyah yang sama-sama mendapat reaksi keras dari kelompok tradisional Islam pada awal abad ke-20.
Yang berbeda adalah kalau Muhammadiyah sangat sadar bahwa mereka muslim masjid, sedangkan generasi baru ini tidak sadar. Yang sama adalah gejala anonimitas dalam kadar yang berbeda pada Muhammadiyah. Begitu tulis Kuntowijoyo.
Saya merasa ini menjadi sindiran keras Konto terhadap keagamaan dalam Muhammadiyah yang mungkin sampai saat ini masih terjadi.
Muslim Tanpa Masjid Era Pandemi
Berbeda kalau kita lihat kondisi saat ini. Sejak wabah Covid-19 masuk ke Indonesia dan dinyatakan sebagai pandemi, peringatan dan himbauan untuk tetap di rumah saja tersiar kemana mana.
Bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah kalau kata Presiden Jokowi. Hastag #dirumahaja menjadi trend di masa pandemi ini. Hal ini dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus Corona yang mudah sekali menyebarnya. Tentunya ini menjadi tantangan baru dan mengubah tatanan kehidupan masyarakat, salah satunya dalam keagamaan.
Dalam Islam, kegiatan keagamaan yang mengumpulkan orang banyak minimal terjadi 5 kali sehari ketika waktu-waktu shalat di masjid. Di Indonesia, tradisi keagamaan yang mengumpulkan orang banyak juga sering dilakukan. Apalagi wabah ini belum hilang sampai hari ini dan entah sampai kapan tidak ada yang bisa memprediksi.
Bertemunya wabah dengan bulan Ramadhan menyebabkan berbagai reaksi karena masjid menjadi tempat berkumpul dan melaksanakan kegiatan, terutama di bulan yang ditunggu-tunggu.
Wabah ini menyebabkan Muslim tanpa masjid versi baru. Ia hadir menjauhkan Muslim dari titik peradabannya. Generasi di era pandemi ini mendapatkan pengetahuan agama sama seperti Muslim tanpa masjid ala Kuntowijoyo. Semua dilakukan secara jarak jauh. Mungkinkah terjadi generasi Muslim tanpa masjid episode ke 2?
Mayoritas penduduk Indonesia yang merupakan umat Islam ini mengalami culture shock yakni berupa bentuk keagamaan yang tidak seperti biasanya. Muslim benar-benar dijauhkan dari pusat kegiatan keagamaan. Umat disuruh beribadah di rumah, masjid digembok, kegiatan jamaah dibubarkan.
Pengajian di masjid-masjid berpindah juga di rumah lewat televisi, internet, dan via online lainnya. Madrasah dan sekolah diliburkan, belajar dari rumah. Santri pesantren dipulangkan, kiai, ustadz dan dai diminta mencari solusi pembelajaran.
Penggambaran Kuntowijoyo tentang muslim tanpa masjid terjadi, bahkan lebih parah, karena semua umat muslim, tidak hanya satu generasi. Semuanya, dari generasi yang dahulu sampai generasi yang baru. Hari ini semua muslim hidup jauh dari masjid, itulah muslim tanpa masjid era pandemik ini.
***
Beribadah di rumah menjadi himbauan untuk menjauhi masjid. Banyak reaksi yang beragam tentang himbauan ini. Ada yang menaati himbauan namun ada juga yang tetap melanggengkan kegiatan seperti biasanya tanpa memperhatikan himbauan yang disampaikan. Corak reaksi umat yang beragam menjadi persoalan yang lain.
Dengan adanya Muslim tanpa masjid versi baru, semoga tidak terjadi krisis identitas seperti yang dijelaskan kuntowijoyo dalam esainya itu. Semoga wabah ini segera berakhir, dan Muslim kembali memiliki masjidnya kembali.