Falsafah

Membaca Mustadh’afin Lewat Kacamata Post-Strukturalisme

3 Mins read

Post-Strukturalisme – Mustadh’afin, secara bahasa berasal dari kata Dhuafa yang memiliki beberapa arti, antara lain lemah, hilang kekuatan, serta sakit.

Secara istilah, kata Mustadh’afin digunakan untuk merujuk kepada kelompok yang lemah, dihinakan, ditindas, mengalami diskriminasi, serta marjinalisasi.

Namun pada praktiknya, kelompok yang masuk kategori Mustadh’afin masih terbatas pada kelompok fakir dan miskin. Padahal, praktik penindasan tidak selalu terjadi pada ranah ekonomi saja.

Menurut Moeslim Abdurrahman, kelompok yang disebut Mustadh’afin, bukan hanya fakir miskin, tapi juga kelompok yang mengalami ketertindasan secara sosial dan struktural.

Mustadh’afin dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang berbicara mengenai Mustadh’afin, salah satunya dalam Surah An-Nisa’ 4: 75: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”.

Ayat lain yang berbicara mengenai Mustadh’afin adalah Al-Qashash 28: 5: “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”.

Dua ayat di atas menegaskan bahwa Mustadh’afin adalah mereka yang mengalami penindasan dalam berbagai aspek dalam kehidupan, tak hanya persoalan ekonomi, namun juga persoalan sosial.

Karena inti dari praktik penindasan, adalah kehadiran kelompok penindas (superordinate) yang berbuat zalim kepada kelompok tertindas (subordinate).

Faktor Maraknya Terjadi Praktik Penindasan

Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya praktik penindasan di seluruh dunia hingga saat ini, salah satu penyebabnya adalah paham strukturalisme yang mengakar kuat pada budaya manusia.

Baca Juga  Mencoba Memahami Iman Menggunakan Nalar

Strukturalisme sendiri merupakan sebuah pemikiran yang menganggap bahwa seluruh tatanan di dunia ini memiliki struktur, terutama struktur yang bersifat hierarki.

Strukturalisme, berangkat dari penggunaan bahasa. Bahasa bukanlah sebatas alat komunikasi verbal saja, bahasa merupakan sistem tanda yang bisa mengekspresikan ide. Tanda sendiri merupakan hubungan antara penanda (label bahasa) dan petanda (makna sebenarnya).

Proses untuk memahami makna dan mencapai penanda, hanya bisa dilakukan apabila ada makna lain yang datang sebagai pembanding. Jadi makna tidak hadir dari dari dalam, melainkan dari luar.

Sebagai contoh kita tidak bisa memahami putih tanpa ada hitam, kita tidak bisa memahami gelap tanpa ada terang, dan kita tidak bisa memahami pendek tanpa ada tinggi.

***

Dengan kata lain, makna ada karena perbedaan. Semakin berbeda, maka akan semakin bermakna. Semakin beroposisi, maka akan semakin jelas maknanya.

Dalam strukturalisme, perbedaan bersifat oposisi biner dan hierarkis, maka konsekuensinya ada satu makna yang dianggap lebih tinggi dibanding oposisi binernya. Sebagai contoh putih diangap lebih baik daripada hitam, dan tinggi dianggap lebih baik daripada pendek.

Bahasa yang strukturalis ini mempengaruhi pola pikir manusia dan pada akhirnya berpengaruh kepada budaya serta perspektif sosial. Dalam masyarakat, akan ada kelompok yang dianggap lebih superior karena memiliki kategori yang lebih tinggi dibanding oposisi binernya.

Contohnya masyarakat perkotaan dianggap lebih baik daripada masyarakat pedesaan, serta orang berkulit putih dianggap lebih baik daripada orang berkulit hitam.

Hal inilah yang membuka lebar pintu penindasan, terutama penindasan sosial. kelompok yang dianggap memiliki kategori rendah akan mendapatkan diskriminasi serta termarjinalkan dalam kehidupan sosial. Mereka inilah yang disebut sebagai Mustadh’afin.

Post-Strukturalisme Vs Strukturalisme

Pembacaan realitas diatas pada dasarnya adalah pembacaan yang berlandaskan pemikiran post-strukturalisme. Post-strukturalisme membongkar habis-habisan pemikiran strukturalisme yang dianggap membelenggu manusia.

Baca Juga  Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

Selain membongkar strukturalisme, post-strukturalisme juga menawarkan alternatif pemikiran yang bisa kita aktualisasikan untuk membela kaum Mustadh’afin.

Salah satu tokoh post-strukturalis, yaitu Jacques Derrida berpendapat melalui konsep Differance, bahwa makna memang hadir karena adanya perbedaan, tetapi perbedaan tersebut tidak bersifat hierarkis seperti apa yang dikatakan kaum strukturalis.

Perbedaan tersebut menurut Derrida bersifat sejajar dan bahkan saling melengkapi.

Sebagai contoh, tinggi ada karena pendek ada. Kita tidak bisa memahami tinggi tanpa ada pendek. Sebaliknya, kita tidak bisa memahami pendek juga tanpa ada tinggi. Jadi tinggi dan pendek saling membutuhkan dan sama pentingnya.

Perbedaan menurut Derrida menjelaskan bahwa semuanya tidak dapat disamaratakan, akan tetapi semua itu sejajar meski berbeda.

Jika paham post-strukturalis ini bisa menggantikan paham strukturalis di kehidupan sosial, maka tidak akan ada kelompok yang dianngap lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. Pintu penindasan akan tertutup dan kaum Mustadh’afin yang tertindas secara sosial akan bebas dari belenggu penderitaan yang dialami selama ini.

Editor: Yahya FR

Muhammad Ibnu Majah
4 posts

About author
Mahasiswa Strata-1 Fakultas Ilmu Sosial Humaniora UIN Sunan Kalijaga Program Studi Ilmu Komunikasi
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds