Perspektif

Sudut Pandang Ahli Tahqiq Terhadap Nabi dan Rasul

4 Mins read

Definisi Nabi dan Rasul

Definisi antara nabi dan rasul sangat isykal (dilema) dikalangan ulama ahli tahqiq (filologi) dan beberapa ulama mutaqaddimin seperti as-Syaibani, al-Baidhawi, al-Bayadi, al-Hanafi, dan sebagian yang lain.

Mereka mengatakan bahwa definisi nabi yang sesuai menurut Al-Qur’an dan hadis serta sesuai dengan akal sehat adalah orang yang Allah SWT turunkan wahyu kepada-nya, kemudian diperintahkan untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya.

Tetapi, tidak datang dengan membawa syariat baru dan diperintahkan mengikuti syariat rasul yang datang sebelumnya. Sedangkan, rasul adalah orang yang Allah SWT turunkan wahyu kepada-nya, dan diperintah menyampaikan wahyu tersebut kepada umatnya, dan datang dengan membawa syariat baru atau datang dengan menghapus atau me-nasakh syariat Rasul yag datang sebelumnya.

Itu merupakan definisi yang disampaikan oleh beberapa ahli tahqiq. Jadi definisi mengenai nabi dan rasul itu memang memiliki banyak versi. Pada intinya, nabi dan rasul merupakan manusia pilihan Allah SWT untuk memperbaiki akhlak seluruh umat manusia, tidak hanya Islam, agama-agama lain pun memiliki rasul namun dalam pandangan dan kepercayaan masing-masing.

Sifat-Sifat Wajib Rasul

Ilmuwan terbesar abad 20, Albert Einstein pun mengakui kehebatan rasul terlebih kepada Rasulullah. Menurut penemu teori relativitas tersebut, seorang rasul memiliki pengaruh yang besar untuk mencegah maksud jahat kaum Yahudi terhadap umat lainnya seperti Islam.

Beralih dari pengertian nabi dan rasul, mari beranjak ke sifat-sifat rasul. Sebagai manusia terpilih, Allah SWT menjaga nabi dan rasul dengan sifat yang baik agar menjadi contoh bagi para pengikutnya. Jika Allah SWT memiliki sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan jaiz, maka para rasul pun juga memiliki sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan jaiz.

Sifat wajib bagi rasul itu ada 4. Pertama, siddiq yaitu sifat jujur atau benar dalam semua hal yang dikabarkan oleh rasul, meskipun yang disampaikan dengan gurauan.

Baca Juga  Ketika Ibn Arabi dan Immanuel Kant Mengadili Ibrahim (Part 2)

Sifat kedua adalah amanah yang artinya dapat dipercaya. Ketiga, adalah sifat fathonah yaitu sifat mencerminakn kecerdasan dan kepintaran rasul. Dan yang terakhir adalah sifat tabligh atau menyampaikan apa yang diwajibkan disampaikan kepada makhluk atau umat dan tidak di simpan sendiri.

Sifat-Sifat Mustahil Rasul

Rasul juga memiliki sifat mustahil yang berjumlah 4 yaitu berbohong kebalikan dari sifat siddiq (jujur), khianat kebalikan dari sifat amanat (dapat dipercaya), bodoh kebalikan dari sifat fathonah (cerdas dan pintar), dan menyembunyikan kebalikan dari sifat tabligh (menyampaikan).

Boleh ada atau jaiz pada diri rasul bernama sifatul basyari yaitu sifat-sifat kemanusiaan yang tidak menguragi martabat atau derajat rasul yang luhur atau tinggi.

Sifat-sifat manusia itu seperti makan, minum, sakit dan berhubungan yang halal dalam artian menikan dan berhubungan suami istri.

Dan berkumpul makna semua sifat yang telah kita bahas pada 1 ungkapan atau pernyaaan yaitu kalimat syahadat, ini diartikan bahwa dengan mengenali sifat-sifat rasul, kita dapat mengetahui dan lebih dekat dengan rasul meskipu kita belum bertemu.

Rasul sebagai perantara memiliki tugas yakni menyampaikan risalah yang telah diberikan, yang datangnya dari Allah. Sebagian risalah-risalah tersebut antara lain mengajarkan kalimat tauhid, membawa rahmat, meunjukkan jalan yang benar, dan memberi peringatan kepada umat.

Mukjizat pada Nabi dan Rasul

Pada diri nabi dan rasul juga diberikan mukjizat oleh Allah sebagai bukti kenabian dan kerasulannya. Sehingga dalam menyampaikan risalah dan syariatnya dapat diterima dan diamalkan oleh kaum atau umatnya.

Seperti, kisah pertarungan nabi Musa dengan Fir’aun merupakan salah satu kisah yang tersohor. Dikisahkan bahwa Fir’aun merasa terancam dengan keberadaan Musa yang menyebarkan ajaran untuk mengesakan Allah.

Baca Juga  Pesan Primordial dalam Ibadah Puasa

Mereka bertarung dan Musa memenangkannya dengan bantuan tongkatnya. Kemudian ia dan kaumnya dikejar oleh pengikut Fir’aun, namun mereka berhasil lolos dengan bantuan tongkat Musa yang dapat membelah lautan.

Nabi Musa mendapat mukjizat kitab Taurat, yang dikenal dengan ‘Perjanjian Lama´ yang berisi ajaran pokok 10 Perintah Allah. Kemudian, mukjizat nabi Shalih yang paling dikenal adalah unta betina yang keluar dari batu setelah ia memukulkan telapak tangannya.

Shalih meminta penduduk setempat untuk tidak menganggu unta tersebut dan susunya boleh diperah untuk memenuhi kebutuhan penduduk miskin. Namun kaum yang tidak menyukainya berusaha membunuh unta itu dan pada akhirnya mereka dijatuhi azab petir dan gempa.  

Nabi Muhammad SAW adalah rasul terakhir,sekaligus sebagai penutup rasul-rasul sebelumnya. Ia-lah yang menyempurnakan ajaran-ajaran Islam.

Mukjizat yang diturunkan Allah kepadanya sangatlah banyak, salah satunya yang paling besar adalah Al-Quran, yang menjadi pedoman utama kehidupan manusia. Selain itu ada pula peristiwa Isra Mi’raj yang membawanya bertemu dengan Allah SWT.

Pada saat rasul menyampaikan risalah dan syariat dengan sopan dan lembut dibutuhkan kebarang yang luas utuk menghadapi umatnya.

Rasul-Rasul Ulul ‘Azmi

Adapun rasul-rasul yang memiliki kesabaran atau ketabaahan yang lebih dari para rasul lainya diberi julukan ulul ‘azmi. arti Ulul ‘Azmi adalah “Rasul-rasul yang mempunyai ketabahan hati yang luar biasa dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh Allah, mereka sangat sabar menghadapi segala macam cobaan, gangguan, dan halangan yang mereka terima dari kaum yang ingkar tehadap ajakan mereka.

Adapun Rasul-rasul Ulul ‘Azmi tersebut adalah Nabi Nuh As, Nabi Ibrahim As, Nabi Musa As, Nabi Isa As, dan Nabi Muhammad Saw. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surah al-Ahqaf ayat 35.

Baca Juga  Mengintip Perkembangan Islam di Spanyol

Dengan keteguhan hati yang luar biasa dan sifat sifat yang mulia pada diri rasul, sepatutnya kita meneladani dan mengimani mereka denga sepenuh hati dan perbuatan. Ada dua aspek cara dalam mengimani nabi yaitu aspek teoritis dan aspek praktis.

Cara mengimani para Nabi secara teoritis berupa penguasaan pemahaman keilmuan secara detail terhadap sifat, prilaku, perkatan berdasarkan sumber refrensi yang sokhih dapat berupa Al-Qur’an, Al Hadits, Ijma’ dan sirah.

Setelah pemahama tentang hal tersebut sudah benar kemudian ditambah dengan pembenaran logika tentag pemahaman tersebut. Keimanan yang bermula dari pemahaman keilmuan secara teoritis pada akal pikiran kemudian bisa masuk dalam hati berbuah rasa manis berupa pengaruh positif yang disebut keimanan praktis.

Keimanan secara praktis atau menghasilkan bukti nyata pada diri individu terhadap nabi dapat ditempuh dengan setiap individu muslim dan muslimah mengamalkan sifat, pola tutur bahasa, kebijaksanaan, pola pikir, prilaku, dan lain-lain pada diri para nabi.

Editor: Yahya FR

Nur Syafni Pradita Zuda
1 posts

About author
Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds