Kita memiliki kecenderungan untuk mendengarkan orang yang kita suka dan akui. Walaupun akal dan logika yang sehat semestinya menjadi pijakan dalam memproses informasi hingga menyetujui atau menyelisihi suatu poin, ia tidak selalu berlaku demikian.
Bahkan, lebih sering menyalahi kaidah tersebut. Kerap kali, terutama di dunia hari ini yang dikuasai oleh popularitas alih-alih otoritas, perkataan mereka yang lebih mudah menyentuh hati lebih dianggap benar daripada mereka yang lebih unggul dalam akal dan argumennya.
Poin ini menjadi pergulatan pribadi penulis sejak cukup lama, karena tidaklah mudah untuk mengurai argumen dan retorika yang bisa memuaskan lawan bicara dan kebenaran itu sendiri secara bersamaan.
Pentingnya isu ini mulai teringatkan kembali kepada penulis saat tengah merangkum konsep iṣlāḥ menurut Tariq Ramadan (dalam buku Radical Reform, terbitan 2008). Dalam menjelaskan konsep iṣlāḥ, beliau menukil percakapan antara Nabi Syu’aib dan kaumnya dalam ayat Al-Qur’an di bawah ini :
قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ.
“Dia (Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan (iṣlāḥ) selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.” (QS. Hud: 88)
Dalam merenungi ayat tersebut, Tariq mengambil pemahaman bahwa iṣlāḥ adalah upaya untuk melakukan perbaikan pada tingkat implementasi di masyarakat (sosio-politik-kebudayaan). Dari ayat sebelumnya (QS. Hud: 84-86), konteks iṣlāḥ Nabi Syu’aib di siniialahseruan kepada kaumnya untuk berhenti mengurangi takaran dan timbangan dan berhenti menzalimi hak-hak manusia.
Konsep ini kemudian didudukkan oleh Tariq dengan konsep tajdīd sebagai dua konsep kunci pembaruan Islam, bahwa tajdīd adalah pembaruan dalam pembacaan sumber-sumber pengetahuan dan hukum Islam (Al-Qur’an dan sunah), dan iṣlāḥ adalah pembaruan kemasyarakatan untuk kembali pada kemurnian esensinya dari berbagai penyimpangan.
Memahami Konsep Tajdīd dan Iṣlāḥ
Penjelasan ini memberikan pijakan yang baik untuk penulis dalam memahami akar konsep tajdīd dan iṣlāḥ secara rājiḥ dari jebakan semantik dalam bahasa Inggris. Namun ada yang lebih menarik perhatian penulis dari runtutan ayat-ayat tersebut baik sebelum maupun setelah ayat 88 tadi.
Pembahasan dalam rangkaian ayat ini adalah rangkuman dialog antara Nabi Syu’aib dan kaumnya mengenai seruan iṣlāḥ dan penolakannya. Penulis menangkap beberapa elemen yang patut kita renungkan baik dari sisi Nabi Syu’aib dan kaumnya mengenai mengapa sebuah dakwah bisa tertolak.
Pada ayat 88 tersebut, Nabi Syu’aib menekankan bahwa ia tidak ingin menyalahi mereka (ukhālifakum) atas perilaku yang ingin ia larang. Nabi Syu’aib hanya menyeru dalam rangka untuk melakukan perbaikan, bukan penghakiman maupun menyalah-nyalahkan.
Ini bisa kita jadikan pijakan sebagai prasyarat dalam melakukan dakwah, yakni bahwa ia harus necessarily upaya untuk melakukan perbaikan, dan tidak terbawa emosi hingga mencampurkan seruan dengan penghakiman personal.
Mengenai respons kaum Madyan setelah seruan Nabi Syu’aib pada ayat 84-86 sebagaimana dibahas secara ringkas di atas, kaum Madyan menanggapi seruan Nabi Syu’aib pada ayat 87,
قَالُوْا يٰشُعَيْبُ اَصَلٰوتُكَ تَأْمُرُكَ اَنْ نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ اٰبَاۤؤُنَآ اَوْ اَنْ نَّفْعَلَ فِيْٓ اَمْوَالِنَا مَا نَشٰۤؤُا ۗاِنَّكَ لَاَنْتَ الْحَلِيْمُ الرَّشِيْدُ
“Mereka berkata, “Wahai Syuaib! Apakah agamamu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah nenek moyang kami atau melarang kami mengelola harta kami menurut cara yang kami kehendaki? Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat penyantun dan pandai.” (QS. Hud: 87)
Reaksi Kaum Madyan atas Dakwah Nabi Syu’aib
Dari ayat ini, kita bisa merenungkan tanggapan intuitif kaum Madyan setelah ditegur Nabi Syu’aib. Refleks mereka pertama kali ialah mempertahankan sembahan mereka dan merasa ‘tradisi’ mereka terserang dengan seruan Nabi Syu’aib.
Penulis melihat refleks ini sebagai sesuatu yang dipandang sebagai prinsip oleh kaum Madyan. Karenanya, seruan perubahan pada prinsip tersebut dipandang sebagai sesuatu yang ofensif—personal, hingga mereka secara refleks mempertanyakan seruannya.
Perlu diperhatikan juga bahwa kaum Madyan mengakui Nabi Syu’aib sebagai orang yang santun dan pandai. Artinya, seruan yang diucapkan Nabi Syu’aib sudah dianggap sopan.
Nabi Syu’aib juga sudah mengklarifikasi maksudnya bahwa ia hanya berniat mengajak pada perbaikan, bukan untuk menghakimi. Namun pertimbangan itu tidak menghentikan refleks mereka untuk menentang seruan Nabi Syu’aib.
قَالُوْا يٰشُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ وَاِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا ۗوَلَوْلَا رَهْطُكَ لَرَجَمْنٰكَ ۖوَمَآ اَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيْزٍ
“Mereka berkata, “Wahai Syuaib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakan itu, sedang kenyataannya kami memandang engkau seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang engkau pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami.” (QS. Hud: 90)
Tanggapan kaum Madyan tersebut terhadap klarifikasi Nabi Syu’aib bukan main-main. Maktub bahwa kaum Madyan tidak memahami ucapannya, dan bahwa Nabi Syu’aib secara blak-blakan dianggap rendah. Dari ayat di atas, kita bisa melihat bahwa posisi sosial Nabi Syu’aib sendiri bukanlah orang yang berpengaruh besar pada kaumnya, hingga mempengaruhi penolakan kaum Madyan terhadap seruannya.
Serangkaian ayat ini telah mencukupkan kita dengan perenungan mengenai mengapa sebuah kaum menolak sebuah seruan perbaikan. Dan ia adalah bahwa status sosial seorang penyeru (dai) memiliki peran kunci dalam kesuksesan.
Tentu kita tidak meragukan kapasitas hamba-hamba terbaik yang diutus Allah dalam menyampaikan risalah-Nya. Pada konteks waktunya, Nabi Syu’aib tentu adalah yang terbaik untuk membawakan seruan perbaikan dan karenanya Allah mengutusnya. Namun kompetensi Nabi Syu’aib di sisi Allah tidak serta merta dapat dipahami dan diakui oleh kaumnya, sebagaimana maktub di atas.
Kapsitas Pendakwah Bukan Poin Inti
Maka, patut direnungkan bahwa kapasitas bukanlah prasyarat tunggal dalam melakukan dakwah dan agenda perbaikan. Seorang dai dan muṣlīḥ hendaknya mampu presenting themselves dan berbicara bilisāni qawmihim (dengan bahasa kaumnya). Hal ini juga mengingat karakteristik masyarakat paska-modern yang memiliki kecurigaan terhadap ilmu, maka hati hendaknya menjadi pintu masuk pesan dakwah.
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125, hendaknya kita menyeru kepada manusia dengan hikmah, nasehat, dan perdebatan yang baik,
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِه وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Dengan menyentuh hati permasalahan yang dihadapi suatu kaum menggunakan bahasa mereka dan menjadi bagian dari mereka hingga diakui dan didengar ucapannya adalah renungan kecil penulis dalam mentadabburi rangkaian ayat Al-Qur’an ini. Menuntut ilmu tidaklah mudah, apalagi mendakwahkannya.
Semoga tadabbur kecil ini bisa bermanfaat untuk membantu mengevaluasi cara kita menyerukan kebenaran dan kebaikan pada dunia. Wallahu aʻlām bi aṣ-ṣawwāb.
Editor: Yahya FR