Islam adalah agama dakwah. Banyak ayat ayat dalam Quran yang mengajak kita ke jalan Tuhan. Yang paling sering menjadi rujukan dalam ilmu dakwah atau dalam komunikasi islam adalah “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.”(QS.16.125). Hal ini adalah bentuk nahi munkar.
Nahi Munkar
Setiap individu punya kewajiban moral untuk menyampaikan benih-benih kebaikan sesuai dengan kemampuannya. Islam sudah memberikan kepada setiap manusia modal dasar berupa modal primordial atau modal azali berupa nurani sebagai tempat berpijak dalam memberikan sinar sinar kebaikan kepada sesamanya.
Dalam kacamata hadis bahwa individu yang terbaik di mata Tuhan adalah yang paling bermanfaat terhadap sesamanya. Semua individu punya beban moral dalam menyampaikan kebenaran-kebenaran. Apakah menyampaikan kebenaran dengan simbol tangan, atau simbol lisan maupun simbol hati sebagai yang terlemah dalam penyampaian kebenaran.
Pada prinsipnya penyampaian suatu ajakan kepada obyek dakwah haruslah disampaikan dengan perkataan perkataan yang sejuk, damai, mulia, padat, tepat, hikmah, dan bijaksana. Begitulah yang diperkenalkan oleh Al-Qur’an dan dipraktikkan oleh para Nabi. Ketika Tuhan menyuruh Musa dan Harun untuk menghadap ke Firaun, dipesankan untuk keduanya menggunakan perkataan yang lembut. Inilah nahi munkar ala Nabi.
Perkataan yang lembut itu mudah masuk dalam hati, sekalipun yang dihadapi itu orang yang keras. Setiap perintah Tuhan pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Tiga jurus dalam ilmu dakwah ini haruslah menjadi referensi untuk seorang yang akan menyampaikan pesan pesan kebenaran kepada obyek dakwah, yaitu hikmah, mauidzah hasanah, dan jadil billati hiya ahsan. Tentunya jurus-jurus ini sangat kondisional tergantung terhadap obyek dakwah.
Pada prinsipnya siapapun obyeknya tetap kita mengedepankan bil hikmah karena itulah yang menjadi prinsip dari agama. Kalau kita mempelajari sejarah hidup Muhammad yang menjadi rujukan sentral atau teladan dalam berbagai aktivitas betapa Nabi itu sangat bijak dalam menyampaikan pesan pesan kedamaian. Sangat sejuk dalam berinteraksi dan sabar dalam menerima kritikan.
Namun, prinsip-prinsip kebenaran tetaplah menjadi prioritas dalam menyampaikan pesan pesan dakwah. Ada term keagamaan yang mengatakan, jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran di depan penguasa yang dzalim, penguasa yang otoriter, namun tetap mengedepankan atau dibungkus dengan kata kata yang bijak dan penuh hikmah. Bukan dengan teriakan Allahu Akbar lalu merusak fasilitas negara.
Islam yang Fleksibel
Kita masih ingat ketika Presiden Soeharto didemo besar-besaran pada peristiwa reformasi dan mengundang berbagai tokoh agama dan cendekiawan. Prof Kyai Ali Yafie menyampaikan ke presiden dengan perkataan yang hikmah, padat, mengandung nilai nilai ketegasan, dan argumentatif. “Bahwa yang dimaksud dengan reformasi adalah Bapak diminta untuk turun dari kursi presiden,” demikian pernyataan KH Ali Yafie.
Jadi ketiga nilai ini menjadi wajib dimiliki bagi seorang penyampai kebenaran. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Di dalam perkataan hikmah mesti terkandung nilai nilai argumentatif, atau dasar yang kuat yang menjadi pedoman dalam perkataan hikmah dan pengajaran yang baik.
Hikmah dan argumentasi mesti disertai mauidzah hasanah atau dalam bahasa yang lain adalah tabligh, komunikatif. Obyek dakwah harus mengerti apa yang disampaikan oleh penyampai dakwah atau subyek dakwah. Itulah yang dimaksud dengan tabligh atau komunikatif. Kita harus memahami bahasa atau tingkat pendidikan suatu masyarakat.
Islam adalah agama yang universal, ajarannya tidak bersifat lokalistik tetapi cocok di setiap zaman dan tempat, “Al Islam Shalihun li kulli zamanin wa makanin“. Pada prinsipnya semua ajaran dasar Islam bisa terkondisikan dengan berbagai nilai lokal atau local wisdom yang ada pada suatu daerah.
Itulah jugalah yang terjadi dalam sejarah masuknya islam ke indonesia. Islam tidak serta-merta menghapus semua budaya budaya yang berbau hinduistik yang sudah mendarah daging dalam masyarakat indonesia, tapi mencoba untuk mengakomodasi budaya-budaya tersebut dengan memberikan interpretasi ulang tanpa menghilangkan budaya.
Di situlah fleksibelnya ajaran Islam. Bisa menerima semua ajaran dari budaya lain sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Namun demikian, ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba mencederai ajaran islam dengan pendekatan pendekatan yang sangat kaku, tekstualis, dan penafsiran yang satu arah. Mereka eksklusif, sangat mudah menyalahkan hal hal yang bertentangan secara teks dari penafsirannya. Mereka ini mencoba mereduksi ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.
Minus Amar Ma’ruf
Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan oleh para muballig tentang keuniversalan ajaran Islam kaitannya dengan metode beramar makruf dan bernahi mungkar adalah “Hendaklah ada diantara kamu suatu umat yang mengajak kepada al khayr dan menganjurkan dengan al ma’ruf dan mencegah dari al-munkar,Dan mereka itulah orang orang yang bahagia (Q.3.104). Dalam kajian Cak Nur ada tiga tingkat perintah Tuhan dalam ayat tersebut, yaitu khair, ma’ruf dan munkar.
Ada yang mempersamakan antara kata khair dengan ma’ruf, yakni kebaikan. Namun dalam pandangan Cak Nur, adalah sesuatu yang tidak mungkin dalam satu ayat kata yang berbeda mempunyai arti yang sama. Pasti ada perbedaan yang prinsipil antara kedua kata tersebut.
Dalam pandangan Cak Nur, khair adalah kebaikan yang asasi, yang fundamental, yang normatif, yang universal, yang tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu. Sedangkan ma’ruf adalah terjemahan atau pengejawantahan dari khair. Implementasi dari khair adalah ma’ruf. Menutup aurat adalah perintah secara universal namun implemantasi dari menutup aurat antar berbagai wilayah ada perbedaan, itu masuk dalam wilayah ma’ruf.
Ma’ruf menuntut adanya ilmu pengetahuan atau memiliki dimensi keilmuan sebagai usaha menerjemahkan khair, sedangkan khair itu sendiri lebih berdimensi keimanan.
Dalam kesimpulan Cak Nur bahwa orang lebih tertarik ber-nahi munkar dari pada ber-amar ma’ruf. Istilahnya nahi munkar tapi minus amar ma’ruf. Karena nahi munkar kebih banyak mengandalkan semangat, sedangkan amar ma’ruf lebih mengandalkan keilmuan.
Bernahi munkar tanpa di dahului amar makruf akan menghasilkan gerakan-gerakan kekerasan, gerakan mudah menyalahkan kelompok kelompok lain. Idealnya dalam beramar ma’ruf dan bernahi munkar, keduanya tidak bisa dipisahkan, semangat haruslah dilandasi dengan keilmuan, dan itu adalah implementasi dari dakwah bil khair.
Itulah sedikit pengantar yang tentang apa itu khair, ma’ruf. dan munkar. Mudah-mudahan pemahaman keagamaan kita semakin baik lewat pembacaan yang tiada henti terhadap ajaran agama kita.
Editor: Nabhan