“Umat itu terbentuk dari rumah ‘keluarga’. Kebaikannya (umat) bergantung pada kebaikannya (keluarga)” (Muhammad Abduh)
Catatan kritis Abduh tersebut menjadi refleksi penting dalam memaknai peran keluarga. Abduh yang dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharu Islam banyak menginspirasi gerakan Islam di dunia. Tidak terkecuali di Indonesia dengan persyarikatan Muhammadiyah.
Kiai Dahlan terinspirasi semangat pembaharuan Islam ala Abduh yang melihat bahwa ajaran Islam harus mampu berdialog dengan tantangan zaman. Islam mengajarkan kemajuan bukan kejumudan yang justru menjadi gejolak kemunduran peradaban. Salah satu simbol gerakan kemajuan ini adalah dengan melibatkan perempuan sebagai subyek yang berperan vital dalam dunia sosial.
Ketika perempuan dituntut untuk hidup dalam kungkungan dapur, sumur dan kasur saja, Kiai Dahlan memulai usahanya untuk memberikan pengajaran tidak hanya kepada pria tetapi juga wanita. Spirit ajarannya berlandaskan pada ayat Al-Quran, “Siapa yang berbuat baik, laki-laki maupun perempuan…”.
Sejak awal Kiai Dahlan memahami urgensi kesetaraan ibadah dan akses pendidikan bagi semua. Dan salah satu sosok yang membentuk semangat egaliter Kiai Dahlan adalah sang istri, Nyai Walidah atau dikenal pula dengan sebutan Nyai Dahlan.
Sopo Tresno Cikal Bakal Aisyiyah
Berangkat dari kegelisahan saat itu, banyak perempuan yang tidak mengenyam pendidikan, tak punya keterampilan, Nyai Walidah lantas membuat pengajian Sopo Tresno yang diampu bersama Kiai Dahlan. Sejak tahun 1914, pengajian tersebut berdiri melibatkan remaja putri dan orang tua. Menurut Nyai Walidah, kedua dimensi itu penting, tetapi jarang tersentuh pendidikan saat itu. Remaja putri adalah calon ibu dalam rumah tangga dan orang tua adalah ‘guru’ di dalam keluarga. Sayangnya dua sosok ini justru yang paling tinggi buta hurufnya.
Pada perkembangan berikutnya, dari pengajian inilah cikal bakal organisasi perempuan tertua dan terbesar di Indonesia, Aisyiyah pada tanggal 19 Mei 1917 M/27 Rajab 1355 H. Nama Aisyiyah yang diusulkan oleh Haji Fakhrudin merupakan nisbah dari nama salah satu istri Nabi Saw. Harapannya, perjuangan ummul mukminin tersebut dapat diteruskan oleh Aisyiyah.
Dalam konteks ini, kita dapat melihat setidaknya ada tiga aspek penting yang disoroti oleh Aisyiyah. Pertama, akses pendidikan yang setara bagi semua, khususnya pendidikan yang menitikberatkan pada ketahanan keluarga. Kedua, pemberdayaan perempuan dalam segenap aktivitas sosial-kemasyarakatan.
Ketiga, gerakan pengajian sebagai ruh dari Aisyiyah, sehingga dapat disaksikan pengajian Aisyiyah mulai dari ranting hingga pusat terus berjalan. Sebab tanpa semangat pengajian dan pengkajian ilmu, semangat organisasi ini hilang dari jati diri yang telah diramu oleh para pendirinya saat itu.
Catur Pusat: Sumbangsih Nyai Walidah dalam Bidang Pendidikan
Selain pengajian Sopo Tresno, gagasan brilian Nyai Walidah juga dapat dilihat dari Catur Pusat. Menurutnya, pendidikan itu harus mencakup empat aspek: pendidikan di dalam keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan lingkungan tempat ibadah.
Sumbangan pemikiran Nyai Dahlan ini dapat dikatakan melampaui zamannya saat itu. Kala pendidikan belum dilihat sebagai suatu kegiatan integral, beliau sudah mengusulkan perlunya pengondisian lingkungan yang kondusif untuk belajar.
Catur Pusat yang digagas Nyai Dahlan ini menjadi pengingat bahwa lingkungan menjadi kunci keberhasilan pendidikan. Sebagai orang tua, jangan hanya memasrahkan pendidikan di sekolah, tetapi juga perlu mengawali pendidikan dari rumah.
Boleh jadi jika Nyai Dahlan masih hidup saat ini, beliau akan menambahkan satu lagi lingkungan yang perlu menjadi wadah pendidikan, yaitu lingkungan digital. Sebab kita saat ini selain menjadi bagian dari warga negara dan warga bangsa, juga terhubung sebagai warga maya.
Tantangan Gerakan Perempuan di Era Modern
Dalam konteks modernitas, tantangan pendidikan kian terasa. Setidaknya ada dua masalah utama. Pertama, soal kekerasan. Dunia pendidikan hari ini tak dapat lepas dari pusaran kekerasan, baik itu kekerasan verbal, fisik, psikis, juga kekerasan seksual.
Kedua, seputar kesehatan mental. Ini juga menjadi topik yang kian hangat diperbincangkan. Bagaimana semakin banyak stres dan depresi yang mengancam masa muda. Di tengah tuntutan budaya industri yang serba cepat dan instan dan nilai materialistik yang kian dipuja, membuat orang banyak tergoda untuk sukses dengan cara praktis. Sering kali sikap semacam ini membuat mental mudah rapuh.
Dua masalah tersebut, kekerasan dan kesehatan erat kaitannya dengan peran pendidikan, khususnya pendidikan keluarga. Di sinilah urgensi kehadiran Aisyiyah di era modern. Membentengi keluarga dari kekerasan serta memperkuat kesehatan mental anak bangsa.
“Di telapak kakimu terbentang surga, di tanganmulah nasib bangsa, mari beramal dan berdarma bakti, membangun negara…”. Lirik mars Aisyiyah itu menegaskan elan vital ormas perempuan ini di era digital.
Tentu ada banyak cara yang dapat dilakukan. Jika dahulu, ada sosok Nyai Siti Walidah, Siti Munjiyah, Siti Umniyah, Siti Bariyah dan Siti Hayinah, para pendekar Aisyiyah yang menggagas pendidikan anak usia dini, penguatan keluarga, serta mendorong keterlibatan perempuan di dunia publik; maka kini kita pun membutuhkan kehadiran ibu peradaban yang santun dan lembut dalam mendidik.
Dunia modern saat ini terlalu masif dikuasai oleh maskulinitas pria sehingga berakhir pada kekerasan dan ketamakan dalam semangat menguasai. Sosok feminim ibu dibutuhkan untuk mengerem watak manusia tersebut.
Kini sudah 100 tahun lebih Aisyiyah berkiprah di negeri ini. Sudah banyak jasa yang diberikan, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi kerakyatan. Ke depan, di pundak ibu-ibu Aisyiyah tertancap tugas bukan hanya melahirkan generasi baru, tetapi juga membangun peradaban yang berkemajuan di tengah gempuran modernitas yang mengancam kemanusiaan.
Tetap semangat Aisyiyah berkiprah untuk negeri. Selamat Milad ke-107.
Editor: Soleh