Perspektif

Neoliberal, Konspirasi, dan Pandemi

3 Mins read

Pada tahun pertama peringatan tragedi 9/11 di Amerika, Presiden George Bush menulis sebuah catatan publik. Di situ, Bush menyandingkan teror yang tercipta di World Trade Centre sebagai wujud dari perang atas kebebasan manusia. Menurut Bush, dunia teror membangun kedengkian kepada Amerika Serikat sebab negeri Paman Sam tampil selaku sebuah tempat yang, ”penuh kedamaian di mana kemerdekaan sejati bertumbuh…”.

Bush tidak berhenti disitu, “Kemanusiaan menggenggam dalam tangannya kemenangan kebebasan atas musuh-musuh bebuyutannya, dan Amerika…”. Bush menegaskan maksud utamanya, ”menyambut baik tanggungjawab untuk memimpin misi mulia ini”.

Keterlibatan langsung dan sengaja Amerika untuk menjaga ‘kebebasan’ itu diartikulasikan kembali dalam dokumen pertahanan negara Amerika Serikat yang menyebut:

“Kebebasan adalah hadiah dari Sang Maha Pencipta kepada setiap pria dan wanita. Kita (Amerika) sebagai kekuatan terbesar di dunia terpanggil untuk terus menyebarkan nilai-nilai kebebasan itu”.

Kebebasan Sekadar Kata-kata

Segala yang tertulis oleh Bush dan administrasinya boleh jadi begitu Indah. Namun, politik tidak pernah terlihat sebagaimana apa adanya. Di permukaan, ia bisa saja terlihat menawarkan kebebasan individu, pembelaan kepada kaum lemah, dan penegakan nilai-nilai ketuhanan. Padahal sebenarnya, sebuah plot berisi kebiadaban dan keserakahan disembunyikan.

Buktinya begitu terang. Tepat beberapa waktu kemudian, Amerika melancarkan pengambilalihan kekuasaan di Iraq. Sebagai justifikasi invasi, dikatakan bahwa Irak menyimpan dan mengembangkan senjata pembasmi massal yang berbahaya bagi keamanan Internasional. Tuduhan yang hari ini terbukti dusta.

Melalui kekuatan militer dan kejelian intelijen, Amerika Serikat berhasil menginvasi Iraq dalam waktu kurang dari tiga minggu. Presiden Saddam Hussein pun melangsungkan perang gerilya hingga beberapa waktu kemudian dia tertangkap.

Saddam kemudian diadili dan dihukum gantung tepat saat hari suci umat Muslim pada Iduladha tahun 2006. Nafas Saddam terhenti saat tenggorokannya dicekik tali bersimpul laso di tiang gantungan.

Baca Juga  Sekali Lagi, Ada Apa dengan Tren Hijrah?

Kebebasan ala Amerika

Lantas apa kebebasan yang kemudian diciptakan oleh Amerika? Melalui pemerintahan interim Irak, empat langkah liberalisasi ekonomi dilangsungkan. Mulai dari swastanisasi aset-aset nasional, hak milik perusahaan asing atas kekayaan alam, hingga penghapusan segala sekat bagi perdagangan.

Kebijakan yang ‘membebaskan’ itu ternyata tidak berjalan sendiri. Sebab, di saat yang bersamaan, berbagai regulasi baru yang mengekang kebebasan juga dibuat. Demonstrasi dan mogok kerja dibatasi, serikat-serikat pekerja dihantam serta dilarang, dan kekuatan politik oposisi diburu dan dieksekusi.

Fakta-fakta diatas tidak menampilkan apapun selain kontradiksi. Kemerdekaan dan kebebasan adalah nilai ideal yang dicitakan, namun hal itu hanya sejauh kepentingan tertentu mendapatkan ruang. Kebebasan dengan demikian menjadi segala sesuatu: kecuali kebebasan itu sendiri..

Konspirasi

Bagi David Harvey, seorang ilmuwan sosial kritis kontemporer, hal itu sungguh nyata. Sesungguhnya yang sedang terjadi hanyalah upaya elit global untuk memulihkan dan memperkuat kelas sosial mereka, melalui penciptaan dunia yang mengizinkan eksploitasi ekonomi secara masif. Sebagaimana yang Harvey tunjukkan dalam bukunya yang legendaris itu, A brief history of neoliberalism, manipulasi ekonomi untuk mempertahankan struktur sosial timpang bukan sekadar konspirasi. Aktor-aktor intelektual peraih hadiah nobel hingga para pebisnis besar sudah lama berkongsi.

Tentunya, konspirasi ekonomi tidak hanya terjadi pada tataran Internasional. Dalam level domestik, Konspirasi juga terjadi bahkan pada taraf yang begitu menyedihkan. Michael Moore, seorang sutradara film dokumenter sosialis di Amerika begitu gamblang mengungkap persekongkolan ekonomi oleh industri. Di film Capitalism: A love story, Moore mengulas bagaimana dana dari sektor kesehatan dan asuransi diinvestasikan begitu deras kepada sektor industri makanan cepat saji.

Untuk apa investasi itu bila bukan untuk mendorong orang semakin banyak yang sakit dan berobat atau berasuransi? Apakah perkongsian semacam itu salah? Bukankah ekonomi adalah soal mendapat keuntungan sebesar-besarnya, tak peduli bagaimanapun caranya?

Baca Juga  Kemerdekaan Mengelola Perguruan Tinggi

Neoliberal dan Indonesia

Paling tidak ada tiga negara utama yang menjadi episentrum neoliberalisasi. Mereka adalah Cina, Inggris, dan Amerika. Melalui instrumen dunia seperti IMF beserta pinjaman bersyaratnya dan dorongan untuk reformasi ekonomi internal (pemotongan pajak, deregulasi pasar, pelemahan serikat pekerja), mereka berhasil menancapkan sistem ekonomi neoliberal hingga hari ini.

Indonesia juga terlanjur terjerat. Hutang yang jumlahnya begitu besar hingga kini membebani postur keuangan negara. Belum lunas satu pinjaman, pinjaman baru harus kembali diajukan. Namun, bukan itu yang paling berbahaya dari paham neoliberal.

Prinsip neoliberal menyatakan bahwa pasar diberi ruang seluas-luasnya untuk mengatur diri, dengan intervensi negara seminimal mungkin, dan kepemilikan privat yang terus dikembangkan. Prinsip ini berdasar pada pemahaman yang bias mengenai manusia sebagai mahkluk yang bebas.

Tentu, seperti halnya di Irak, yang juga pernah terjadi di Chile dan Brazil serta kini di seantero dunia, kebebasan di Indonesia tidak diperuntukkan bagi para miskin papa. Kebebasan hanya ditujukan pada penguasa modal terbesar agar mereka semakin kaya dan semakin kuat dalam mempengaruhi negara.

Negara juga bisa apa? Bila dalam prinsip ekonomi neoliberal, negara harus sekecil mungkin. Negara yang besar dipandang negara yang gemuk, lambat, dan boros. Negara yang kuat juga mengancam para mafia ekonomi sebab itu berarti formasi pasar yang mereka bentuk dapat diintervensi.

Pandemi

Negara, yang dalam konteks ini dimaksud pemerintah, tampak nafasnya tersengal-sengal. Sementara hutang mereka menggunung dan pertumbuhan ekonomi terjun bebas, sehingga mereka harus memberi stimulan. Sejauh mana bantuan negara mampu bekerja efektif bila sedari awal mereka hanya bagian kecil dari struktur ekonomi?

Bila kondisi sudah begini, berbagai alternatif menjadi mungkin terjadi. Namun satu yang pasti, hanya mereka yang dungu yang masih akan terus menunggu dan menggantungkan keselamatan diri kepada para menteri.

Baca Juga  Mazhab Indonesia: Pembaruan Hukum Islam Perspektif Hazairin

Editor: Nirwansyah/Nabhan

Avatar
32 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds