Pandemi ini semakin meyakinkan kita bahwa lanskap kehidupan itu mengalami perubahan fundamental. Tidak berlebihan untuk menyebut bahwa sebuah revolusi sedang terjadi. Siapa saja yang mempertahankan cara-cara lama, akan terkubur. Itulah sebabnya, di berbagai wilayah saat ini sudah menggaungkan New Normal. Termasuk pemerintah kita sudah mencanangkan New Normal dan berbagai persiapan sedang dilakukan.
Dengan New Normal, semua pekerjaan kembali seperti sedia kala dengan tetap mengikuti protokoler kesehatan. Ide ini telah menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, ada pro dan kontra. Kalangan yang menolak atau paling tidak yang mengritisi berdalih bahwa kurva korban Covid 19 di Indonesia perhari ini masih tinggi. Ini antara lain, karena masih banyak masyarakat yang disiplinnya rendah. Belum lagi kebijakan atau sikap pemerintah yang dinilai tidak tegas sehingga di tempat-tempat tertentu seperti mall tetap terjadi kerumunan. Alih-alih New Normal, selama ini saja korban pandemi meninggi.
Karena itu, kebijakan New Normal harus dilakukan dengan penuh pertimbangan matang, tidak cukup dengan hitungan atau pertimbangan ekonomi. Pemerintah haruslah benar-benar siap, jangan mengulangi kesalahan saat pertama kali kasus Covid-19 muncul di Depok. Mengabaikan dan terkesan meremehkan kasus itu, hingga merebak di mana-mana sampai sekarang kurva korban masih tinggi.
Paradigma Baru Pendidikan
Apapun, suka atau tidak suka, pandemi telah menjadi katalisator perubahan bidang pendidikan apalagi memang berkelindan dengan arus revolusi digital 4,0. Pandangan kita tentang pendidikan haruslah berubah. Penerapan cara dan sistem pendidikan konvensional sudah mulai terasa sedikit demi sedikit dipertimbangkan ulang. Perbincangan tentang perubahan pendidikan ke depan pasca pandemi sudah banyak dilakukan selama masa sulit.
Muhammadiyah, misalnya, secara intens menyiapkan hal ini dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Beberapa skenario disiapkan dan bahkan berharap pendidikan Muhammadiyah bisa menjadi model percontohan lembaga pendidikan pasca pandemi di Indonesia, paling tidak di kalangan lembaga pendidikan swasta. Di antara skenario itu ialah: (1) mainstreaming home schooling, (2) pengembangan daring system, (3) pengembangan dan penguatan SDM pendidik dan tenaga kependidikan agar tidak saja bisa menyesuaikan dengan keadaan baru tapi juga mampu secara inovatif dan kreatif mengembangkan program dan manajemen pendidikan berbasis virtual, (4) menempatkan peserta didik (pelajar dan mahasiswa) sebagai subjek pendidikan sehingga mereka memiliki kemampuan menentukan berbagai cara secara mandiri dan kreatif meningkatkan kualitas diri. Ini sejalan dengan konsep sekolah bebas.
Bagaimana Pesantren?
Pesantren itu, sebagai lembaga pendidikan Islam, sangat khas atau distinct meskipun dalam waktu yang sudah lama sebetulnya telah melakukan berbagai perubahan. Maksud dari perubahan itu sebetulnya ialah “menyesuaikan diri” dengan keadaan dan perkembangan baru. Dengan penyesuaian ini, maka pesantren tidak saja sekedar “survive” di tengah begitu banyaknya lembaga pendidikan yang kolaps, akan tetapi juga mampu “mengenjinier” dan menetapkan “strategi baru” sehingga pesantren senantiasa memperoleh trust publik yang luas membuktikan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang kompetitif. Sepanjang sejarahnya, para Kiai dan Ulama telah berhasil secara berdikari mengembangkan pesantren yang sangat disegani, apapun kesulitan yang dihadapi.
Pondok pesantren telah tampil dengan baik sebagai: (1) laboratorium keagamaan (keislaman) dan intelektual yang menyiapkan muslim berkepribadian unggul dan mendalami bahtera ilmu keislaman, (2) laboratorium leadership yang menyiapkan kader-kader pemimpin berkarakter dan profetik, (3) laboratorium kebangsaan yang menyiapkan warga negara muslim yang mencintai tanah air.
Di era pandemi ini, pesantren akan diharapkan memiliki kemampuan menjadi laboratorium kemanusiaan. Dengan kekuatan dan pengalaman panjang, pesantren haruslah menjadi centre of excellent Islam garda depan menghadapi penebaran wabah Covid-19. Humanitarianisme universal haruslah dipelopori oleh pesantren. Atas kekuatan dan modal sosial yang dimiliki, Pesantren bisa tampil sebagai unifying force, bahkan lintas agama dan lintas kelompok untuk misi kemanusiaan (humanitarian mission).
Bagaimana dengan kebijakan New Normal? Hemat penulis, perlu penetapan strategi nasional yang disepakati oleh pesantren-pesantren, misalnya, melalui Robitoh Ma’ahid. Peran pemerintah juga penting. Strategi nasional ini antara lain menetapkan arah dan sistim pendidikan pesantren era dan pasca pandemi. Cara dan pendekatan konvensional pondok pesantren mungkin mengalami revisi signifikan.
Karena itu, hemat saya, New Normal jangan dulu diterapkan pesantren dalam waktu dekat ini hingga sampai ada strategi nasional pengembangan pendidikan pondok pesantren yang pas. Saat ini, narasi yang harus dikembangkan ialah pesantren menjadi pusat keunggulan Maqoshid Syariah antara lain Hifdun-Nasi menjaga jiwa dari pandemi.
Editor: Arif