Perspektif

Kasus Suap: Rendahnya Kepekaan Politik Perempuan

3 Mins read

Tulisan Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy yang berjudul “Politik Perempuan dan Absurdnya PDIP” cukup menarik untuk dilakukan kajian lebih mendalam. Dalam kasus penetapan tersangka salah salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Wahyu Setiawan bersama tiga orang lainnya atas kasus dugaan penerimaan hadiah/janji terkait dengan proses pergantian antar waktu anggota DPR RI,  ia menyoroti dari sisi keterwakilan politik perempuan.

Dari sekian banyak opini yang berkembang dan diperbincangkan, sama sekali tidak ada yang menyoroti hal ini. Kebanyakan yang disoroti adalah sisi integritas penyelenggara pemilu. Termasuk mungkin saya sendiri. Hadirnya tulisan tersebut, mengingatkan saya akan hal kepekaan politik perempuan. Entahlah, apakah memang keterwakilan politik perempuan dipandang bukan isu seksi atau memang kesadaran gender kita yang masih lemah?

Makna Keterwakilan Perempuan

Meskipun angka keterwakilan perempuan di Pemilu Legislatif 2019 lalu meningkat dibandingkan dengan pemilu legislatif sebelumnya, namun mengapa hadirnya perempuan ini seolah menjadi tidak berdaya? Kemenangan suara perempuan dianggap tidak berarti, sehingga posisinya harus diganti dengan lobi-lobi yang mencederai demokrasi. Hal yang lebih memilukan lagi, tidak ada satupun dari PDIP untuk memperjuangkannya.

Jika melihat hasil rekapitulasi perolehan suara PDI Perjuangan untuk Dapil Sumatera Selatan 1, sesuai Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tanggal 21 Mei 2019 adalah Ir.H.Nazarudin Kemas 0, H.Darmadi Djufri 26.103, Riezky Aprilia 44.402, Diah Okta Sari 13.310, Doddy Julianto 19.776, Harun Masiku 5.878, Dra Sri Suharti 5699, Irwan Tongari 4.240.  Hasil rekapitulasi nasional tanggal 21 Mei 2019, KPU melaksanakan Rapat Pleno Penetapan Kursi dan Calon Terpilih pada 31 Agustus 2019 menetapkan untuk Dapil DPR Sumsel 1, DPP PDI Perjuangan memperoleh 1(satu) kursi dan calon terpilih atas nama Riezky Aprilia.

Baca Juga  Bebaskan Masalah Ekonomi Umat Dengan Zakat

Jelaslah sudah bahwa perolehan suara tertinggi dimenangkan oleh perempuan. Mestinya ini menjadi suatu kebahagiaan dan kebanggaan bagi partai politik ada keterwakilan perempuan yang mengisi parlemen. Namun, alih-alih mendapatkan apresiasi kepada calon terpilih, yang terjadi justru dikhianati. Saya pikir ini capaian yang luar biasa, Riezky Aprilia memperoleh suara tertinggi, meskipun secara no urut dirinya tidak menempati no urut yang signifikan yakni no urut 1 dan 2, melainkan ada di no urut 3.

Padahal, dalam Pasal 2 ayat 2 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengamanatkan bahwa pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Lebih lanjut dalam Pasal 53 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD menyatakan “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.  

Ketika komitmen tersebut telah diingkari oleh partai politik, maka jangan harap di pemilu berikutnya atau bahkan di pilkada serentak 2020 yang akan digelar, partai mendapatkan simpati dari masyarakat untuk dipilih. Mungkin bagi mereka di partai politik yang punya kepentingan dan haus akan kekuasaan menjadi hal yang biasa melakukan tindakan kotor dengan suap untuk menggeser perolehan suara. Seolah semua bisa diselesaikan dengan uang. Ketidakadilan proses nominasi, sistem pemilu dan kampanye politik menjadi fakror rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen (Wardhani, 2019).  

Perempuan Menjadi Korban

Lagi – lagi perempuan harus menjadi korban. Tidak bisa apa-apa karena dana terbatas. Mereka sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana perjuangan kampanye perempuan yang dilakukan selama tahapan kampanye yang berlangsung 203 hari. Mestinya, jika sedari awal partai politik hanya menjadikan keterwakilan perempuan dalam pencalonan sebatas mengisi ruang-ruang kosong dan pelengkap saja, lebih baik jangan diisi sekalian.

Baca Juga  Nasehat Ulama Muhammadiyah Kepada Jokowi

Meskipun segala hal yang diikhtiarkan untuk mengingkatkan keterwakilan perempuan dalam politik seperti affirmative action yang terus menerus didorong, namun ketika tidak ada kesadaran dan kepekaan dari partai politik itu sendiri, semua menjadi sia-sia. Apalagi kondisinya diperparah dengan kenyataan real di lapangan sesama kaum perempuan juga tingkat awareness masih sangat lemah. Sampai kapankah hal ini akan terjadi?

Sungguh sangat ironi, tatkala partai politik tidak menginginkan hadirnya perempuan untuk mengisi parlemen. Apakah karena calon terpilih kapabilitas dan kapasitasnya tidak mumpuni? kalau memang ini yang dijadikan alasan, bukankah tugas partai politik untuk melakukan pembinaan dan pengkaderan dengan baik? Padahal kita sama-sama tahu bahwa kehadiran perempuan di ranah politik praktis menjadi hal yang sangat vital bagi terciptanya pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan.

Kondisi ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Perempuan yang masih memiliki kesadaraan dan kepekaan harus ikut berjuang dan melawan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi. Paling tidak kita bergandengan tangan untuk menyuarakan kebenaran. Dalam hal ini, kaum perempuan politik yang tergabung dalam PDIP sudah seyogyanya melakukan keberpihakan dan advokasi terhadap sesama perempuan.  

Selanjutnya, para pegiat pemilu perempuan juga dapat menyuarakan dengan pernyataan sikap terkait kondisi ini. Toh, selama memang yang dilakukan tidak melanggar aturan perundang-undangan tidak ada yang perlu kita khawatirkan. Bukankah ini juga sudah menjadi tugas kita dalam mengawal kandidat perempuan yang mendapatkan ketidakadilan?? Ayoo peka!!!!

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *