Ramadhan ini, seperti juga pada tahun-tahun sebelumnya, di samping melakukan ibadah-ibadah sebagaimana umumnya Muslim, saya menulis. Satu artikel setiap hari. Kali ini, secara sengaja, saya tertarik mengulas Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an yang ditulis KRH Hadjid.
Memang tidak banyak santri langsung KH Ahmad Dahlan yang mencatat pemikiran-pemikiran ulama pendiri Persyarikatan Muhammadiyah ini. Yang terkenal hanya karya KRH Hadjid di atas dan karya Kiai Syuja’ yang berjudul Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Apabila Hadjid santri termuda Kiai Dahlan, Syuja’ tiada lain ialah santri sekaligus sahabat Kiai Pencerah tersebut.
Beberapa buku lain yang penting dijadikan rujukan ketika mengkaji pemikiran-pemikiran Kiai Dahlan adalah Kyai Haji Ahmad Dahlan: Pemikiran dan Kepemimpinannya karya M Yusron Asrofie dan KH Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya karya Junus Salam. Abdul Munir Mulkhan menulis Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah dan Djarnawi Hadikusumadengan Aliran Pembaharuan Islam: Dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KH Ahmad Dahlan juga sayang dilewatkan.
Cara Kiai Dahlan Ngaji Al-Quran
Kiai Dahlan menarik karena dia adalah man of action atau manusia amal. Berbeda dengan kebanyakan kita yang barangkali Mr Plan alias tukang rancang. Manusia amal selalu ampuh. Ucapannya sering menjadi kenyataan. Tindakannya kerap menginspirasi orang. Artinya, setiap nasihat yang lahir dari lisan Kiai Dahlan tidak sekadar muncul dari luasnya bacaan, namun hasil pengalaman dan pengamalan hidupnya.
Salah satu yang menarik ialah cara Kiai Dahlan mengaji Al-Quran. Seperti tertulis dalam buku Hadjid, cara Kiai Dahlan mengaji adalah dengan mengambil satu, dua, atau tiga ayat. Lalu dibaca dengan tartil. Kemudian direnungkan: (1) bagaimana artinya, (2) bagaimana tafsir keterangannya, (3) bagaimana maksudnya, (4) apakah ini larangan dan apakah kita sudah meninggalkan larangan ini, (5) apakah ini perintah yang wajib dikerjakan dan sudahkah kita menjalankan?
Mengaji model demikian tidak hanya akan mendapat pahala, tetapi juga beroleh ilmu dan hikmah dari apa yang disampaikan Al-Quran. Banyak orang menggalakkan khataman Al-Quran secara cepat. Jika perlu, dalam sehari harus khatam 30 juz. Biasanya dengan cara dibaca secara keroyokan. Atau, jika tidak demikian, yang sedang viral belakangan adalah tradisi one day one juz atau ODOJ.
Semua upaya tersebut memang tidak keliru dan pastinya akan mendapat pahala. Hanya saja, fungsi Al-Quran sebagai hudan atau petunjuk tidak didapat dari mengaji model demikian. Belum lagi, mengaji secara balapan semacam itu, jika tidak hati-hati betul, bisa-bisa berantakan makhraj dan tajwid-nya. Padahal, ketika mengaji Al-Quran, makhraj dan tajwid wajib dilafalkan secara bagus dan benar.
Empat Model Interaksi dengan Al-Quran
Kita tahu Islam ini system of belief dan way of life. System of belief intinya menjelaskan kepada kita tentang siapa Allah dan apa kewajiban kita kepada Allah. Sementara way of life menunjukkan kepada kita peta jalan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Nah, selama ini yang sampai kepada kebanyakan kita baru system of belief. Islam sebagai way of life masih jauh panggang dari api.
Sebab utamanya ialah cara mengaji Al-Quran kita baru sebatas bermotif cari pahala dan belum beranjak pada penggalian ilmu dan hikmah. Sekali lagi, bukan berarti mengaji Al-Quran dengan motif cari pahala itu salah. Mohon jangan salah paham. Tetapi, kalau benar-benar ingin menjadikan Islam kita sebagai “Islam Al-Quran” dan praktik keberagamaan kita benar-benar Islami, tiada lain upaya yang harus ditempuh kembali kepada Al-Quran. Dan mula-mula yang harus dibenahi adalah cara mengaji kita.
Setidaknya, ada empat model interaksi dengan Al-Quran. Pertama, tilawah. Yaitu melafalkan bacaan Al-Quran tanpa memerhatikan maknanya. Kedua, qiraah. Yaitu membaca Al-Quran dengan membuka terjemahan guna memahami makna ayat. Lebih tinggi derajatnya dari dua model itu adalah cara ketiga, yaitu tadarus. Model interaksi ketiga ini tidak cukup dengan menengok terjemahan, tetapi juga meneliti tafsir dan sebab turun ayat. Dan keempat adalah tadabbur. Sebuah ikhtiar mencari jawaban Al-Quran untuk persoalan hidup.
Untuk menemukan Al-Quran benar-benar sebagai petunjuk hidup atau way of life, minimal cara mengaji kita harus mengikuti model ketiga itu, yaitu tadarus. Bahkan, waktu Ramadhan yang kebanyakan kita sudah merasa melakukan tadarus, praktik sesungguhnya baru sebatas tilawah. Derajat qiraah pun belum.
Tentu yang paling keren dari keempat model interaksi tersebut adalah tadabbur alias mencari jawaban atas suatu persoalan hidup dari Al-Quran. Inilah tingkat paling top yang barangkali menjadi kebiasaan ulama dan para ahli kebijaksanaan hidup.
Yuk Jadi Santri Kiai Dahlan!
Kiat-kiat praktis mengaji Al-Quran yang diajarkan Kiai Dahlan sudah saatnya kita praktikkan. Yuk kita ngaji Al-Quran bareng Kiai Dahlan! Sekarang ini sudah banyak wasilah yang memudahkan kita semua. Bagi yang tidak mampu mengakses kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, silakan memilih tafsir Al-Quran bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Buku Asbabun Nuzul dengan berbagai macam bahasa, termasuk bahasa Indonesia, juga banyak di pasaran.
Dengan demikian, mengaji Al-Quran mengikuti cara Kiai Dahlan akan terasa lebih nikmat. Janganlah kita puas hanya dengan tilawah secara one day one juz. Apalagi hanya sekedar melafalkannya sambil ngebut. Di samping pelafalannya tidak fasih, dijamin salah-salah pula.
Kini, saatnya kita mengaji Al-Quran supaya mendapat pahala, sekaligus juga beroleh ilmu dan hikmah untuk mengasah kepribadian. Dan cara ngaji yang seperti itulah sebenarnya yang diajarkan oleh Kiai Dahlan. Sungguh!
Editor: Arif