Tajdida

Kerinduan ber-Muhammadiyah Seorang Penderita COVID-19

5 Mins read

“Ngapunten sanget mas, Reza lama nggak ada kabar dan hilang dari peredaran. Ini Mas Qosdus tahu dari mana kalau saya lagi kena COVID?”
“Santai akhi, semalam ane baca di grup JMAF, la ba’tsa thohurun. Ini jadi pembersih kita. Insya Allah antum akan cepet pulih, dan hasil swab akan negatif. Ane lihat wajah antum sudah kelihatan segar.”

Matahari di Kamis pagi kemarin belum jauh beranjak dari peraduannya. Saya dikejutkan oleh kabar bahwa salah satu kader kami sewaktu kuliah di Malang positif COVID-19.

Syahreza, putra Rektor IAIN Antasari Banjarmasin periode 1984-1992, adalah juga seorang profesional di BRI Kanwil Banjar.

Pagi itu, saya belum sempat membaca tulisan Abah Dahlan di DIsway, Rapid 9 Juli 2020.
Reza–panggilan akrab Syahreza, menuturkan dengan terbata, betapa ia merasakan sakitnya penderitaan yang mesti ditanggung oleh penderita COVID.

Kisah Syahreza al-Banjari

“Mas Qosdus sudah lihat belum video Aa Gym yang terakhir?”
“Iya saya sudah melihatnya.”

“Jadi, gambaran yang disampaikan Aa Gym itu benar sekali mas, ini Reza ngerasain bagaimana rasanya pecahan kaca menusuk paru-paru. Sakitnya luar biasa.”

“Reza sudah sejak awal Juni sebenarnya sudah merasakan gejala yang sama persis dengan identifikasi penderita COVID. Kantor sudah meminta saya isolasi mandiri bersama keluarga. Namun, 2 minggu yang lalu, tepatnya pada hari Rabu, saya akhirnya harus menjalani isolasi rawat inap di RS Ciputra Banjar. Kemarin, saya di-swab lagi. Hasilnya mungkin akan diketahui Jumat siang. Mohon doanya agar Reza diberikan kesembuhan ya, mas.”

“MasyaAllah Mas Reza, begitu ya ceritanya. Mohon maaf ane hanya bisa mendoakan antum dari jauh. Semoga antum lekas pulih. Tapi kalau ane lihat wajah antum sudah kelihatan lebih segar. Lha ini antum bisa sambil jalan-jalan pagi, ya?”

“Iya, mas. Ini di sini judulnya aja diisolasi. Tapi herannya, masa kami dikumpulkan dalam satu kamar. Mestinya ‘kan kalau mau beneran isolasi ya sekamar sendiri.”

“Lha kok bisa begitu kenapa, mas?”
“Mungkin karena saking penuhnya rumah sakit, mas. Ini Reza sejak dua minggu yang lalu sendirian saja. Anak Istri juga harus menjalani isolasi mandiri di rumah. Sedih banget rasanya.”

Syahreza dan Cerita Para Kader

Syahreza, kader IMM FISIP UMM, terkenal sangat alim dan santun. Ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan di Masjid AR Fachruddin. Bahkan, ia juga merangkap menjadi Pengurus Jamaah Masjid AR Fachruddin (JMAF).

Baca Juga  Menjadi Umat Tengah itu Sangat Penting!

“Mas, boleh nggak Reza cerita sedikit lagi?”
“Oh iya, mas, lanjut aja nggak papa.”

Itu kesekian kalinya Reza meminta. Sudah lebih satu jam video call kami berlangsung.

“Saya mohon maaf banget, mas. Ingin jujur saya sampaikan alasan mengapa saya seperti menghilang dari IMM.”
“Ah, itu nggak usah kamu ceritakan. Aku sudah paham, Za.”

Saat itu aku sudah tidak lagi menyebut diriku ane dan memanggilnya antum. Sebagaimana lazimnya gaya komunikasi aktivis KAMMI yang berlanjut menjadi PKS, khas produk tarbiyah. ?

“Sudah nggak usah kamu pikir, kawan-kawan juga sangat paham mengapa akhirnya kamu hanya mementingkan aktif di JMAF saja.”

Saya nggak enak banget sama Mas Qosdus ini. Saya masih ingat waktu jenengan ngisi DAD di daerah Malang Selatan, saya lupa di mana tempatnya. Saat itu saya merasa sangat termotivasi untuk menjadi aktivis kampus. Saya juga sangat berhutang budi pada Mas Auri Adam Putro. Beliau yang sangat telaten mengajari saya menulis. Juga Mas Julio Thomas Pinto. Gimana sekarang kabarnya Beliau?”

“Bagus semua, Za. Auri sudah Doktor. Saat Ujian Terbukanya, Alhamdulillah saya dan Irma bisa hadir. Nashrullah juga ikut hadir memberikan sambutan sebagai Staf Khusus Mendikbud. Kalau Julio, beliau masih di ring 1–Presiden. Walaupun sudah tidak menjabat Menhan Timor Leste.”

“Wah, hebat-hebat banget ya senior IMM ini. Bangga banget, dan bersyukur banget Reza dapat berkesempatan menjadi kader jenengan dan senior-senior IMM lainnya di UMM.”

Rindu Ber-Muhammadiyah

“Mas, boleh nggak dikit lagi ya. Kalau jenengan nggak keberatan dan nggak segera berangkat ke kantor. Reza ingin menyampaikan permintaan maaf lagi kepada jenengan.”

“Heii udah.. apa kamu ini kok minta maaf terus, koyok sing kokean doso ae. Hahaha.”
“Enggak gitu, mas. jadi Reza ini merasa bersalah banget karena tidak bisa aktif lagi di Muhammadiyah. Walaupun kemarin saya juga masih sempat hadir pas ada pengajian Pak Mu’ti, Sekjen PP di Banjarmasin.”

“Karena kalo di BRI ini memang bener-bener menghabiskan waktu, mas. Mau jadi pengusaha juga nggak bakat. Ya sudah jadinya ngurusin duitnya orang.”
“Iya, Za. Aku maklumi itu. Itu Agus Luqman apa kamu masih ingat?”
“Oh injih, mas.”

“Dia juga tadinya di BRI. Dari BRI konven di Lamongan, pindah ke BRI Syariah Kediri. Lalu, terakhir ditarik lagi oleh BRI untuk mengisi pos di BRI Kanwil Malang. Karena dia juga aktif sebagai Ketua Majelis Ekonomi PDM Kediri, jadilah dia sering bertemu dan rapat bersama almarhum Pak Nadjikh, yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua MEK PWM Jatim. Singkat cerita, Agus diminta Pak Nadjikh keluar dari BRI, agar Agus bisa full memimpin Bank Mitra Syariahnya Pak Nadjikh di Gresik. Setahun terakhir ini, Agus wira-wiri ke Jakarta. Dia membikin perusahaan sendiri, bersama eks bankir-bankir syariah bergerak di bidang properti, jasa recapital, seperti punya Sandiaga, hingga mengembangkan layanan digital untuk kantor-kantor pemerintah dan swasta. Kemarin, dia sudah tanda tangan kontrak dengan Angkasa Pura II untuk pembangunan ratusan unit perumahan karyawan AP II.”

“Masya Allah. Mas Agus saya inget sekali, mas. Beliau juga sangat aktif di JMAF sama Mas Ananto.”
“Lha.. iki aku karo Ananto yo sering ketemu meeting bareng.”

“Yaa Allah… Jadi pengen banget segera sembuh dan bisa sowan ke jenengan di Jakarta. Selain Mas Ananto siapa aja mas kawan-kawan JMAF yang masih sering kontak jenengan?”

“Ada beberapa, mas. Seperti Akhid Rosyidi. Dia tinggal di Bekasi. Ada Aris, ia di Semarang. Kemarin, ia nanya-nanya saya karena ingin masukkan anaknya di Muallimat Jogja. Sisanya ya komunikasi di grup JMAF. Lha kamu kok malah keluar dari grup ta?”

“Iya, mas. Maaf, waktu itu saya pas lagi padat banget kerjaan di BRI. Jadi malu saya sama jenengan.”

***

“Kapan mas ada rencana agenda ke Banjar?”
“Ya mudah-mudahan dalam waktu dekatlah, Za.”

“Monggo pinarak lho, mas. Kabari Reza kalo jenengan ke Banjar”
“Insya Allah Mas. Salam ya untuk keluarga semua.”
“Injih, mas. Salam juga ke Mbak Irma, Mas Auri, Mas Nashrul, dan lain-lain. Jika ada grup Komisariat Fisip, boleh saya minta tolong dimasukkan lagi.”

Mungkin Reza masih mengira jika Qosdus itu adalah Mahasiswa Fisip. Persis pertama kali umumnya orang mengenalku. Mereka pikir, Qosdus dengan sederet grubyak-grubyuknya adalah Fisip. Sama sekali mereka tidak akan menyangka, jebule Qosdus itu mahasiswa ilmu perpaculan. ??

Baca Juga  Muhammadiyah dan Industri 4.0: Menyiapkan Keadaban Islam Progresif (Bagian 2)

“Oh iya, Za. Nanti biar disampaikan Irma di grup Fisip. Itu orangnya sudah siap-siap mau berangkat ke TK. Menyiapkan awal masuk tahun ajaran baru di TK Aisyiyah Trensains Legoso.”

“Mas.. boleh nggak satu lagi?”
“Opo maneh, Za?”
“Gimana situasi Jakarta hari ini, mas? Tentang RUU HIP. Peran MUI. Peran sentral Pak Haedar. Kyai SAS. Saya kok ikut ngeri melihat dari jauh.”

“Wahh raono enteke bahas negoro, Za. Hahaha.”
“Iku saiki Fahri Hamzah malah jadi eksportir benih Lobster. Mantap itu. Dollar kabeh iku nggak ono krewenge.”

***

Begitulah, Kamis pagi kemarin tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Usai video call aku lihat record di hp-ku muncul angka 1.42.34 465,8 MB.

Kemarin, Reza terlihat begitu gembira menerima teleponku. Sembari jalan pagi keliling area RS Ciputra, ia begitu ingin sembuh. Ia ingin bisa kembali aktif di Muhammadiyah. Ia berkali-kali merasa berdosa ketika ia tinggalkan IMM, dan hanya fokus khusyuk di JMAF.

Reza begitu jujur mengatakan alasan pilihannya hanya aktif di JMAF. Ia merasa tidak cocok lagi suasana pergaulan ikhwan dan akhwat di IMM Renaisance FISIP UMM, yang dinilainya semakin longgar. Ia juga heran ketika di komisariat yang lain, masih ada yang bisa tsiqoh menjaga adab pergaulan dengan non mahram. Mungkin Reza akan makin kaget melihat semakin banyaknya fenomena kader immawati yang mayoritas menampilkan tren hijab hijrah syar’i.

Kita doakan bersama agar Reza segera sembuh dan mampu mengusir COVID dari tubuhnya. Aamiin.

Editor: Lely N

Avatar
11 posts

About author
Santri Pengelana kelahiran Lamongan ini telah lama menyepikan dirinya dari dunia jurnalisme. Ia yang merupakan Kandidat Doktor Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah & Perdesaan Sekolah Pascasarjana IPB ini, meniti karir sebagai Konsultan berbagai Project Bidang Pertanian, Perikanan dan Kelautan, serta Program-program Pengembangan Kawasan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan Republik Indonesia. Ia mengasah jiwa leadershipnya sejak IPM Sekolah Kader Lamongan. Pernah menjabat Ketua Umum DPD IMM Jawa Timur 2002-2004. Dan menjadi Wakil Sekretaris Bidang Kebijakan Publik LHKP PP Muhammadiyah 2010-2015. Kini, ia aktif sebagai Penasehat PRM Legoso-Ciputat.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *