Usai sudah pelaksanaan Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Surakarta, jutaan manusia tumpah ruah di kota Solo dari tanggal 19-20 November 2022. Berbagai pembahasan pun telah dituntaskan, kepemimpinan pun telah mengalami perubahan. Memang sekilas tak berubah, karena Prof. Haedar Nashir dan Prof. Abdul Mu’ti kembali menjadi Ketua dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Namun, ada nama-nama baru di 13 Pimpinan Muhammadiyah. Di sisi lain, ‘Aisyiyah mengalami perubahan, Ketua dan Sekretaris Umum dijabat oleh Dr.apt Salmah Orbaniyah dan Dr. Tri Hastuti Nur Rochimah.
Berbagai cerita menarik dan unik menghiasi memori mereka yang datang ke Manahan ataupun ke Edutorium UMS, wajar saja hampir seluruh penjuru Indonesia dan dunia sangat antusias menyambut dan menggembirakan Muktamar ke-48 kali ini.
Bagi mereka para penggembira, bisa mendekati stadion saat pembukaan ataupun berada di sekitaran Edutorium sudah sangat senang meski tak bisa masuk ke dalam. Mereka rela jalan kaki berkilo meter, sambil saling senyum sapa meski tak mengenal satu sama lain.
Muktamar dan Keteladanan
Sampai pada akhirnya, Prof. Haedar dan Prof. Mu’ti terpilih, tak ada riuh kegaduhan bahkan kursi pun masih berada di posisi sebagaimana saat di tata oleh panitia. Menyejukkan, semua proses dari Sidang Tanwir, Pleno sampai pemilihan dilaksanakan dengan tertib. Yang terpilih atau pun tidak terpilih semuanya senyum gembira, tidak ada terdengar kasak-kusuk dan drama di dalamnya. Bahkan, dari dibuka oleh Presiden Joko Widodo sampai ditutup Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin, nampak suasana adem ayem.
Pemilihan yang memanfaatkan teknologi yang hasilnya pun sangat dapat dipercaya, tata cara baik teknis maupun regulasi yang rapi dapat menjadi contoh bagi proses pemilihan yang lain, misalnya Pemilu. Hampir semuanya berjalan sebagaimana rencana yang di wacanakan oleh panitia. Jutaan penggembira pun terlihat tertib, segala antisipasi dari logistik hingga kesehatan pun dipersiapkan dengan baik. Maka pantaslah Mas Gibran, Walikota Solo memberikan apresiasi terkait kesiapan pelaksanaan Muktamar ke-48.
Hal ini tentunya dapat menjadi teladan bagi bangsa Indonesia, suasana yang sejuk dan penuh keakraban menghiasi permusyawaratan tertinggi sebuah organisasi besar bernama Muhammadiyah. Kita pun berharap, Pemilu 2024 nanti pun berjalan demikian. Tak ada ujaran kebencian, politik identitas, jual beli suara, dan rapinya pelaksanaan.
Belum lagi proses pemilihan bagi yang terpilih maupun tidak terpilih, semuanya senyum dan bergembira. Tak ada kekecewaan, makian, bahkan seakan cuma rapat biasa bukan perhelatan acara yang besar. Menarik bukan? Muhammadiyah sudah dewasa dalam menghadapi proses peralihan kepemimpinan, tidak jadi pimpinan bahkan malah menjadi hal yang melegakan. Karena di Muhammadiyah lebih sering rebutan tidak mau menjabat, daripada rebutan menduduki jabatan.
Muktamar Muhammadiyah yang Berkeadaban
Inilah yang membuat Muhammadiyah besar, karena mengedepankan adab. Adab yang didapatkan dari keilmuan yang dimiliki, sehingga tidaklah sulit bagi Muhammadiyah dalam menyelesaikan hal-hal besar yang dihadapi, termasuk Muktamar. Kenapa besar? Karena event Muktamar adalah saat dimana dinamika organisasi terjadi, keseruan ada didalamnya. Meski begitu, nuansa dingin dan tenang ada pada prosesnya. Walaupun mungkin sebenarnya suasana panas dan menegangkan menyelimuti arena.
Kedewasaan ini yang menjadikan Muhammadiyah mampu bertahan dalam kondisi apapun, termasuk di tengah keadaan bangsa yang rumit sekalipun. Muhammadiyah seakan sudah siap dan mempersiapkan segala kemungkinan yang bakal terjadi, sehingga permasalahan apapun dalam proses Muktamar mampu dilalui dengan baik. Misal soal kesehatan, makanan, bahkan sampai kebersihan semua sudah di antisipasi sedari jauh-jauh hari.
Negara ataupun penyelenggara Pemilu bisa mencontoh bagaimana cara bermusyawarah seperti yang dilakukan Muhammadiyah. Penuh dengan kegembiraan, namanya juga ‘pesta demokrasi’. Istilah itu kita sering dengar saat Pemilihan Umum (Pemilu) akan digelar.
Namanya pesta, harusnya dilakukan penuh suka cita, tanpa ada duka atau bahkan tak menyisakan luka. Itulah hakikatnya pesta, dan Muhammadiyah menjelang Pemilu 2024 sudah memberikan keteladanan dalam memilih pemimpin. Memang secara regulasi memang berbeda, namun paling tidak adab dalam menjalankannya bisa menjadi teladan bagi bangsa.
Muhammadiyah dan Indonesia adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan, keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam merawat bangsa dan negara. Terlebih banyak sekali sumbangsih Muhammadiyah pada negeri ini sebelum dan sesudah kemerdekaan, bahkan sampai sekarang. Peralihan kepemimpinan demi kepemimpinan sudah di alami oleh Muhammadiyah dan Indonesia. Namun, tak ada salahnya ketika sebuah bangsa meniru proses dan etika dalam mencari pemimpin dari sebuah organisasi masyarakat.
Muktamar ke-48 seakan menjadi awal dan contoh bagi bangsa dalam menjaga demokrasi, sehingga Pemilu 2024 nantinya tak ada salahnya mengadopsi Muktamar Muhammadiyah. Meski bukan pada aturan, namun tata cara dari proses pemilihan yang menggunakan teknologi, keadaban dalam proses pemilihan dan musyawarah didalamnya. Serta kesantunan dalam bersikap, juga mengedepankan adab. Agar tidak ada lagi istilah-istilah bagi pendukung si A atau si B, tak ada ujaran kebencian, dan hal-hal kurang beradab pada proses demokrasi pada Pemilu 2024 nanti.
Editor: Yahya