SEBAGIAN besar dari pembaca pasti pernah mendengar kalimat gaul anak muda masa kini, “Ah, ngopi-nya kurang jauh…” Ungkapan ini umumnya digunakan untuk menyindir mereka yang kurang luwes dan luas memahami persoalan, berperspektif tunggal, kurang informasi, atau mudah melakukan penilaian (negatif). Singkatnya, merujuk kepada seseorang dengan pergaulan sempit dan wawasan kurang.
Memang, kalimat ini lebih banyak muncul sebagai candaan di kalangan anak muda; dan umumnya diungkapkan kepada teman dekat. Tetapi, ungkapan yang sepertinya sepele ini, bagi saya, memiliki makna luas. Tak hanya luas makna, namun dimensi penggunaannya juga bisa diperlebar untuk hal-hal yang bersifat ilmiah dan serius.
Dalam ungkapan “ngopi-nya kurang jauh,” terdapat pesan agar seseorang memperluas cakrawala pandang dengan pergaulan yang tak terbatas. “Ngopi” dalam hal ini memang secara harfiah bermakna minum kopi di warung-warung atau di kafe-kafe, sebagaimana kini menjadi tren. Maka, anak-anak muda yang tak pernah “ngopi”, lalu disebut sebagai anak rumahan, kurang gaul, atau kuthuk, dalam bahasa Jawa. Kuthuk kurang lebih bermakna suka berdiam diri di rumah.
Namun, dalam aktivitas “ngopi” ini sebenarnya terdapat dimensi lain yang perlu diungkap, terutama “ngopi”-nya para aktivis. Bagi yang bukan aktivis, “ngopi” mungkin berhenti sebagai aktivitas suka-suka, melepas kejenuhan, dan bertemu teman saja. Namun bagi para aktivis, “ngopi” adalah sarana pertukaran ide, wacana, atau pengalaman, meskipun dibumbui canda di sana-sini. Karena itu, jika seorang aktivis memperoleh label “ngopi-mu kurang jauh,” itu sindiran yang serius, karena yang bersangkutan dianggap kurang pergaulan, kurang informasi atau berwawasan cekak tadi. Tak heran, ngopi pun dijadikan akronim dari ungkapan “ngobrol pintar.”
Antara “Ngopi Kurang Jauh” dan Islamofobia
Lalu bagaimana jika ditarik ke dalam hal yang lebih serius? Misalnya tentang “Islamofobia” yang belakangan ini mengemuka menyusul pernyataan dan kebijakan tak simpatik Presiden Prancis, Emanuel Macron. Dalam hal inilah, lalu kita bisa memahami ungkapan “dunia kecil” yang dilontarkan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir.
Dari arti harfiahnya saja, bisa dipahami bahwa dunia kecil merujuk kepada sempitnya wawasan yang menghuni pikiran seseorang. Namun Prof Haedar bergerak lebih jauh dengan mengutip istilah kesehatan myopia (kata sifatnya myopic) untuk memperjelas apa sesungguhnya dunia kecil yang ia maksudkan. Dalam dunia kesehatan, istilah myopia digunakan untuk menyebut mata yang bermasalah dalam melihat benda-benda pada jarak jauh atau secara sederhana disebut “rabun jauh.”
Pandangan myopic menjadi penghalang bagi seseorang untuk melihat objek di sekitarnya secara terang. Nah, jika ditarik maknanya secara lebih luas, dalam konteks sosiologis, misalnya, Prof Haedar (2020) menyebut, “…Orang yang hidup di dunia miopik terkerangkeng ‘iron-cage’. Mereka terkurung dalam sangkar-besi yang gelap, tidak terbuka pada dunia luar yang terang.”
Di antara banyak musabab, “ngopi kurang jauh,” menghuni dunia kecil, dan pandangan miopik inilah yang menghasilkan kebencian, dan menjadi muasal Islamofobia. Lalu apa sesungguhnya Islamofobia itu? Dari aneka definisi, rumusan Todd H Green (2015: 9) saya kira sangat layak dikutip. Ia menggambarkan Islamofobia sebagai “hatred, hostility, and fear of Islam and Muslims, and the discriminatory practices that result” (kebencian, permusuhan dan ketakutan kepada Islam dan Muslim, serta praktik-praktik diskrimatif yang diakibatkan [oleh pandangan-pandangan tersebut]).
Ciri-ciri Islamofobia
Green kemudian menggambarkan hakikat Islamofobia. Baginya, Islamofobia dicirikan oleh pandangan bahwa: a) Islam bersifat monolitik dan statis, b) Islam bersifat asing, terpisah dan “lain”, c) Islam bersifat rendah, d) Islam sebagai musuh, e) Islam itu manipulatif, f) Diskriminasi rasial pada Muslim bisa dibenarkan, g) Kritik umat Islam terhadap Barat selalu dianggap salah, dan h) Wacana anti-Islam dianggap wajar.
Rasanya, rumusan serius Green ini mengarah kepada satu kesimpulan, bahwa Islamofobia hanya mungkin terjadi di kalangan penghuni dunia sempit dan bertengger di alam pikiran mereka yang “ngopi-nya kurang jauh.”
Menganggap Islam sebagai monolitik, misalnya. Itu jelas merupakan tanda orang tidak berwawasan jembar. Islam sebagai agama memang satu. Tetapi ekspresi atas Islam tidaklah tunggal. Demikian pula cara seorang Muslim membela agamanya, juga beragam. Apatah lagi pandangan Muslim tentang aneka persoalan serius, pasti berbeda-beda.
Tuduhan Bahwa Islam Identik dengan Kekerasan
Namun, sulit bagi orang yang berpandangan miopik untuk memahami keragaman itu. Salah satu contoh pandangan monolitik tentang Islam itu adalah pengaitan atau penyamaan Islam dengan kekerasan. Persepsi ini pastilah lahir dari keluguan pikiran, bahwa dari jumlah Muslim sedunia yang 1,9 miliar sangat sedikit yang bersikap pro pada kekerasan.
Mari ambil kasus Indonesia, sebagai gambaran. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), didukung oleh UN Women dan Wahid Foundation pada tahun 2018 mengungkapkan bahwa Muslim Indonesia yang pro ormas radikal hanyalah 9,0 persen. Sementara sebagian besar, yaitu 51,7 persen bersikap anti-ormas radikal dan 39,2 persen tidak bersikap. Jadi, alasan apalagi yang bisa dihadirkan kepada pemilik pandangan bahwa Islam adalah monolitik, selain “ngopi-nya kurang jauh.”
Maka, “ngopi jauh” menjadi penting karena bisa melibatkan gerak melintas batas dan saling pemahaman antar-masyarakat, budaya, dan nilai. Namun, rasa-rasanya tidak diperlukan “melintas-batas” dalam arti saling bertukar iman untuk mengubah Islamophobia (benci Islam) menjadi Islamophilia (cinta kepada Islam). Hanya diperlukan empati dan memandang orang lain sebagaimana kita ingin orang lain memandang kita, sehingga mutual understanding dan mutual respect bisa dihasilkan.
Karena begitu besar bahaya menghuni dunia kecil dan berpandangan miopik ini, Prof Haedar menggariskan sebuah pesan substantif agar kaum Muslim menghindarinya. “Kaum Muslim jangan masuk ke dunia kecil hadapi orang-orang berperangai kerdil. Keburukan tak harus dibalas setimpal. Selalu ada cahaya di atas segala cahaya dunia. Mereka yang suka menista Nabi masih terkerangkeng dunia kerdil dalam bayang-bayang jahiliyah modern. Mungkin mereka hanya sekrup dari modernitas, bukan aktor peradaban. Dalam istilah Alvin Toffler, sekadar menjadi The Modular Man.”
Macron “Ngopinya Kurang Jauh”
Kembali ke kontroversi Macron, kita semua tahu bahwa Macron memang seorang presiden dari sebuah negara maju. Karenanya, ia pasti telah menjejak berbagai tempat. Tak mungkin juga ia tidak berinteraksi dengan manusia dari aneka latar belakang identitas. Dari perjalanan yang ia alami sebagai presiden itu, pastilah Macron pernah mencicipi ragam minuman, termasuk pula macam-macam kopi. Jadi, sudah pasti Macron ini termasuk orang yang “ngopi-nya jauh.”
Tetapi, melihat pernyataan dan sikapnya tentang Islam dan Muslim, rasanya tak salah jika saya sebut “ngopi jauh”-nya Macron berhenti di aspek fisik-material saja. Secara wawasan dan perspektif, ternyata Macron termasuk ke dalam kategori mereka yang “ngopi-nya kurang jauh.” Tentu, Macron hanya sebuah simbol.
Di Eropa, Amerika dan di mana saja, menemukan pribadi model Macron ini tidak sulit. Maka, meskipun mereka ini telah pergi ke berbagai tempat, pada hakikatnya mereka tak mengalami “ngopi jauh” secara wawasan dan spiritual. Ngopi yang jauh, yuk!
Editor: Yahya FR