Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Sudah lebih dari satu minggu Susi menangis karena tidak siap ditinggal pergi Ajus Suaminya. Mereka berdua menikah saat Susi berusia enam belas tahun dan Ajus berusia delapan belas tahun. Pernikahan mereka terpaksa dilakukan setelah Susi diketahui hamil. Orang tua Susi merupakan pekerja serabutan, enam bulan sekali keduanya pergi ke Jakarta jadi tukang masak untuk dapur perusahaan konstruksi bangunan. Keluarga kecil Susi tinggal di rumah orang tuanya dan bertahan hidup dari pendapatan bulanan yang tidak besar hasil kerja Ajus sebagai buruh pabrik kerajinan cermin. Ini bukan potret problem pernikahan dini dan kerumitan problem sosial di kota-kota di luar Jawa. Tapi persis terjadi di Yogyakarta.
Potret problem rumah tangga Susi merupakan contoh rumitnya praktik pernikahan dini, problem sosial, dan ketimpangan ekonomi secara bersamaan. Kebanyakan orang sepakat bahwa pernikahan dini bukan saja tentang moral atau keabsahan keagamaan, melainkan bagian dari problem baru kehidupan sosial. Tapi mengapa, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak bisa menyelesaikan problem ini?
Saya melihat, kebanyakan perspektif yang dikembangkan dalam perdebatan mengenai pernikahan dini atau “nikah muda” kaum muslim mengabaikan satu hal penting. Kebanyakan perspektif yang berkembang hari ini hanya berputar pada tiga argumentasi besar, yakni pertimbangan kematangan biologis, kematangan ekonomi, dan kesehatan mental. Padahal, melampui itu semua, pernikahan dini merupakan rantai yang tak terpisahkan dari proses kekerasan budaya yang jelas-jelas merugikan kaum muda muslim kelas bawah.
Tiga Pendangan Islam tentang Pernikahan Dini
Saya ingin menggambarkan tiga argumentasi atau perspektif Islam yang berkembang dalam perdebatan mengenai pernikahan dini. Tujuannya supaya kita bisa menerka bagaimana Islam merespon dan menjawab persoalan pernikahan dini? Setidaknya ada tiga respon besar komunitas muslim terhadap pernikahan dini.
Kelompok pertama, menganggap pernikahan dini sah karena tidak bermasalah baik dalam teks maupun tradisi agama. kelompok ini mengacu pada pemahaman bahwa pernikahan adalah perintah agama yang wajib dilaksanakan. Bahkan, atas dasar itu, usia pernikahan sama sekali bukan halangan seseorang melangsungkan pernikahan. Seseorang yang sudah akil baligh atau dewasa secara biologis, punya peluang untuk menikah. Orang yang sudah akil baligh, dianggap sudah menjadi mukallaf atau “orang yang sudah dikenai kewajiban”.
Bagi kelompok muslim pertama ini, orang yang sudah menampakkan tanda-tanda kematangan dan kedewasaan disarankan menikah. Penundaan pernikahan akan dianggap sebagai tindakan kurang tepat.
Kelompok kedua menganggap pernikahan tidak serta merta menjadi wajib hanya karena tanda-tanda kematangan biologis. Pernikahan merupakan perpaduan antara kesiapan biologis, sosial, dan psikologis. Kelompok kedua ini biasanya berasal dari kelompok muslim yang terdidik dalam pola pendidikan mainstream. Mereka biasanya mengutamakan pertimbangan kematangan sosial dan ekonomi daripada biologis.
Bagi mereka, keberhasilan pernikahan lebih mungkin terjadi pada pasangan yang punya kemampuan pengelolaan diri tinggi serta punya keterampilan tertentu untuk mengakses pekerjaan. Apalagi angka talak dan perceraian di Indonesia justru semakin besar jika dibandingkan dengan angka perkawinan tiap tahunnya. Jumlah perceraian cenderung meningkat bahkan pada pasangan muda dan matang. Kenyataan ini memperkuat argumentasi bahwa pernikahan sebaiknya tidak perlu dilakukan terlalu dini, apapun alasannya. Kecuali dalam kondisi darurat seperti kehamilan pra-nikah.
Kelompok ketiga berasal dari kelompok muslim yang menolak pernikahan dini sama sekali. Kelompok ketiga ini punya aspirasi unik bahwa pernikahan bukan cuma persoalan biologis atau ekonomi, tapi juga aktualisasi diri. Bagi mereka, kelayakan pernikahan ketimbang faktor biologis atau ekonomi, sebetulnya berkaitan erat dengan kematangan psikologis. Mereka menekankan bahwa pernikahan berkualitas (sakinah) hanya mungkin dicapai oleh pasangan yang memutuskan pernikahan berdasarkan kondisi kesehatan mental.
Jadi, persoalannya bukan sebatas usia atau kemampuan ekonomi. Mereka mengkritik kelompok pertama dan kedua yang menganggap pernikahan sebagai sarana reproduksi dan unit sosial-ekonomi saja. Bagi mereka, institusi rumah tangga merupakan penopang utama kualitas masyarakat. Penekanan pada perspektif kesehatan mental ini juga akan mencegah terjadinya penyimpangan dan kekerasan dalam praktik pernikahan.
Kampanye Nikah Muda
Pernikahan merupakan praktik budaya yang berperan penting bagi peningkatan identitas, kesempatan mobilitas, dan pematangan diri. Praktik pernikahan dini hingga kini masih menjadi topik penting yang berhubungan dengan gaya hidup dan tradisi pelestarian generasi. Sayangnya, sementara problem praktik pernikahan dini tidak dipahami utuh, kampanye “nikah muda” justru betebaran.
Beberapa komunitas yang digawangi oleh kelompok muda muslim, justru terjebak dalam kampanye pernikahan dini yang dianggap akan menyelesaikan problem moral. Mereka menganggap “nikah muda” akan menjadi solusi praktik seks pra-nikah atau yang kerap mereka sebut “seks bebas” (free sex). Ini tentu bisa mengkhawatirkan andai mereka tak paham betul dengan problem sosial, ekologi, dan ekonomi yang justru muncul dari praktik “nikah muda”.
Pernikahan dini, jelas tidak pernah terbukti akan menjadi solusi untuk mengurangi atau meredam praktik seks pra-nikah. Begitu juga bahwa pernikahan dini tak bisa dicegah sekedar merujuk pada problem ekonomi. Pernikahan dini juga tak bisa diminimalisir problemnya dengan pendekatan psikologis.
Intinya, tiga perspektif dan pendekatan itu tak akan mampu menjawab mengapa kekerasan dalam rumah tangga, resiko perceraian, dan terhambatnya pengembangan kualitas hidup dalam pernikahan kaum muda muslim kelas bawah akan terus terjadi. Problem pernikahan dini bersumber dari terbatasnya akses keadilan, kebahagiaan, dan sarana aktualisasi diri kaum muda muslim.
Peningkatan praktik pernikahan dini jelas adalah alarm bagi ketidaksetaraan dan kegagalan negara serta institusi sosial dan agama dalam menyediakan akses kehidupan yang bermakna bagi kaum muda muslim. Peningkatan kampanye “nikah muda” pada sisi lain adalah bagian dari kegagalan besar institusi keagamaan menyediakan sarana pengembangan kebermaknaan hidup kaum muda muslim. Sementara itu dengan dalih melawan praktik seks pra-nikah, muncul seruan nikah muda yang tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas edukasi dan keterampilan.
Melanggengkan Kekerasan Budaya
Itulah mengapa, pernikahan dini berpotensi menghadirkan, melestarikan, dan melanggengkan kekerasan budaya. Korbannya jelas adalah kaum muda muslim kelas bawah yang tidak mampu keluar dari ekses pernikahan dini dibanding rekan sebayanya dari kelas menengah.
Pernikahan dini berada dalam pusaran praktik kultural yang bisa berubah menjadi kekerasan budaya jenis baru di mana negara dan agama menjadi dua faktor utama. Negara mengabaikan tanggungjawabnya dalam penyediaan sarana dan prasarana kehidupan berkualitas. Sedangkan agama, cenderung reaktif merespon problem sosial dan ekonomi yang terus menerus mengancam generasi muda.
Pernikahan dini sudah seharusnya tidak dianggap lagi sebagai solusi atas kepanikan moral yang dialami negara dan agama. Saya kira, pernikahan dini tidak dicampurbaurkan sebagai satu solusi absolut dalam memahami pola sosial dan kultural kaum muda muslim. Karena, pernikahan adalah tradisi melanggengkan eksistensi sekaligus menentukan kualitas komunitas masyarakat di masa depan.