Nizar Qabbani, seorang sastrawan Timur Tengah yang menjadi lambang revolusioner bagi para penyair modern karena karya-karya nya yang identik membahas tentang cinta dan perjuangan.
Nizar lahir pada tanggal 21 Maret 1923 dan dibesarkan dalam keluarga tradisional Damaskus Kuno, tepatnya di sebuah kawasan yang bernama Mundzinah Syahm.
Sejak kecil, Nizar sudah terbiasa membuat syair-syair bertemakan romantisme. Dalam catatan hariannya, ia mengaku mewarisi kepiawaian berpuisi dari ayahnya, Taufiq Qabbani.
Di masa mudanya, selain menekuni kaligrafi, Nizar juga aktif menulis berbagai puisi yang bertemakan cinta. Hingga pada puncaknya, lahirlah sebuah buku puisi berjudul Al-Rasm Bi Al-Kalimat (melukis dengan kata-kata).
Di masa awal kepenyairannya, Nizar telah banyak menghafal puisi-puisi Umar bin Abi Rabi’ah, Jamil Batsinah, Tharafah bin Al-’Abd, serta Qais bin Al-Mulawwah.
Nizar pertama kali menerbitkan buku puisinya berjudul Qalat li al-Samra (Si Gadis Cokelat Berkata Padaku), yang terbit pada tahun 1944. Dari rentang 1944 sampai 1968, rata-rata kumpulan puisinya masih bertemakan cinta.
Baru pada dekade 70-an, Nizar mulai menulis puisi-puisi yang banyak menyuarakan kritik terhadap situasi politik Arab. Hingga puncaknya, pada tahun 1991, Nizar Qabbani kembali menerbitkan bukunya yang berjudul Hawamisy ‘ala Hawamisy (Margin di atas Margin) yang di dalam salah satu bait puisinya, Nizar menyatakan dengan tegas, ya wathani al-hazin // hawwaltani bi lahdzah // min sya’ir yaktubu syi’r al-hubb wa al-hanin // li sya’ir yaktubu bi al-sikkin, wahai negeriku yang duka // kau telah mengubahku dengan sekejap mata // dari seorang penyair yang menulis puisi cinta dan renjana // menjadi penyair yang menulis puisi dengan pisau.
Perubahan yang terjadi pada Nizar Qabbani dalam puisi tersebut dipicu oleh Perang Arab-Israel tahun 1967 yang membuatnya benar-benar terpukul melihat bangsa Arab yang tidak bisa menyatukan tekad dalam melawan penindasan.
Oleh sebab itulah, ia tak banyak menulis puisi cinta dan asmara. Ia hanya perlu menulis — bukan lagi puisi, tetapi “menulis” pisau yang harus dilemparkan kepada mereka para petinggi Timur Tengah yang menjadi sebab banyak rakyat Arab menderita akibat peperangan yang tak berkesudahan.
Kedudukan Puisi di Bangsa Arab
Dalam bangsa Arab, ada adagium yang sangat terkenal yaitu al-syi’ru diwὰn al-‘arab, yang jika diartikan ialah puisi adalah rumah bangsa Arab. Maksudnya adalah, bangsa Arab sejak zaman dahulu menjadikan puisi tak hanya sebatas gubahan kata-kata dan sentuhan-sentuhan puitis.
Seolah puisi itu rumah, di dalamnya tentu memiliki banyak “peralatan” dan “perlengkapan”: mulai dari prinsip hidup, tatanan nilai, keyakinan, sejarah, etika, perlawanan, patriotisme, romantisme yang tidak hanya dapat kita jumpai dalam puisi-puisi mereka, melainkan memiliki daya pukau dalam realitas hingga meneguhkan siapa jati diri mereka.
Abu Firas Al-Hamdani pernah mengatakan dalam salah satu puisinya, al-syi’ru diwὰn al-‘arab # Abadan wa ‘unwὰn al-adab, puisi bagi bangsa Arab akan selalu menjadi bahasa dan identitas budaya. Tentu pandangan ini didasarkan pada kecenderungan bangsa Arab itu sendiri dalam segala aspek kehidupannya yang tidak pernah terlepas dari puisi dan unsur-unsur puitis.
Sosok Nizar Qabbani menjadi ikon penting dalam kesusastraan Arab Modern. Seorang kritikus sastra, Husain bin Hamzah memberi gelar Nizar Qabbani sebagai “Presiden Republik Puisi”.
Bahkan menurut Ali Manshur, penyair asal Mesir, sosok Nizar Qabbani bisa dikatakan sebagai Umar bin Abi Rabi’ah modern, penyair Quraisy dari Bani Makhzum yang paling piawai dalam mengubah syair-syair cinta dan erotisme.
Puisi Nizar Qabbani yang Paling Terkenal
Salah satu karya Nizar Qabbani yang paling mahsyur adalah puisinya yang berjudul “Asyhadu an Laa Imroata Illa Anti” yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah “Aku Bersaksi Tiada Perempuan Selain Engkau”.
Pada puisi ini, Nizar Qabbani menggunakan banyak bahasa kias untuk menggambarkan sosok perempuan yang ia cintai dengan bahasa yang indah dan sarat akan makna. Nizar menulis puisi Asyhadu an Laa Imroata Illa Anti pada tahun 1979 dalam usianya yang ke-56 tahun, lalu terbit pada tahun yang sama dengan judul yang sama pula. Mayoritas karya Nizar Qabbani bisa dibilang menggunakan diksi yang erotis dan romantis.
Beberapa Kutipan Puisi Nizar Qabbani
Berikut saya kutip beberapa bagian dari puisi Asyhadu an Laa Imroata Illa Anti yang sarat akan makna tersirat dan menarik untuk kita ulas.
أشْهَدُ أَنْ لَّا امْرَأَةً
قَدْ غَيَّرَتْ شَرَائِعَ الْعَالَمِ إلَّا أَنْتِ
وَغَيَّرَتْ
خَرِيْطَةَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ
إلَّا أَنْتِ
Aku bersaksi tiada perempuan
yang mampu mengubah hukum-hukum dunia
dan mengubah
peta halal dan haram
selain engkau
Puisi di atas menjelaskan bahwa tiada satu pun perempuan yang mampu mengubah hukum-hukum di dunia, bahkan dapat mengubah peta halal dan haram selain perempuan tersebut.
Menggambarkan bahwa sang penyair memiliki kedekatan yang istimewa dengan perempuan tersebut, sampai-sampai dapat melumpuhkan logika.
أشْهَدُ أَنْ لَّا امْرَأَةً
تَمَكَّنَتْ أَنْ تَرْفَعَ الْحُبَّ إِلَى مَرْتَبَةِ الصَّلَاةِ
إلَّا أَنْتِ، إلَّا أَنْتِ
إلَّا أَنْتِ
Aku bersaksi tiada perempuan
yang mampu mengangkat derajat cinta setara dengan salat
selain engkau, selain engkau
selain engkau
Dalam puisi di atas, penulis ingin menjelaskan bahwa tiada seorang pun yang mampu mengangkat derajat cinta setara dengan salat selain perempuan tersebut.
Di sini dapat dilihat bahwa cinta yang disuarakan oleh Nizar bukan hanya sekadar cinta biasa, melainkan cinta yang dapat menggetarkan alam batiniah sang penyair.
Puisi Nizar Qabbani yang Mampu Menyihir Pembaca
Kepiawaian Nizar Qabbani dalam menulis puisi-puisi cinta yang sarat akan makna, membuat kita — sebagai pembaca — merasa seperti benar-benar terjerumus ke dalam setiap bait puisi yang ditulis olehnya.
Nizar adalah lambang revolusioner bagi para penyair modern yang melahirkan puisi-puisi bertemakan cinta dan perjuangan. Oleh karena itu, banyak puisi-puisi Nizar Qabbani yang di alih bahasakan ke dalam beberapa bahasa. Salah satunya ialah buku Aku Bersaksi Tiada Perempuan Selain Engkau yang dialih bahasakan dari puisi Nizar Qabbani yang berjudul Asyhadu an Laa Imroata Illa Anti.
Beberapa karya Nizar Qabbani selain Asyhadu an Laa Imroata Illa Anti antara lain: Thufalat Nahd (1948), Samia (1949), Anti Li (1950), Qashaid (1956), Habibati (1961), Al-Rasm Bi Al-Kalimat (1966), Yaumiyat Imraah La Mubaliyah (1968), Qashaid Mutawahhisyah (1970), Kitab Al-Hubb (1970) dan masih banyak yang lainnya.
Nizar Qabbani meninggal pada 30 April 1998 akibat serangan jantung yang ia derita. Pada saat menjalani perawatan medis di rumah sakit London, Nizar menulis wasiat agar setelah meninggal nanti, jasadnya dikuburkan di Damaskus. Ia mengatakan:
“Rahim yang mengajari aku puisi, yang mengajari aku berkreasi, yang mengajari aku aksara bunga melati.”
Editor: Yahya FR