Di Indonesia, Islam tumbuh dalam dua arus besar yang saling mengisi dan mengimbangi: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua ormas ini ibarat dua sayap burung yang membuat Islam Indonesia mampu terbang tinggi di langit kebangsaan. NU menanamkan akar spiritualitas dan tradisi, sementara Muhammadiyah menumbuhkan rasionalitas dan sistem modern.
Namun di balik kemegahan kiprah keduanya, masih tersisa jarak psikologis yang kadang menghambat potensi kolaborasi. Padahal, bila NU dan Muhammadiyah mau saling belajar, Indonesia akan memiliki wajah Islam yang paling indah — berilmu seperti Muhammadiyah, berhikmah seperti NU.
Maka, pertanyaannya: NU ala Muhammadiyah atau Muhammadiyah versi NU — kenapa tidak?
NU Butuh Sistem, Muhammadiyah Butuh Ruh
NU lahir pada 1926 dari rahim pesantren, mewarisi tradisi ulama klasik dan semangat menjaga kearifan lokal. KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa agama harus hadir untuk menuntun, bukan menghakimi. Dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, beliau menulis:“Ilmu tanpa adab adalah kesesatan; adab tanpa ilmu adalah kelemahan.”
Inilah kekhasan NU — menggabungkan ilmu dengan adab, syariat dengan budaya, agama dengan kebangsaan.
Sementara itu, Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada 1912 memelopori tajdid — pembaruan pemikiran Islam yang adaptif terhadap zaman. Dalam salah satu nasihat terkenalnya, beliau berpesan: “Jangan takut berbuat baik meski berbeda dengan kebiasaan lama, selama sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.” Semangat rasional dan progresif inilah yang membuat Muhammadiyah melahirkan jaringan pendidikan dan kesehatan terbesar di dunia Islam.
Keduanya sama-sama menegakkan agama, tetapi dengan jalan berbeda: NU mengakar, Muhammadiyah bergerak. NU menjaga ruh, Muhammadiyah membangun struktur.
Seperti kata Buya Syafii Ma’arif, “Perbedaan NU dan Muhammadiyah hanyalah pada cara berpikir, bukan pada tujuan. Keduanya sama-sama ingin menegakkan Islam yang membebaskan dan mencerahkan.”
Saling Melengkapi, Bukan Saling Menghakimi
Kedua ormas besar ini memiliki kekuatan sekaligus titik lemah yang saling melengkapi. NU, dengan basis sosial dan jaringan pesantren, memiliki kekuatan spiritual yang mendalam, namun terkadang menghadapi tantangan dalam manajemen kelembagaan. Sebaliknya, Muhammadiyah adalah model organisasi Islam modern yang efisien dan akuntabel, tetapi dalam pandangan sebagian masyarakat, pendekatannya kadang kurang menyentuh aspek emosional dan kultural.
Di sinilah peluang kolaborasi lahir. Bayangkan bila lembaga pendidikan NU mengadopsi sistem tata kelola ala Muhammadiyah, dan sekolah Muhammadiyah memperkuat spiritualitas serta kearifan lokal ala NU. Maka Islam Indonesia akan tampil cerdas secara intelektual sekaligus lembut secara spiritual.
Sebagaimana dikatakan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur): “Islam tidak cukup hanya mengisi akal, tapi juga harus menggerakkan hati. Rasionalitas tanpa kasih sayang akan melahirkan kekeringan.” Pandangan Gus Dur ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara nalar Muhammadiyah dan nurani NU.
Dalam kaidah fiqih disebutkan: “Al-umūru bi maqāṣidihā” — segala urusan tergantung pada tujuannya.Artinya, sekalipun jalan dakwah NU dan Muhammadiyah berbeda, jika tujuannya satu — menegakkan Islam yang membawa rahmat — maka keduanya tetap benar dan saling menguatkan.
Sebagian umat masih terjebak dalam rivalitas simbolik: lebih sibuk memperkuat bendera daripada memperkuat persaudaraan. Padahal, tantangan zaman jauh lebih besar dari sekadar perbedaan cara beribadah.
Isu kemiskinan, degradasi moral, dan disrupsi digital memerlukan kolaborasi, bukan kompetisi. Pengamat politik Islam Prof. Bahtiar Effendy menulis: “NU dan Muhammadiyah adalah dua kekuatan sipil yang menjadi fondasi moral bangsa. Jika keduanya saling menguatkan, negara akan memiliki legitimasi moral yang tak tergoyahkan.”
Dalam kaidah fiqih lain disebutkan:
“Mā lā yatimmul wājibu illā bihī fa huwa wājib.”(Sesuatu yang tidak sempurna pelaksanaan kewajiban tanpanya, maka ia menjadi wajib pula). Menjaga Islam dan bangsa agar tetap damai adalah wajib. Dan jika perdamaian itu tidak akan tercapai tanpa kolaborasi NU dan Muhammadiyah, maka bersinergi adalah kewajiban moral dan keagamaan.
Nalar Muhammadiyah dan Nurani NU
Kekuatan Muhammadiyah terletak pada nalar dan sistem, sedangkan kekuatan NU terletak pada nurani dan hikmah.
KH. Sahal Mahfudh, ulama besar NU, pernah menulis: “Islam adalah keseimbangan antara teks dan konteks, antara ibadah dan kemaslahatan.”Sementara Buya Syafii Ma’arif menegaskan: “Jangan biarkan Islam berhenti di ritual, tetapi biarkan ia tumbuh menjadi etika publik.”
Kedua pandangan itu bertemu dalam satu titik: Islam yang mencerdaskan sekaligus menyejukkan.Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan:“Tasharruful imām ‘ala ar-ra‘iyyah manūthun bil mashlahah”(Segala kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi pada kemaslahatan).
Begitu pula, kebijakan dakwah ormas harus berpijak pada mashlahah umat, bukan kebanggaan golongan.
Kolaborasi Lintas Ormas: Dari Ide ke Aksi
Kebersamaan NU dan Muhammadiyah tidak boleh berhenti pada retorika.
Sinergi itu bisa dimulai dari langkah sederhana namun berdampak besar:
Pertama, Pendidikan Terpadu: Pesantren NU bekerja sama dengan universitas Muhammadiyah dalam riset sosial, sains, dan pendidikan karakter.
Kedua, Layanan Kesehatan Kolaboratif: Klinik Muhammadiyah dikelola dengan sentuhan spiritual dai NU untuk menguatkan aspek batin pasien. Ketiga, Forum Dakwah Kebangsaan: Dai muda NU dan Muhammadiyah berdakwah bersama di media sosial dan televisi untuk menunjukkan wajah Islam yang bersatu.
Keempat, Gerakan Sosial Lintas Bendera: Tanggap bencana, pemberdayaan ekonomi, dan kerja sosial bersama di bawah semboyan: “Islam untuk Semua.”.KH. Ahmad Dahlan berwasiat: “Jadilah manusia yang hidup untuk memberi manfaat bagi sesama.”
Kesempatan yang lain KH. Hasyim Asy’ari mengingatkan:”Siapa yang menolong manusia, maka Allah akan menolongnya.”
Kedua pesan itu sejatinya berpadu dalam satu napas: rahmatan lil ‘alamin — Islam yang memberi manfaat tanpa sekat.
Harmonisasi dan Menjaga Arah Islam Indonesia
Di tengah arus globalisasi, Islam Indonesia sering dipuji dunia karena moderasinya.
Cendekiawan Muslim Prof. Azyumardi Azra pernah menyatakan: “NU dan Muhammadiyah adalah dua menara yang menopang Islam wasathiyah di Indonesia. Keduanya bukan pesaing, tetapi penafsir yang berbeda dari sumber yang sama.”
Jika keduanya gagal menjaga ukhuwah, akan muncul kekosongan moral dalam kehidupan berbangsa. Namun jika mereka bersinergi, Islam Indonesia akan menjadi model peradaban dunia — Islam yang berpikir, berzikir, dan beramal saleh sekaligus.
Kaidah fiqih menyebut:“Dar’ul mafsadah muqaddamun ‘ala jalbil mashlahah”
(Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan). Maka, menghindari pertikaian antar-ormas adalah prioritas, karena perpecahan akan menimbulkan mafsadah yang jauh lebih besar bagi umat dan bangsa.
NU ala Muhammadiyah atau Muhammadiyah versi NU bukanlah upaya meleburkan identitas, melainkan menemukan harmoni antara akal dan hati.Kita tidak sedang membangun “Islam NU” atau “Islam Muhammadiyah”, melainkan Islam Indonesia — Islam yang terbuka, ilmiah, beradab, dan penuh kasih.
Sebagaimana ditegaskan Gus Dur: “Yang lebih penting dari perbedaan adalah kemanusiaan. Sebab Allah menciptakan manusia bukan untuk berpecah, tapi untuk saling mengenal.”Dan pesan Buya Syafii Ma’arif menjadi penutup hikmah yang indah:
“Selama NU dan Muhammadiyah mau saling belajar, umat Islam Indonesia tidak akan kehilangan arah.”
Maka, kenapa tidak?
NU ala Muhammadiyah — yang disiplin, modern, dan akuntabel.
Muhammadiyah versi NU — yang lembut, arif, dan membumi. Keduanya berpadu demi satu tujuan: Islam rahmatan lil ‘alamin, bukan Islam milik kelompok. Lantas kenapa tak kita implementasikan, kenapa takut)
“Nashrun minallahi wa fathun qarīb, wa basyiril mu’minīn.”
Wallāhu Muwaffiq ilā Aqwamith Tharīq.
Editor: Soleh

