Perspektif

Istri Bekerja, Suami Rentan Didiskriminasi

4 Mins read

Secara pragmatik perempuan Indonesia yang bekerja ke luar negeri di samping memberikkan nilai tambah devisa negara, pun mampu memperbaiki keadaan ekonomi keluarganya sendiri di kampung. Namun, di balik realita itu ada kecenderungan dari beberapa pihak yang seolah menyudutkan suami. Ia adalah presiden rumah tangga dan penanggung jawab dalam mencari nafkah, sehingga banyak para suami merasa minder.

Suami seolah tak memiliki harga diri lagi, mereka kerap mengalami diskriminasi sosial karena dipandang sebelah mata. Islam sebagai agama universal, selalu mampu menjawab setiap persoalan zaman, tak terkecuali problematika sosial di atas. Bagaimana padangan tokoh-tokoh Islam kontemporer terkait hal tersebut. Tulisan singkat ini tentu tidak cukup mewakili semua pemikiran itu, hanya beberapa poin penting dan garis besarnya saja.

Pandangan Islam atas Kepemimpinan Laki-laki

Islam mengajarkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dalam QS. An-Nisa:34. Memenuhi kebutuhan keluarga dari segi ekonomi khususnya, pada dasarnya adalah tanggung jawab suami. Sedangkan istri secara umum mengambil peranan sebagai; mendidik anak, memanaje keuangan keluarga, dan hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas seorang istri dan ibu rumah-tangga yang lumrah kita kenal. Tapi benarkah demikian?

Bagaimana ketika seorang Istri harus keluar dari tugas-tugas dasar tersebut? Bahkan, seolah menggeser peran sentral suami mencari nafkah. Bekerja ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi. Mungkin bukanlah satu pilihan bagi seorang istri, melainkan mendesaknya keadaan karena adanya beberapa faktor.

Faktor Istri Bekerja ke Luar Negeri

Bisa pendapatan suami tak mencukupi kebutuhan keluarga sehingga muncul niat dari seorang istri untuk membantu suaminya. Ada juga pendapatan suami sudah mencukupi tapi pekerjaannya harus merantau dan jauh sehingga sulit untuk berkumpul keluarga. Hal tersebut memicu kepedulian seorang istri untuk bekerja ke luar negeri guna mempercepat proses berkumpulnya mereka dengan mengumpulkan pundi-pundi ekonomi sebagai modal usaha di kampung bersama suaminya kelak.

Baca Juga  LGBT Bakal Sulit Jadi HAM, Jika...

Bisa jadi juga karena terbukanya pintu-pintu kerja bagi perempuan yang begitu luas di luar negeri dengan gaji lumayan sehingga memicu untuk berkarir dan sukses secara mandiri tanpa bergantung pada laki-laki, atau malah ada yang sengaja sekedar memenuhi hasrat jadi kaya-raya.

Di antara faktor-faktor penyebab perempuan bekerja ke luar negeri di atas, faktor yang pertama dan yang kedua adalah yang sering kita jumpai. Dapat disimpulkan sebagai keinginan membantu suami memulihkan ekonomi keluarga.Tentu beda klasifikasinya dengan perempuan tanpa suami.

Kesetaraan antara Laki-laki dan Perempuan

Manusia, baik itu laki-laki atau pun perempun adalah makhluk yang paling mulia di antara makhluk yang lain seperti terungkap dalam QS.Al Isro’:70. Kemuliaan itu tentu terletak pada iman dan ketaqwaannya masing-masing, karena manusia juga punya potensi menjadi hina melebihi makhluk lain yang paling hina sekalipun, hewan, setan, iblis, dan lain sebagainya.

Tanpa melihat ras, suku, agama, dan jenis kelamin Islam memandang perempuan bagian tak terpisahkan dari kemuliaan dan bahkan kehinaan di atas. Demikian halnya laki-laki. Kita mengenal kesetaraan hak dan kewajiban. Semua bidang, politik, sosial, hukum, dan budaya (egalitarianisme) baik perempuan maupun laki-laki meski dalam beberapa budaya yang menganut paham pathriarki atau matriarki. Pandangan ini kerap mendapat penolakan.

Dalam budaya patriarki misalnya, hak waris dan nasab keluarga sepenuhnya berada pada jalur laki-laki pun kesempatan berkarir. Sedangkan dalam budaya matriarki adalah kebalikannya. Dengan memberikan kesetaraan sesuai dengan batasan yang proporsional terhadap keduanya dinilai sebagai bentuk keadilan dan terwujudnya prinsip egalitar.

Meski bekerja ke luar negeri sebagai TKW bukanlah pilihan yang diinginkan karena harus meninggalkan tugas utamanya mendidik dan merawat anak.Tolok ukur ekonomi di kampung pada umumnya bekerja hanya mengandalkan penghasilan suami jelas kesulitan untuk memenuhi kebutuhan, yang di zaman sekarang sudah benar-benar kompleks. Dengan keadaan ekonomi yang serba terbatas itu, para perempuan terpanggil untuk membantu para suami.

Baca Juga  Tiga Langkah Muslim untuk Pembebasan Tanah Quds

Jadi seorang istri yang bekerja sebagai TKW adalah murni panggilan jiwa untuk membantu suami, bukan tugas pokok menafkahi keluarga. Atas dasar prinsip ta’awun (saling membantu) maka inipun sejalan dengan prinsip egalitarianisme yang bermakna kesetaraan dan emansipasi wanita yang diperjuangkan dengan keras oleh tokohnya yang terkenal,R.A.Kartini.

Hukum Perempuan Bekerja

Namun dalam divisi khusus,laki-laki tetap berperan sebagai pimpinan keluarga, dan itu fitrah yang harus diterima oleh keduanya. Sejalan dengan hal tersebut para tokoh Islam kontemporer seperti Yusuf Qordowi dan Quraish Shihab juga telah memberikan pandanganya yang sering kita jumpai dalam literatur pemikiran mereka.

Yusuf Qordowi dengan mengutip QS.Ali Imron 195 berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama. Mereka manusia dengan saling melengkapi, bagian yang satu adalah bagian yang lain. Sebagai makhluk hidup Yusuf Qordowi melihat bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) adalah makhluk dengan fitrah berpikir dan bekerja. Pentingnya amal di sini yang ditekankan semata-mata untuk memperoleh pahala dari Allah.

Tokoh selanjutnya adalah Quraish Shihab. Dalam pandangannya perempuan sejak era Islam pertama sudah terlibat aktif dengan yang namanya pekerjaan, perempuan memiliki hak untuk bekerja sejauh pekerjaan tersebut membutuhkannya, dan mereka (perempuan) juga membutuhkannya. Tentu ini tidak mengacu pada semua jenis pekerjaan, melainkan pekerjaan dalam jenis tertentu.

Jadi sah bagi perempuan bekerja di manapun, asalkan agama dan nama baiknya bisa terjaga.
Jika tidak terdesak oleh kebutuhan yang semakin kompleks, seorang suami jelas tidak akan membiarkan istrinya bekerja ke luar negeri. Meski secara agama tidak ada larangan bagi perempuan bekerja. Tapi membiarkanya pergi jauh dari pengawasan suami adalah tekanan mental tersendiri.

Perempuan yang dengan kebesaran jiwanya berhasrat membantu menanggung beban suami atas kewajiban mencari nafkah, secara moralitas perempuan tersebut adalah perempuan yang hebat. Ironisnya dalam sikap yang luar biasa itu, resposn sosial kerap mereduksi peran kepemimpinan suami. Memandang sinis para suami yang istrinya bekerja ke luar negeri.

Baca Juga  Panic-gogy, Belajarlah dari Fabel Kancil Vs Siput!
***

Islam datang sebagai rahmat seluruh alam. Manusia (laki-laki dan perempuan) hanya sebagian kecil dari alam. Kriteria yang menyandang derajat mulia dan hina adalah tergantung dari nilai ketaqwaan dan keimana. Itulah yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya, bukan tolok ukur materi dan duniawi semata.

Jadi masyarakat yang masih cenderung diskriminatif terhadap para suami yang istrinya bekerja ke luar negeri (karena alasan-alasan utama di atas) adalah kecenderungan yang memandang berdasarkan tolok ukur materi. Kita tidak tau besarnya nilai kebaikan para istri itu karena kegagahannya.

Pun kita tidak tau nilai kebaikan para suami karena kerelaan dan keridhoannya. Keduanya sama-sama sedang berjalan di jalan kehambaan. Jika sudut pandang demikian yang digunakan maka diskrimisi sosial terhadap para suami dengan istri bekerja ke luar negeri jelas adalah bentuk diskriminasi yang menyesatkan.

Editor: Wulan
Avatar
1 posts

About author
Pernah belajar di pondok pesantren al_Falah,Jember.Dari banyuwangi
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *