Kita harus mengundang investasi yang seluas-luasnya. Yang seluas-luasnya. Dalam rangka apa? membuka lapangan kerja sebesar-besarnya. Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Karena dengan cara ini, akan membuka lapangan kerja-kerja sebesar-besarnya. Oleh karena itu yang menghambat investasi semua harus dipangkas. Baik itu perijinan yang lambat, yang berbelit-belit, apalagi yang ada punglinya. Hati-hati. Hati-hati. Kedepan, kedepan saya pastikan akan saya kejar. Akan saya kejar, akan saya kontrol, akan saya cek dan akan saya hajar bila diperlukan.” Kutipan ini iyalah Pidato Presiden terpilih Jokowi yang mendengunkan Visi Indonesia.
Penulis sadur tanpa menambahkan atau mengurangi dari sumber autentik yakni Kompas TV, berdurasi satu menit empat puluh delapan detik (1.48), dan memuat soal-soal investasi. Pidato itu disampaikan Jokowi di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Ahad 14 Juli 2019.
Menggelegar, tegas, keras, dan emosional. Empat kata ini, menurut hemat penulis menggambarkan kualitas (warna narasi) dan suasana kebatinanan (psikologi) Presiden Jokowi.
Saya tidak menemukan kualitas pidato yang sebaik itu di periode pertama, (Jokowi-JK). Pidato yang disampaikan secara apik itu, disambut riuh rendah hadirin, dengan suara-suara yang meneriakan nama Jokowi secara berulang-ulang, dengan isi ruangan penuh dengan senyum sumringah, juga tepuk tangan. Terlihat Presiden sangatlah serius. Bahkan senyum pun tidak ada.
Ada banyak kata dan kalimat yang disebut berulang-ulang (penegasan), termasuk mengulang-ulang penyebutan ‘saya’ yang penulis maknai tanda sumber ketegasannya dan emosionalitasnya.
Menyebut namanya sendiri sebanyak 6 kali. Hati-hati diucapkan dua kali. Kejar juga demikian. Padahal itu hanya di vidio berdurasi singkat. Ini sisi lainnya pidatonya itu. Namun, ada diksi sexy yang disampaikan. “Semua penghalang investasi akan dipangkas, dikejar, dan dihajar.”
Penulis sengaja menyadur edisi lengkap dan menilai pidato Jokowi itu. Dalam waktu bersamaan juga, ia mengatakan bahwa lembaga yang tak bermanfaat, apalagi yang bermasalah, akan dibubarkan. Sebagai bahan untuk mencari asal usul Omnibus Law, yang santer mendapatkan respon di masyarakat.
***
Pidato Jokowi: jangan alergi investasi, pangkas semua penghambat investasi, hingga diperlukan dihajar, sekarang telah berbentuk, dalam RUU Omnibus Law. Inilah cara negara (Jokowi) menunjukkan sikap ‘suka sekali’ investasi.
Dengan memangkas semua penghambat investasi. Tinggal yang diperlukan ialah ‘menghajar’. Pilihan Jokowi menghajar potensinya akan dialami civil society yang menolak RUU Omnibus Law. Penulis teringat kematian anak bangsa, dalam kegiatan demonstrasi tolak RUU KPK.
Tentang Omnibus Law
Menurut kamus Hukum Merriam-Webster istilah Omnibus Law berasal dari istilah ‘omnibus bill’, berarti undang-undang yang mencakup berbagai issue atau topik. Kata omnibus berasal dari bahasa latin yang berarti segalanya.
Dari sejarahnya, Omnibus Law pertama kali diperkenalkan di negara yang menganut sistem hukum “Common Law System”. Amerika Serikat ialah negara yang pertama kali menerbitkan Omnibus Law dengan istilah (The 1968 Omnibus Crime Control Act) pada tahun 1968.
Negara Selandia Baru dan Filipina, termasuk menerapkan Omnibus Law di sektor pajak dan kemudahan investasi.
Omnibus Law ialah aturan yang mengatur beberapa hal dalam satu undang-undang. Omnibus Law ‘kemudahan investasi’ ini mencakup tiga hal, yakni: RUU Cipta Kerja, Perpakakan, dan UKMM.
Secara teoritis, Omnibus Law berfungsi sebagi alat simplifikasi (penyederhanaan) terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah mengalami tumpang-tindih. Menurut Menteri Keuangan NKRI, Omnibus Law merupakan metode untuk mengganti atau mencabut ketentuan peraturan perundang-undangan atau mengatur ulang beberapa undang-undang.
RUU Omnibus Law Indonesia
Di Indonesia Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law “kemudahan investasi” mencakup tiga RUU, yakni Cipta Kerja (Cilaka), Perpajakan, dan Usaha Kecil dan Menegah (UKM). RUU Cipta Kerja dan Perpajakan, hari-hari yang lalu, sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Bahkan anehnya, semenjak ada ‘ghirah’ membuka kran investasi seluas-luasnya dengan memangkas/menghajar semua penghambatnya, lahirlah istilah baru yang tidak ada peraturannya dalam UU No. 12 Tahun 2011 (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Bahwa Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) dan Omnibus Law Perpajakan, sudah masuk ‘Prolegnas Prioritas.’ Sementara ruang publik, dengan bergulirnya iseue Omnibus Law, telah menyulut pembicaraan para pihak baik di tataran akademis/diskursus juga ditataran nyinyir.
Pro dan kontra memenuhi aktivitas warga negara. Bahkan penolakan civil society sudah mulai tiba pada gerakan massa. Di samping ada pihak yang juga pro pemerintah.
Penulis telah membaca Naskah Akademik Omnibus Law. Bahwa disebutkan: Omnibus Law Cipta Kerja dan Perpajakan digodok di Prolegnas ‘Prioritas’ sesuai Visi Indonesia 2045. Indonesia bertekad menjadi (5) lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan berpendapatan tinggi ditahun 2040.
Dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen dalam lima tahun dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar 4 (empat) +/- 1 (satu) persen.
Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 (lima koma tujuh) persen dan pertumbuhan PDB riil per Kapita sebesar 5 (lima) persen, Indonesia diprediksi akan menjadi negara maju pada tahun 2045 (ekonomi berkelanjutan) tingkat kemiskinan mendekati 0 (nol) persen dan memiliki tenaga kerja yang berkualitas.
Telaah kondisi eksternal di mana perekonomian global mengalami pelemahan dan ketidakpastian karena Revolusi Industri 4.0, mengubah gambar besar (perlambatan) perekonomian dunia.
Hal itu dianggap berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Di samping kondisi internal birokrasi yang masih rendah (belum efisien). Ini Laporan GCI pada Pilar Institution.
***
Indikator Burden of Government Regulation pada sub pilar Public Sector Performance mengalami penurunan. Baik peringkat dan skornya. Indikator ini menyebutkan beban regulasi yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia justru menjadi beban investasi. Padahal, efisiensi birokrasi modal besar meningkatkan kepercayaan investor.
Dua faktor, Eksternal dan Internal yang penulis kutip di naskah akademik ‘Omnibus Law’. Inilah yang membuat pemerintah Jokowi tergesa-gesa menghadirkan Omnibus Law, di Prolegnas ‘Prioritas’.
Presiden Jokowi, hemat penulis, menyalahkan ketidakpastian ekonomi global dan rendahnya efisiensi birokrasi juga prodak hukum yang belum menjamin kepastian dan efisiensi investasi, dan membuat investor asing tidak memilih Indonesia jadi ‘ladang garapan’ investor.
Termasuk menyalahkan kepemimpinan sendiri (2014-2019) yang pertumbuhan ekonomi menurun tiap tahun, dibanding era SBY yang selalu meningkat tiap tahun.
Peringkat kemudahan investasi mengalami perbaikan. Namun masih tertinggal dibanding Malasya dan Thailand. Berdasarkan peringkat kemudahan berusaha (EoDB) pada Tahun 2020, Indonesia berada pada peringkat 73 (tujuh puluh tiga). Jauh di bawah Malaysia yang memiliki peringkat 12 (dua belas) dan Thailand di peringkat 21 (dua puluh satu).
Dari sisi daya saing berdasarkan Global Competitiveness Index (GCI) pada tahun 2019, Indonesia berada pada peringkat 50 (lima puluh). Sementara Malaysia di peringkat 27 (dua puluh tujuh), dan Thailand di peringkat 40 (empat puluh).
Bahkan dari sisi digitalisasi, Daya Saing Bisnis Digital Indonesia pada tahun 2019 berada pada peringkat 56 (lima puluh enam) sementara Malaysia di peringkat 26 (dua puluh enam). (Naskah Akademik: Omnibus Law)
Karena itu, 33 perusahaan Tiongkok memutuskan investasi ke luar negeri. Tidak ada satupun perusahaan berinvestasi yang ada di Indonesia beberapa waktu lalu. Sementara tahun 2017, 73 perusahaan Jepang melakukan relokasi.
43 perusahaan itu melakukan investasi di Vietnam. 11 perusahaan berinvestasi di Thailand. Sisanya 10 berinvestasi di Indonesia. Dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, mempertahankan daya beli, dan meningkatkan kinerja investasi, Omnibus ini dihadirkan. (Naskah Akademik, Omnibus Law)
Jalan Tol Investasi Ala Jokowi
Omnibus Law dasar pemikirannya iyalah pidato presiden Jokowi. Membangun NKRI diseluruh sektor dengan memperluas area investasi dan menyiapkan jalannya.
Menyiapkan jalan tol investasi ambisi baru, setelah ‘Tol Darat ‘Tol Laut’ dan ‘Tol Udara’ menjadi program utama presiden Jokowi yang lama.
Sumber Daya Alam yang melimpah, bonus demografi, jumlah penduduk, perbaikan infrastruktur modal besar untuk masuknya investasi, seperti isyarat Price Waterhouse Coopers (PWC) maupun Bank Dunia (World Bank).
Omnibus Law mengamandemen 73 aturan. Tertuang dalam 1028 halaman, terdiri dari 15 bab, dan 174 pasal. 73 aturan itulah yang dianggap tumpang tindih, alergi investasi, dan tidak menjamin ‘jalan tol’ yang efesien untuk mendatangkan investor asing.
Hingga perlu dipangkas. Lalu dihajar. Ombnibus Law Cipta Kerja, Perpajakan, dan UKMM merupakan tiga hal yang bertalian satu sama lain. Kepentingan mereka sama, Indonesia diletakan sebagai ‘High Table’ Investor asing. Tempat dimana peradaban investasi ingin dibangun.
Profesor Dr. Sulistiowati dalam tulisannya Peluang dan Tantangan Omnibus Law mengatakan bahwa penerapan ‘Omnibus Law’ akan sangat menguntungkan Indonesia.
Pertama simplifikasi hukum karena obigitas aturan, menghindari tumpang tindih antar aturan, kemudahan bagi Pemerintah dan DPR merevisi beberapa UU dalam satu UU. Di samping gambar besar ‘Kesejahteraan Sosial’ itu.
Sementara tantangannya secara garis besar ialah mempersiapkan pemetaan peraturan yang over regulated (yang tidak terlalu banyak aturan) dan tumpang tindih, perlu ada sinergi dari setiap kementerian dan memastikan skema omnibus law dapat menyulut hadirnya investasi.