Perspektif

Omnibus Law: Kemendikbud Bukan Mitra Perguruan Tinggi Lagi

3 Mins read

Belakangan ini mahasiswa kembali frustrasi setelah melakukan demonstrasi Omnibus Law Ciptaker. Kemarahan mahasiswa kembali muncul karena terbitnya surat edaran dari Kemendikbud yang dipimpin oleh Nadiem Makarim. Surat edaran ini tidak hanya ditujukan kepada mahasiswa, namun juga kepada pimpinan perguruan tinggi.

Dalam surat edaran tersebut, Kemendikbud meminta mahasiswa untuk tidak melakukan aksi unjuk rasa penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja. Uniknya, kemarahan ini justru dialami juga oleh para akademisi dan dosen, sebab Kemendikbud dinilai telah mencemari integritas perguruan tinggi.

Kemendikbud Mitra Perguruan Tinggi

Mungkin ada yang bertanya, kenapa kampus diurus oleh Kemendikbud? Kenapa bukan Kemenristekdikti? Kebijakan ini muncul pada masa periode kedua Presiden Joko Widodo. Kini Kemenristekdikti bergabung ke Kemendikbud sebagai upaya melakukan integrasi berkelanjutan, di mana pada kabinet sebelumnya bidang pendidikan tinggi yang sebelumnya di bawah asuhan Kemenristekdikti.

Dalam Kabinet Indonesia Maju, manajemen pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi terintegrasi dalam satu kementerian. Menurut Guru Besar Universitas Pelita Harapan Prof. Manlian Ronald A Simanjuntak, hal ini dilakukan untuk mempersiapkan lulusan yang mampu dan ahli sesuai kompetensi masing-masing.

Secara administratif, seseorang dikatakan memiliki kompetensi kerja yang baik ketika sudah mengikuti sertifikasi. Sementara itu, proses untuk mendapatkan sertifikasi harus melalui penilaian kualifikasi pendidikan, pengalaman dan persyaratan lain.

Nampaknya jika ditilik lebih jauh, kita sebagai mahasiswa harus bersiap-siap untuk nalar kritis mahasiswa akan sedemikian diatur oleh Kemendikbud, dengan latar belakang integrasi administrasi tersebut. Dampak paling buruknya adalah kita akan mengalami overdosis teori yang bermuara pada pemahaman bahwa pendidikan tinggi terpisahkan dari realitas sosial.

Kemendikbud Nampak Tidak Memahami Tri Dharma

Selama ini kita mungkin memandang bahwa Kemendikbud adalah pengatur moral tertinggi selain Komisi Perlindungan Anak (KPAI). Kemendikbud sering memberikan pesan normatif dan contoh konkret yang harus dilakukan oleh siswa atau masyarakat Indonesia agar menjadi warga negara yang baik. Apalagi selama pandemi kini, TVRI lebih banyak menayangkan pembelajaran serta program-program yang dicetuskan oleh Kemendikbud.

Baca Juga  Belajar dari India: Pelarangan Mudik di Indonesia Sudah Tepat

Dengan adanya edaran surat tersebut, sepertinya Kemendikbud lupa akan adanya Tri Dharma perguruan tinggi yang terdiri atas tiga domain, yaitu: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam konteks Omnibus Law Ciptaker, mahasiswa telah melaksanakan domain nomor 1 dan 2 dengan adanya fakultas hukum di perguruan tinggi. Terlebih lagi, penelitian terhadap UU Omnibus Law Ciptaker sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari dan di berbagai tempat.

Kemudian untuk aspek domain pengabdian kepada masyarakat dalam konteks Omnibus Law, saya pastikan sebagian mahasiswa sudah berupaya mengisi pos-pos kritis yang hilang di kampus. Ia dilakukan dengan mengadakan forum-forum diskusi kultural yang membahas isu tersebut. Peraturan yang sudah disahkan secara diam-diam oleh oligarki politik tersebut akan berdampak besar bagi mereka yang berprofesi sebagai tenaga kerja atau buruh.

Elite dan Oligarki dalam Pusaran Problem Etis

Dengan DPR yang mengesahkan Omnibus Law secara tergesa-gesa di tengah pandemi Covid-19, secara otomatis mereka sudah mengkhianati tugas dan kerjanya sebagai wakil rakyat. Mereka seharusnya mengajak orang-orang yang terlibat UU tersebut agar didiskusikan secara bersama secara praktik dan tujuan.

Lagi pula, sebetulnya demonstrasi juga termasuk bagian dari pengabdian kepada masyarakat. Ketika suara masyarakat tidak pernah masuk kuping para pejabat oligarki tersebut, maka demonstrasi bisa menjadi jalan yang tepat untuk menunjukkan bahwa masyarakat tidak hidup dengan sejahtera.

Sebagai kaum elite masyarakat yang memiliki kesempatan belajar di tataran pendidikan tinggi, sudah sewajarnya mahasiswa melakukan pembelaan terhadap mereka yang mengalami penindasan akibat negara yang kurang memberikan jaminan hidup sejahtera bagi rakyatnya.

Sosok cendekiawan dan negarawan yang harus dimiliki mahasiswa secara ideal bukan berdiri di atas semua golongan, bahkan dalam keadaan yang genting seperti ini. Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa mereka jangan menunjukkan keberpihakan kepada golongan tertentu. Tentu ini adalah pemikiran yang keliru. Lantas pendidikan tinggi dan kecerdasan yang mereka miliki ditujukan untuk apa? Apakah untuk sekedar mendapatkan Jurnal berpredikat SINTA? Yang jelas-jelas teorinya hanya tersimpan dalam arsip-arsip menara gading.

Baca Juga  Dalam Konflik Israel-Palestina, Sikap Dolkun Isa dan WUC Begitu Ambigu

Teruntuk mereka yang dipercaya sebagai negarawan dan cendekiawan, mereka harus memiliki keberpihakan dan peduli pada bangsanya. Negarawan dan cendekiawan harus memihak pada perlawanan atas praktik kezaliman dan tergerak hatinya ketika mata dihadapkan pada ketidakadilan. Naasnya, terdapat sebagian cendekiawan yang melontarkan pendapat atau gagasan yang keliru karena dipengaruhi oleh jaminan kekuasaan dan material, sebab keikhlasan hati menjadi hal yang kritis di tengah fenomena ini.

Kemendikbud Bukan Mitra Perguruan Tinggi Lagi

Keresahan surat edaran Kemendikbud mengundang para dosen untuk mengecam kementerian tersebut karena dinilai telah melakukan pembatasan kebebasan berpendapat bagi semua kalangan. Padahal kebebasan berpendapat hingga kebebasan akademik telah dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, mahasiswa memiliki hak untuk melakukan aksi demo untuk menyampaikan aspirasi tersebut.

Aksi demo ini muncul bukan secara tiba-tiba. Aksi demo di tengah pandemi ini tetap dilaksanakan sebagai gambaran atas matinya kran demokrasi sebagai saluran kritik yang telah disampaikan melalui kertas kebijakan, karya ilmiah dan penelitian maupun opini media.

Dengan adanya Tri Dharma berfungsi untuk menjaga martabat perguruan tinggi agar bebas dari intervensi politik, tanggung jawab perguruan tinggi dalam memproduksi pengetahuan semestinya berorientasi pada kebenaran. Perguruan tinggi semestinya bukan untuk memenuhi keinginan oligarki penguasa.

***

Pada akhir tulisan ini, saya menantang Kemendikbud untuk memberikan surat edaran kepada pemerintah, DPR, maupun pihak lain yang terlibat. Apabila Kemendikbud melarang mahasiswa berdemo karena khawatir munculnya kluster baru pandemi Covid-19, apakah Anda berani untuk menghimbau penundaan Pilkada di tengah kewalahan negara menangani Covid-19? Jika tidak memiliki nyali, artinya Kemendikbud bukan lagi mitra perguruan tinggi.

Editor: Shidqi Mukhtasor
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds