Klaim Pancasila sebagai ideologi negara memang produk rezim Jokowi. Termasuk ‘Aku Indonesia, Aku Pancasila’. Wujudnya ialah pembentukan BPIP yang gaduh itu. Bahkan pembubaran Ormas dan labelisasi slogan “Pancasilais, tidak Pancasilais, juga anti Pancasila” dikembangbiakkan di rezim ini.
Ideologi Negara
Slamet Sutrisno (2006) dalam bukunya Filsafat dan Ideologi Pancasila menulis bahwa ideologi memiliki tiga fungsi. Pertama fungsi distorsi (Mark), kedua fungsi legitimasi (Max Weber) dan ketiga fungsi integrasi (Geertz). Dalam fungsi distorsi idiologi dibuat oleh kelas dominan dalam masyarakat untuk mempertahankan status quo. “Bukan kesadaran yang menentukan masyarakat, keadaan rill yang menentukan kesadaran.”
Sedang fungsi legitimasi bahwa ideologi dihadirkan karena klaim otoritas bagi penguasa, ditunjang kepercayaan mayoritas masyarakat yang disandarkan penguasa, untuk mengisi kesenjangan antara otoritas dan mayoritas, atau dalam diksi lain melegitimasi otoritas. Selanjutnya fungsi integrasi didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah binatang yang terjebak dalam tenunannya sendiri. Fungsi integrasi: memperlihatkan peranan rill dalam membangun eksistensi sosial sosial dalam kebudayaan yang penuh makna, dari penerjemahan sistem “tanda”. Apakah pancasila mempunyai fungsi ini?
Menurut Rocky Gerung dalam tulisannya, ‘Pancasila Ide Penuntun, Bukan Ide Pengatur’ di Majalah Prisma menuturkan bahwa, sebagai ideologi negara pancasila, harus berisi penjelasan lengkap tentang sebuah peristiwa yang mempunyai proses sebab-akibat (eksplanasi) pada politics of hope (politik itu harapan) dan menghubungkan ke politics of memory (ingatan bersama). Karenanya, menanamkan ideologi adalah suatu proyek rasional. Ideologi harus merupakan penjelasan rasional tentang “dunia dan sejarah”.
Bagaimana konseptual dan pengaturan pancasila sebagai ideologi negara? Tanyakan pada Pak Presiden. Realitasnya, konsep hukum ala ideologi Pancasila tidak ada. Konsep pemerintahan, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan dan justifikasi etis warga negara tidak ada. Sejak awal konsep-konsep dicamplok pada berbagai ideologi, hingga tumpang tindih sana-sini. Sebut saja, sistem (konsep) hukum kita katanya Civil Law, tapi mau menerapkan Omnibus Law yang lahir, tumbuh, dan berkembang di negara Common Law. Sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan kita feodalistik, juncto liberalis-kapitalis.
Konsep Tri Sakti yang diusung Soekarno tentang: Berdaulat dibidang politik, berdikari dibidang ekonomi, dan berkepribadian dibidang kebudayaan merupakan jiwa bangsa yang merdeka. Disinilah Pancasila perlu dikonsepkan sebagai dasar seluruh urusan kenegaraan dan kepemerintahan. Kini, tri sakti tidak lebih slogan. Tidak menjadi nafas, nilai, pedoman mengelola dan membangun negeri.
Kita malah menambal cita, tentang ibu pertiwi yang kita biarkan diperkosa bergonta-ganti, hanya karena kehilangan arah negara ini. Disinilah, kerancuan klaim rezim ini terhadap pancasila sebagai idiologi negara.
Omnibus Law Anti Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara artinya pancasila ialah sumber dari segala sumber hukum, yang mengisi kebatinan UUD, mewujudkan cita-cita hukum (kepastian, kemanfaatan dan keadilan) yang mengandung norma yang mewajibkan penyelenggara negara dan pemerintah merawat nilai-nilai luhur, cita-cita-cita moral rakyat. Mata pelajaran ditingkat sekolah dasar hingga matakuliah Pendidikan Pancasila, guru/dosen pasti menjawab ini, manakala siswa/mahasiswa menanyakan posisi dan fungsi Pancasila.
Sementara Pancasila dalam posisinya sebagai ‘Idiologi Negara’ (Rezim Jokowi) mengharuskan adanya konsep-konsep politik, ekonomi, dan kebudayaan secara lengkap dan koheren yang berisikan jalan mencapai tujuan dari kehendak dasar negara. Sebagai pelopor pelembagaan pancasila sebagai idiologi negara, rezim Jokowi harus mampu menerjemahkan pancasila sebagai ideologi negara. Bukan saja, membubarkan ormas anti pancasila/anti NKRI dengan menertibkan ‘Perpu Ormas’ yang memaksakan kegentingan, meminjam stekmen Rocky Gerung di Indonesia Lawyer Club (IlC).
Karena itu Badan Pembina Idiologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk rezim ini, tidak perlu ‘berpuasa’, saat pelik semacam ini. Penting bicara yang produktif sesuai kebutuhan rakyat. Salah satunya dengan mengatakan bahwa ‘Musuh Terbesar Pancasila iyalah Omnibus Law’. Hemat penulis, pasti menyulut simpatik publik. Ingatan publik tentang omongan ngawaurnya beberapa waktu yang lalu menyebutkan, ‘Agama Musuh Terbesar Pancasila’ perlahan terobati.
Perlembagaan pancasila ideologi negara iyalah kesalahan vatal rezim Jokowi, di kala membiarkan RUU Omnibus Law yang anti Pancasila, musuh terbesar Pancasila, tidak dibubarkan. Yang mengajukan RUU Omnibus Law, diduga tidak paham pancasila baik sebagai dasar negara juga idiologi negara. Memahami ini, Omnibus Law serta pihak yang mengajukan harus dibubarkan. Demi Pancasila. Termasuk siapa yang berpidato, berapi-api mengejar, memangkas, dan menghajar (bila diperlukan) penghambat Omnibus Law.
Ironisnya. Mengapa disaat ada ambisi (Omnibus Law) yang berupaya membuka kran investasi seluas-luasnya, yang menabrak konstitusi, menyiapkan jalan pelanggaran HAM, menjauhkan negara dari tujuannya, merusak lingkungan, mengaktifkan kembali pasal kolonial dan inskonstitusional, dan membiarkan pers area yang boleh dimasuki investasi asing, dll, tidak ada yang mempertautkan dengan Pancasila.
Apakah Pancasila hanya ada dalam slogan untuk ‘membelah’ warga negara, dan membubarkan ormas yang anti kebijakan negara. Apakah benar Pak Jokowi tidak paham pancasila? Seperti pernyataan tegas Rocky Gerung.
Indoktrinasi Pancasila
Pancasila dalam sejarah rezim yang berkuasa dinegeri ini sebagai dasar negara dibangun dalam tradisi indoktrinasi. Soekarno yang dianggap ‘penemu Pancasila’ dalam episode kepemimpinanya, menjadikan pancasila doktrin revolusi. Penentang kebijakannya diadili dengan dalih kontra-revolusi. Ini justru kontradiktif dengan penempatan Nasionalis, Agamis, dan Nasakom dijadikan idiologi negara. (Lingga Winata dan Sri Mastuti Purwaningsih, e Jurnal Pendidikan Sejarah). Akhirnya rezim yang dibangun collapse.
Tidak berbeda dengan Soeharto. Misi awal memurnikan Pancasila secara konsekuen dalam doktrin pembangunan telah menyumbat krisis kebebasan sipil selama puluhan tahun. Pelanggaran HAM di rezim ini, teramat melimpah ruah. Sampai sekarang masih menjadi misteri. Anehnya yang menentang, dituduh dengan dalih ‘anti pembangunan’ ditunjang dengan pasal subversif yang mengerikan itu.
Setelahnya rezimnya runtuh. Reformasi hadir, mengubah sektor-sektor strategis yang tersumbat dan membengkak. Rezim bergonta-ganti. Pancasila kembali diungkit di rezim Jokowi. Nuansanya indoktrinatif dan penuh slogan juga represif. Apakah klaim idiologi terbuka digerakan dalam mesin indoktrinatif dan represif secara politis? Hemat saya, rezim ini akan mengulang kesalahan sejarah. Lalu collapse.
Sebagai dasar negara pancasila memang belum berhasil menjadi sumber tatanan hukum nasional. Banyak sekali produk hukum nasional yang tidak sesuai pancasila. Tumpang tindih. Dari rangakaian rezim-rezim yang berkuasa di negeri ini. Artinya banyak UU yang bertentangan dengan UUD. Tentang perekonomian nasional berbasis penanaman modal asing (UU PMA) yang dikuasai investor secara sederhana iyalah inskontitusional yang dengan sendirinya tidak pancasilais. Bila kita sungkan menyebut anti Pancasila. Ini biarlah jadi masa lalu.
Namun sebagai idiologi negara, rezim sekarang harus bertanggungjawab. Apakah dengan penerapan Omnibus Law sesuai dengan idiologi negara pancasila? Rezim yang lahir karena reformasi tidak boleh mencela reformasi.
Musuh Besar Pancasila
Sebelum hadir Omnibus Law, investasi asing telah mencengkram negeri ini, dimulai rezim Soeharto. Puluhan tahun kita menggunakan investasi asing. Tanah rakyat banyak yang diserobot paksa, gunung-gunung emas rata dengan tanah, begitu juga minyak dan gas (migas) kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana, sementara pelanggaran HAM nyanyi bisu rakyat kecil. Menonton Film Sexy Killer, kita akan memahami betapa mengerikan praktik investasi. Sementara korupsi, seperti perlombaan para elit. Kekayaan alam dan manusia dimonopoli, kaya semakin kaya, miskin semakin miskin. Hanya Udara saja yang belum dijual negeri ini.
Bagaimana dengan RUU Omnibus Law kemudahan investasi, dijadikan UU?
Penulis setuju dengan Fahri Hamzah. Dia pernah mengatakan ada feodalisme pada bangsa ini. Penulis ingin mengatakan begini, apa kurangnya pancasila dan UUD kita? Tidak bisa kita temukan ada nilai yang relevan, bukan saja untuk Indonesia, tapi untuk dunia. Katakan saja, kemanusiaan. Meski tumbuh di Eropa, namun kemanusiaan yang adil dan beradab hanya lahir tumbuh di Indonesia.
Di atas kertas indah sekali. Gambarnya demikian. Penerapannya nihil. Mungkin otak pemimpin negeri ini kecil. Kita tak mandiri, bahkan untuk menerjemahkan pancasila secara autentik. Kurang cantik apa pancasila dan UUD, bila ditinjau dari istilah ‘subtansi hukum’ dalam teori penegakan hukum Lawrence M. Friedman.
Namun struktur dan budaya hukum kita buruk. Sejak awal hingga sekarang. Penulis ingin mengatakan begini: Jangankan teks hukum itu buruk/timpang, teks cantik/berbobot rawan sekali timpang ditengah buruknya struktur dan budaya rezim negeri ini.
Dengan memahami ini, Omnibus Law mesti dipandang musuh terbesar pancasila. Harus dibubarkan. Tentu sebagai negara yang beradab, kita tak boleh menggali dalam-dalam dan memperlebarkan lubang sebagai tempat berkubur negeri ini.
Demi Pancasila, kita tak boleh membiarkan musuh terbesar dan produk hukum anti Pancasila: tidak diBUBARKAN. Langkah ini penting, agar Pancasila diletakkan pada tempatnya, bukan untuk gincu saja junto alat memberangus ormas tertentu, hanya karena kebencian politis. Penting dimuliakan, hanya dengan cara itu, kita belajar pada sejarah, untuk menyongsong Indonesia Raya.