Selama bulan Ramadhan tahun ini, ada yang unik di kanal youtube Deddy Corbuzier. Acara yang berlangsung 30 hari ini menampilkan percakapan yang seru antara Onadio Leonardo dan Habib Ja’far yang ternyata bisa menyedot 50.000-an subscriber. Menariknya adalah percakapan ini terjadi antara seorang muslim dan seorang non-muslim. Dan serunya lagi, acara ini diberi nama Log-In. Yang kurang lebih artinya adalah masuk.
Apakah acara ini dirancang agar seorang non-muslim masuk Islam? Yang pasti di awal acara Habib Ja’far yang juga seorang lulusan filsafat Islam ini menjelaskan bahwa intinya acara ini dimaksudkan agar ada perbincangan yang hangat antar agama sehingga tercipta hubungan yang baik dalam pemahaman toleransi yang benar.
Habib Jafar yang sejak kemunculannya di publik selalu bergaya kasual dan dekat dengan anak muda ini sudah tentu memberikan kekayaan tersendiri bagi dunia dakwah. Ranah pembicaraan yang sering menitikberatkan masalah toleransi, memberi warna berbeda sekaligus sesuatu yang dinanti-nanti bagi masyarakat yang haus akan tema keberagaman.
Dan sebagaimana kita ketahui dan rasakan, beberapa tahun belakangan ini marak sekali kasus intoleransi di tengah masyarakat. Padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa panjangnya usia toleransi di masyarakat kita lebih panjang dari usia kemerdekaan bangsa kita.
Tidak mudah tentunya membangun prestasi toleransi seperti ini di tengah ratusan suku bangsa, bahasa, adat dan budaya. Juga perbedaan agama. Kenikmatan berdampingan hidup rukun pasti menjadi impian tiap insan di muka bumi ini. Lalu apa sebenarnya yang membuat benang kusut intoleransi ini jadi berkepanjangan?
Apa Itu Intoleransi?
Intoleransi adalah sikap abai atau tidak peduli dengan keberadaan dan identitas orang lain yang berbeda. Intoleransi membuat seseorang menjadi tidak menghormati dan menghargai perbedaan sehingga dapat menciptakan perpecahan. Dengan hal ini dapat memicu munculnya kondisi-kondisi berbahaya.
Menurut Komnas HAM hak atas rasa aman adalah hak konstitusional setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Pun dengan hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama yang dijamin di dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di UU tertinggi negara kita, UUD 1945 juga telah diatur dalam pasal-pasalnya.
Bagaimana kita menghirup secara leluasa hak-hak kita sebagai warga negara, seperti hak berpendapat dan berkumpul, hak memeluk dan menjalankan agama, dan lain-lain. Artinya, di tataran aturan perundang-undangan masalah intoleransi sudah selesai.
Faktor Terjadinya Sikap Intoleransi
Menurut penulis, ada beberapa hal yang menyebabkan sikap intoleransi dalam masyarakat.
Pertama, faktor yang jadi penyebab utama banyaknya tindak intoleransi adalah krisis teladan. Sama halnya dengan mendidik anak, maka mendidik masyarakat juga membutuhkan keteladanan. Dari siapa keteladanan itu? Tentu saja dari pemerintah atau penguasa dan para pemuka agama. Sebab mereka memegang satu privilage yang tidak dimiliki masyarakat biasa. Pemerintah mendapat otoritas untuk membuat regulasi dan memberikan sangsi hukum. Sementara pemuka agama punya fungsi khusus untuk memberikan ‘pagar-pagar’ dan ‘rambu’ di masyarakat dalam ranah keyakinan.
Pada 2021, Komnas HAM RI menerima 2.729 aduan dugaan pelanggaran HAM di kantor pusat dan 367 aduan yang diterima kantor perwakilan di enam provinsi. Aduan terbanyak terkait dengan hak atas kesejahteraan (1009 kasus), hak memperoleh keadilan (910) dan hak atas rasa aman (174). Aktor yang paling banyak diadukan adalah kepolisian (728 kasus), korporasi (428), dan pemerintah daerah (249).
Nah, Dari data 2021 di atas saja terlihat banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi dan aktor yang diadukan adalah pemerintah dan polisi. Hal ini harus menjadi introspeksi pemerintah dan polisi yang seharusnya menjadi garda depan pelindung warga.
Kedua, faktor ruang hidup yang tidak nyaman bagi masyarakat. Ini juga bisa memicu sikap intoleransi. Apa yang dimaksud di sini dengan ruang hidup yang tidak nyaman? Adalah ruang di mana masyarakat tidak merasa nyaman dalam menjalankan kehidupannya baik secara ekonomi, politik, sosial, dan lainnya. Sehingga pada akhirnya akan memicu banyak perilaku agresif yang menyebabkan tindakan intoleransi. Sebagai contoh banyaknya perilaku kekerasan disebabkan kondisi ekonomi yang sangat tidak baik.
Kita mungkin sudah hampir lupa dengan tragedi memilukan dua puluh tahunan yang lalu. Tepatnya di tahun 1998 saat krisis ekonomi melanda. Bagaimana warga Cina di Indonesia dirampok, dijarah, diperkosa, dan tindakan kekerasan lainnya. Dan masih banyak lagi contoh kekinian yang tidak bisa disebutkan semuanya, seperti tingkat kemiskinan, stunting, pengangguran, dan lainnya.
***
Di media sosial, ruang tidak nyaman juga dirasakan. Kekerasan di dunia maya berupa caci maki, fitnah, kebohongan, penghinaan, dan lain sebagainya layaknya makanan sehari-hari. Informasi hoaks dan adu domba sudah jadi konsumsi masyarakat kita yang tingkat pendidikannya sebagian belum baik. Sehingga beberapa informasi ditelan tanpa melalui pemikiran lebih lanjut. Ini juga bisa memicu intoleransi.
Ketiga, faktor adanya operasi intelejen juga mempengaruhi adanya intoleransi dalam masyarakat kita. Sejak lama kita sering menyaksikan berita tentang kisruh antar ummat beragama juga antar suku. Padahal di wilayah tersebut, awalnya segalanya baik-baik saja dalam berdampingan hidup.
Membaca disertasi Bapak DR. H. M. Busyro Muqoddas, S.H, M.Hum dalam buku beliau yang berjudul “Hegemoni Rezim Intelijen”, maka pikiran kita akan dibawa tidak hanya pada banyak peristiwa, tapi juga sudut pandang tinjauan ilmiah yang mungkin jarang diungkap. Bagaimana intelijen banyak memainkan peran dalam kasus-kasus intoleransi terutama isu-isu terkait Islam.
Sebastian Pompe, peneliti asal Belanda sekaligus penulis buku “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung”, dalam kata pengantar buku mengatakan jelas adalah salah tafsir jika menganggap karya ini hanya sebuah tinjauan historis yang tidak memiliki keterkaitan apapun dengan masa sekarang, karena ternyata kajian Busyro masih sangat relevan di masa sekarang, terlebih pada bagaimana bentuk-bentuk marginalisasi politik Islam.
Keempat adalah yang paling krusial yaitu tentang sistem pendidikan yang tidak integratif. Kurikulum pendidikan yang sekuler yang memisahkan antara agama dan pembelajaran akademik di sekolah membuat anak-anak tidak mempunyai pemahaman yang utuh dalam mengaplikasikan ilmu yang dipelajari.
Memahami bahwa semua disiplin ilmu harus menjadi satu kesatuan yang bersinergi saling melengkapi. Agama juga hanya sekedar diajarkan sebagai ritual ibadah saja sehingga di masa depan anak-anak akan menjadi orang dewasa yang tidak paham bahwa agama menjadi pemandu jalan yang utama. Akhirnya lahirlah kasus korupsi, kolusi, nepotisme, suap, dan kejahatan lainnya.
Angin Segar Toleransi di Indonesia
Terlepas dari pernak pernik kasus intoleransi dan penyebabnya yang belum juga usai, acara Log-In hasil kolaborasi Habib Ja’far dan Onad di kanal youtube cukup memberi atmosfer segar juga tontonan yang edukatif bagi masyarakat dunia maya tentang pentingnya toleransi dan merawat kebersamaan dalam keberagaman.
Paling tidak masyarakat yang mengalami Islamophobia atau yang kurang memahami Islam mendapat input yang baik serta bisa memperbaiki sudut pandangnya. Disampaikan secara renyah dan gaya bahasa yang penuh dengan retorika sederhana, jawaban-jawaban Habib yang seorang pendakwah dan penulis ini menjadi sesuatu yang mudah dikunyah oleh banyak kalangan.
Kemampuan menyederhanakan sesuatu yang rumit tidaklah mudah. Tapi dengan bekal dasar-dasar filsafat, beberapa pertanyaan publik yang dianggap seperti benang kusut bisa terurai sempurna. Tentu saja yang paling utama karena Islam memang punya jawaban bagi banyak masalah kehidupan.
Islam adalah agama mayoritas yang beratus tahun bisa berdampingan dengan agama apapun. Maka ini membuktikan bahwa apa yang dikatakan Habib Ja’far bahwa Islam agama Rahmatan lil ‘alamin bukan isapan jempol dan mimpi di siang bolong.
Hidup Bersama dalam Naungan Pancasila
Bergandengan antar pemuka agama juga penganutnya dan hidup berdampingan adalah tradisi tua bangsa ini. Menghidupkan lagi dan mengingatkan masyarakat akan karakter dasar ini adalah tugas kita semua sebagai bangsa berketuhanan dalam naungan Pancasila.
Biarkan saja para pembenci dan penyulut perpecahan membakar terus api permusuhan. Kita pasti bisa bahu- membahu memadamkannya. Sebagaimana cita-cita para founding father kita agar kita tetap bersatu dalam keberagaman baik suku, adat, bahasa dan agama. Itulah yang membuat kita besar.
Tanpa persatuan, pihak-pihak yang mempunyai agenda besar untuk menyuburkan isu dan sikap intoleransi akan selalu bertepuk tangan. Sebab bisa jadi inilah senjata mereka untuk meloloskan kepentingan-kepentingan mereka. Mungkin awalnya untuk memenangkan kepentingan politik. Tapi selanjutnya bisa jadi akan menyebabkan bahaya yang lebih besar, yaitu dikeruknya potensi ekonomi dari sumber daya alam Indonesia tercinta yang begitu tumpah ruah dengan seenaknya.
Maka jangan sampai kita lengah dan mudah tersulut dengan isu intolerasi. Banyak yang memancing ikan di air keruh. Lihat, amati dan buat forum-forum diskusi bersama dalam masyarakat. Duduklah bersama dalam suasana hangat seperti para pendahulu kita. Musyawarah adalah kekuatan kita. Seperti hangatnya secangkir kopi yang diseduh Habib dan Onad dalam percakapan yang penuh canda. Bravo!
Editor: Soleh