Perspektif

Optimisme dan Masa Depan Umat

5 Mins read

Oleh : Imam Shamsi Ali

 

Tak dipungkiri jika umat saat ini berada di posisi “persimpangan jalan” (crossroads). Umat terhimpit di antara pessimisme yang kronis dan optimisme yang tinggi. Bahkan tidak berlebihan jika saya mengistilahkan umat berada di antara harapan dan keputus asaan.

Realita umat di berbagai belahan dunia, baik di dunia mayoritas maupun minoritas cukup memprihatinkan. Muslim yang terzholimi di berbagai belahan dunia belum belum juga memperlihat tanda-tanda yang membaik. Dari Kashmir, Afghanistan, Iran, Rohingyah, Suriah, dan yang klasik Palestina, semakin hari semakin berat.

Sementara itu, dengan kebangkitan nasionalis putih di negara-negara Barat menjadikan Muslim minoritas di berbagai negara-negara itu juga menjadi bulan-bulanan. Islamophobia dan sentimen anti Islam semakin berani dan menjadi-jadi.

Bahkan boleh jadi pada tataran tertentu Islamophobia, rasisme, anti Semit, xenophobia, anti non putih dan immigran seolah menjadi bagian dari sistem di beberapa negara Barat. Dan umat Islam dalam hal ini kerap menjadi korban berlipat ganda Selain Muslim, juga dianggap pendatang dan non-putih.

Pada saat yang sama umat di negara-negara Muslim mayoritas mengalami krisis yang cukup memprihatinkan. Friksi antar negara-negara Islam yang kerap kali diatas namakan membela “Islam” sangat menyakitkan. Demikian pula perpecahan internal umat dalam negara mayoritas Muslim yang satu cukup menyedihkan, bahkan memalukan.

Wajah umat yang demikian cukup menjadi alasan untuk menjadikan umat ini optimis, bahkan hilang harapan.

Namun di sisi lain, umat juga punya semua alasan untuk optimis. Di tengah kelamnya ragam tantangan yang dihadapi, Islam sebagai agama terus mengalami perkembangan yang tidak terhalangi (unchallenged).

Di dunia minoritas Muslim terus mengalami pertumbuhan yang signifikan, baik secara kwantitas maupun kwalitas. Di Amerika misalnya jumlah warga Amerika yang masuk Islam setiap tahunnya semakin membesar, walaupun menghadapi tantangan-tantangan tersendiri. Menurut estimasi sebagian, jumlah warga Amerika yang masuk Islam berkisar 20.000 per tahun.

Maka dengan sendirinya sesungguhnya saat ini, tanpa menunggu tahun 2050, umat Islam menjadi umat terbesar dunia. Tentu jika pengikut agama Kristen dibagi menjadi dua bahagian yang memang berbeda: Protestan dan Katolik.

Tapi barangkali alasan optimisme terbesar adalah potensi umat, baik yang di negara-negara minoritas maupun negara-negara mayoritas Muslim. Potensi yang saya maksud adalah potensi dalam ragam aspeknya, baik aspek SDA (Sumberdaya Alam) maupun SDM (Sumberdaya Manusia).

Baca Juga  Saatnya Mengosongkan (Kas) Masjid

Ambillah sebagai contoh Muslim Amerika. Secara umum SDM umat Muslim Amerika melebihi warga secara pada umumnya. Komunitas agama yang bersaing di Amerika adalah komunitas agama Islam dan Yahudi. 56% umat di Amerika berumur 40 tahun ke bawah. 47% anak-anak umat minimal berijazah S1. Pendapatan umat Islam secara rata-rata juga lebih tinggi dari rata-rata pendapatan warga Amerika.

Artinya, komunitas Muslim Amerika itu muda-muda, terdidik dan memiliki kemapanan hidup yang baik.

Dengan realita persimpangan jalan ini, pertanyaan yang kemudian timbul adalah kemana kira-kira arah pergerakan umat ke depan? Akankah mengarah dan berakhir di ujung pessimisme itu? Ataukah sebaliknya akan berlaju menuju ke ujung optimisme?

Saya pribadi selalu memakai kacamata optimisme bahwa akhirnya umat ini akan berada di posisinya yang sejati sebagai “khairu ummah” (umat terbaik). Atau meminjam istilah orang lain, umat ini adalah umat pilihan (the chosen nation).

Tentu pandangan saya ini bukan tanpa alasan. Tapi dengan alasan yang solid, baik secara teologis maupun secara fakta historis perjalanan umat ini.

Secara teologis jelas: “يريدون ليطفئوا نورالله بافواههم والله متم نوره ولوكره الكافرون

“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah. Tapi Allah menyempurnakan cahayaNya kendati orang-orang kafir itu membenci”

Bahwa usaha apapun untuk menghadangnya cahaya kebenaran ini tidak akan terhalangi (unchallenged). Bahkan sedemikian tegasnya fakta ini sehingga Allah menempatkan dirinya sebagai “pelaku” (penyempurna). Bukan sekedar menyempurnakan.

Sementara alasan historis jelas bahwa umat ini dengan segala dinamikanya pada akhirnya menjadi umat yang solid dan dihormati. Mungkin contoh terdekat bagi kami di Amerika adalah tragedi 9/11. Betapa banyak yang menganggap peristiwa 9/11 itu sebagai kuburan Islam. Ternyata Allah yang membolak balik realita menjadikannya sebagai tunas subur pertumbuhan Islam di bumi Barat.

 

Harapan, Bukan Angan-angan

Lalu langkah-langkah apa saja yang harus dilalui untuk merealisasikan harapan itu. Hal ini menjadi sangat penting agar harapan itu tidak sekedar angan-angan panjang bagi umat.

Saya melihat ada minimal tujuh langkah-langkah mendasar yang umat ini harus jalani. Ketujuh langkah itu terangkum dalam sebuah surah Al-Quran: الصف atau barisan.

Baca Juga  Peternak Ambyar Karena Corona, Perlu Tindakan Pemerintah

Pertama, pentingnya umat ini untuk kembali menyadari dan meraih “modal langit”. Apapun realita bumi ini, jika mengalami keterputusan dari modal langit, atau tepatnya kekuatan langit, maka semuanya akan menjadi lemah dan pupus. Modal langit yang kita maksud adalah menghadirkan “tasbiih” (kemaha besaran) Allah dalam kehidupan umat. Umat menjadi kuat hanya dengan Allah. Dan umat menjadi lemah tanpa dengan Allah.

Kedua, pentingnya umat ini untuk berkaca secara kolektif. Penyakit berbahaya itu, baik secara individu maupun kolektif adalah merasa lebih suci bahkan sempurna. Selain bisa berwujud kesombongan, juga menjadikan seseorang atau kelompok orang tidak ingin lagi melakukan perubahan, perbaikan dan penyempurnaan. Cara untuk menjaga umat agar tidak terjatuh ke dalam perasaan suci dan sempurna itu adalah dengan berkaca secara kasih kelektif. Mungkin dalam bahasa yang lebih popular, umat ini diharuskan berani melakukan introspeksi bahkan membangun karakter “self criticism” (berani mengeritik diri sendiri).

Ketiga, umat ini dituntut untuk mampu membangun “shaf”. Bukan sekedar pintar berkerumun. Shaf itu dapat terbangun pertama kali dengan hadirnya visi yang sama. Bukan sekedar kepentingan yang sama. Visi itu mendasar sifatnya. Sementara kepentingan sering terbatas dan sempit. Karenanya shaf perlu dibangun dalam segala lini kehidupan umat.

Keempat, umat perlu kembali kepada sistim beragama yang apa adanya. Atau memakai kalimat yang lebih tegas, umat ini dituntut untuk jujur dalam beragama. Jujur yang kita maksud adalah beragama tanpa tendensi atau tujuan lain selain tujuan agama itu sendiri. Yaitu membangun kehidupan dengan relasi yang solid kepada kedua aspek kehidupan; verticale dan horizontal. Jujur berislam di masjid-masjid. Tapi juga jujur berislam di pasar, bahkan parlemen.

Kelima, pentingnya umat ini memahami dan mengantisipasi bahwa perang terbesar yang kita hadapi saat ini adalah perang persepsi atau imej. Untuk memenangkan perang imej atau persepsi ini umat dituntut untuk menguasai media. Selama media masih dikuasai oleh orang lain, selama itu pula umat ini akan menjadi mainan informasi liar, yang tanpa malu-malu mendistorsi wajah Islam dan umat.

Baca Juga  Surat untuk Mas Menteri: Pertimbangkan Lagi Sekolah Tatap Muka Januari!

Keenam, umat dituntut untuk melakukan kerja-kerja keras dan professional yang mampu melahirkan karya-karya yang menopang terbangunnnya peradaban dunia alternatif. Kerja keras yang berorientasi karya inilah yang disebut “jihad”. Maka jihad bukan konsep destruktif. Tapi konsep konstruktif untuk membangun peradaban manusia.

Ketujuh, umat ini harus konsisten dalam perjuangan, tegar bagaikan karang dalam samudra. Ketegaran ini juga harus terbangun di atas harapan dan optimisme yang tinggi. Karena pada akhirnya: فايدنا اللذين آمنوا علي عدوهم فأصبحوا ظاهرين “Maka Kami (Allah) menguatkan orang-orang beriman, maka mereka menjadi orang-orang yang menang”.

 

Modal Langit dan Bumi

Saya ingin menutup secara khusus bahwa Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia memiliki semua alasan untuk optimis dan menang. Negara besar, jumlah penduduk besar, negara kaya, dan tentunya keindahan alam dan manusianya.

Tapi alasan terkuat kenapa Indonesia akan menjadi bangsa menang, bahkan menjadi pemimpin global (اماما للناس) adalah karena bangsa ini memiliki dua modal utama yang tak terpisahkan; modal langit dan bumi.

Bangsa ini adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan spiritualitas. Itulah modal langit yang dimaksud.

Negara ini adalah negara besar yang kaya raya. Sungguh sangat luar biasa kekayaan alamnya, baik di laut maupun di darat. Itulah yang dimaksud dengan modal bumi.

Karenanya bangsa ini jangan pernah mencoba-coba memisahkan modal

Langit (agama) dan moda bumi (negara). Karena keduanya telah menyatu bagaikan darah daging bangsa ini.

Di sini pulalah idealnya negara Indonesia. Memang bukan negara agama. Tapi agama telah ditakdirkan sebagai nafasnya. Tanpa agama maka negara ini akan mati suri.

Akhirnya modal langit dan bumi itu hanya akan terwujud dan berdaya guna jika dibangun di atas asas iman dan takwa. Allah menggaris bawahi itu dengan firmanNya:

ولو امن أهل الكتاب واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماوات والأرض

“Kalau sekiranya pemghuni negeri itu beriman dan bertanya maka akan kubukakan bagi mereka berkah-berkah langit dan bumi”.

Semoga umat ini mampu membangun optimisme di tengah ragam permasalahan dan tantangan yang dihadapinya. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan dan pertolonganNya dalam mengarungi samudra kehidupan yang penuh tantangannya. Amin!


1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds