Herman L Beck melihat Muhammadiyah bisa bertahan sedemikian lama justru karena watak modernitasnya. Dalam pengertian yang sederhana, mampu berubah seiring dengan perubahan zaman.
Sedangkan Mitsuo Nakamura melihat Muhammadiyah memiliki hal yang serupa. Namun, ia mewanti-wanti, jika Muhammadiyah berhenti bertransformasi karena sibuk mengurus rutinitas organisasional dirinya sendiri, itu akan menjadi masalah besar.
Kim Hyung-Jun berkesimpulan yang selaras dengan apa yang diungkapkan Nakamura. Hanya saja, ia melihat bahwa Muhammadiyah memiliki keunggulan dalam hal manajerial organisasi. Birokrasi yang dimiliki, persis dengan birokrasi institusi-institusi modern yang sangat maju. Ia berharap organisasi ini semakin inovatif dan up to date.
James L Peacock dan Howard M Federspiel menyatakan bahwa perubahan Muhammadiyah menjadi gerakan keagamaan puritan namun liberatif merupakan wujud kemodernan yang dimiliki dalam konteks yang terbatas. Jadi, mereka mengamati perubahan yang ada dalam kurun waktu yang terbatas. Namun di masa kini (dan terus maju ke masa mendatang), apakah Muhammadiyah mengupayakan proses transformasi lainnya?
Gwenaël Njoto-Feillard pernah meneliti catatan keuangan Muhammadiyah di zaman kolonial. Ia melihat bahwa watak adaptabilitasnya membuat Muhammadiyah bertahan lebih lama, jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi pribumi anti-kolonial lainnya.
Muhammadiyah secara realistis mau memanfaatkan pelbagai dukungan finansial yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Meskipun yang diterima tidak sebesar yang didapatkan oleh sekolah-sekolah Kristen milik penjajah itu, Muhammadiyah menganggap hal ini memiliki arti penting yang besar.
Melihat Muhammadiyah Kini
Berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu, di masa kini, Michael Feener, Robin Bush dan MC Ricklefs mengisyaratkan adanya transformasi baru di dalam Muhammadiyah. Munculnya pemikiran-pemikiran progresif di kalangan aktivis muda Muhammadiyah (JIMM), menunjukkan adanya keinginan yang kuat agar gerakan sosial ini terbuka terhadap tuntutan kebaruan.
Namun, hal yang paling menonjol yang diajukan oleh aktivis muda bukanlah liberalisasi pemikiran keagamaan, tapi liberasi, pemikiran sosial transformatif dan ideologi pro-mustadl’afin (kaum papa dan nestapa).
Tuntutan kebaruan yang bergulir oleh karena dorongan gelombang globalisasi, ekonomi neoliberal dan kebudayaan popular, sebagaimana halnya yang diidentifikasi oleh Greg Fealy dan Selly White, menjadikan Muhammadiyah lebih peka terhadap pasar bebas, trend mazhab sosial baru (kebangkitan perempuan) dan peluang-peluang membangun kemandirian ekonomi melalui social entrepreneurship. Dalam konteks ini, Muhammadiyah jelas mampu memperbesar jaringan amal usahanya.
Sementara itu, zaman baru juga membawa masalah global yang tidak mudah. Martin van Bruinessen misalnya, menyebutkan bahwa masalah konservatisme keagamaan agaknya lebih sukar diselesaikan oleh Muhammadiyah yang cenderung puritan. Ada kekhawatiran bahwa pengerasan sikap keberagamaan justru malah berkembang di dalam Muhammadiyah. Tetapi dengan adanya doktrin Islam Berkemajuan, tentu kekhawatiran tersebut dapat ditepis.
Berkaitan erat dengan masalah konservatisme ini, sarjana seperti Greg Barton mengamati secara seksama, bagaimana Muhammadiyah menyikapi fenomena terorisme. Juga bagaimana apabila ada warganya yang terpapar hal tersebut dan bagaimana pula memproteksi diri dari infiltrasi ideologi keagamaan ekstrem. Di hadapan tren global “war on terror“, Muhammadiyah tentu berusaha keras menyesuaikan diri agar terus bertahan (survive) dan eksis.
Dalam perkara politik, Marcus Mietzner mengamati perilaku Muhammadiyah dalam gelanggang realpolitik pasca reformasi. Ia juga mengamati peran Partai Amanat Nasional (PAN) dan manuver politik sebagian elit organisasi.
Dalam konteks populisme Islam yang mengemuka belakangan ini, Amien Rais sebagai intelektual penting (a man of politics) dalam jejaring oligarkisme juga tidak luput dari pantauan. Ia dianggap berkontribusi dalam menentukan sikap politik Muhammadiyah dan membiarkan sebagian kader organisasi turut serta dalam pertarungan politik praktis.
Perubahan sebagai Solusi
Jadi, menurut para sarjana asing (outsider), Muhammadiyah sebenarnya memiliki karakter yang adaptif, dinamis dan mau berubah seiring dengan kontemporaritas yang senantiasa berjalan maju ke depan. Apapun perubahan yang dilakukan dan dialami Muhammadiyah, tidak lain adalah untuk menyelesaikan masalah umat, keadilan, kemanusiaan dan kebajikan universal.
Sebagai ikhtitam dari tulisan ini, pada momen Milad 107 tahun Muhammadiyah (tepat pada 18 November 2019), mari kita senantiasa menjaga karakter unggul Muhammadiyah: mau berubah, transformatif, dan berorientasi pemecahan masalah. Selamat ber-milad dan selamat berkemajuan bersama Muhammadiyah.