Manusia itu Bernama Gus Dur
Otoritas Gus Dur – Barangkali sejarah pergulatan dan perjalanan bangsa ini perlu bersyukur. Bukan tanpa sebab, beberapa lembar dalam buku sejarah bangsa – nantinya – akan diisi oleh bab-bab yang bercerita tentang manusia yang keberadaannya melampaui segala yag dipikirkan manusia umumnya di medio zamannya.
Cerita yang panjang mungkin, karena isi kepala dan rentetan perjalanan hidupnya tidak dapat dikatakan biasa-biasa saja. Manusia biasa – bukan wali apalagi nabi – yang kebetulan lahir dari rahim lingkungan yang lekat dengan tradisi Islam tradisionalis – pesantren, namun berani berpikir melampaui para pemikir modernis.
Memiliki kondisi fisik yang terbatas, namun horizon intelektualnya melampaui batas. Manusia yang menembus sekat-sekat di tengah komunal masyarakat. Pernah menjabat presiden, selamanya kyai – panutan – lebih dari pahlawan yang sosoknya diabadikan dalam beragam bentuk entitas medium – foto, kaos, peci, mural, meme, dll.
Manusia yang tidak hanya abadi di peristirahatan terakhirnya di Jombang, melainkan ada dan meletupkan elan-elan keberadaanya dalam setiap kepala manusia yang barang sekali saja membaca jalan hidup dan pemikirannya. Gus Dur, masyarakat mengenal namanya.
Goenawan Muhammad Berbicara tentang Gus Dur
Jurnalis senior yang lebih pantas dianggap sebagai begawan intelektual dalam sejarah Indonesia modern – Goenawan Muhammad – pernah menulis sebuah buku kecil yang berisi tokoh-tokoh dan pemikirannya yang tak pernah berhenti – tak beku, tak menetap – sebagai gerak dari sebuah ide tentang kebenaran.
Buku yang berjudul Tokoh + Pokok tersebut, membicarakan tokoh-tokoh yang berjasa dan mewarnai perjalanan bangsa. Dalam buku yang bertebal 71 halaman tersebut tidak ketinggalan memberikan tempat untuk Presiden Republik Indonesia yang ketika menjabat berani mengubah Istana Merdeka selayak Istana Rakyat, yakni Gus Dur.
Dalam lembar-lembar buku tersebut, Goenawan Muhammad memberikan pandangan kepada pembaca tentang sedikit sepak terjang pemikiran Gus Dur. Baginya, dia mengenang Gus Dur sebagai sosok anarkisme yang jinak dan jenaka.
Anarkisme Gus Dur bukan berarti lekat dengan segala sesuatu yang serba kekerasan – kebrutalan – melainkan, menolak otoritas kebekuan. Baik dalam iman, pemikiran, sampai prinsip yang mengejewantahkan tindakan politiknya.
Gus Dur dikenal sebagai seorang ulama tradisional. Lahir dari lingkungan pesantren, cakap dalam kitab-kitab klasik agama Islam, bahkan beberapa tahun hidupnya dihabiskan dalam pengabdian membina jutaan masyarakat yang terkumpul dalam Jamiyah berlambang bintang sembilan tersebut – Nahdlatul Ulama.
Makna Iman Menurut Gus Dur
Meski dikenal sebagai sosok pemuka agama yang bahkan sampai sekarang makamnya tidak pernah sepi untuk diziarahi umat, Gus Dur memaknai iman bukan sebagai sebuah benteng yang kokoh dan tertutup.
Bukan sebagai sebuah kontruksi yang dipenuhi dengan asumsi kecemasan dan ketakutan. Apalagi sebagai ruang yang penuh dengan kewaspadaan kepada siapa saja yang berbeda dengannya. Melainkan, seperti obor yang membawa umat dalam menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal.
Iman ala Obor-nya Gus Dur sangatlah relevan dan diperlukan untuk membumikan agama – terlebih Islam – di tengah perkembangan realitas masyarakat sebagai bagian dari semesta dunia yang semakin kompleks.
Lewatnya, iman termanifetasikan sebagai sebuah ruang untuk memantik manusia menciptakan kebaikan demi kebaikan secara inklusif. Kebaikan yang merangkul semua keragaman, kebaikan yang membuahkan kebermanfaat untuk semua yang ditemuinya – rahmatan lil alamin.
Gus Dur: Sosok yang Berani
Selain tentang Iman, Goenawan Muhammad memberikan gambaran akan konsistensi penolakan Gus Dur pada otoritas kebekukan. Tak hanya dalam pemikirannya, sikap anarkisme pada kebekuan juga ada pada prinsip tindakan politiknya.
Sebagaimana sejarah mencatat, dengan kondisinya yang terbatas, ditambah sentimen hasil hegemoniyang masih ada kala itu, Gus Dur menjangkau mereka yang bukan kaumnya, menegaskan sebuah tindakan kemanusiaan yang saat itu tabu untuk dilakukan di tengah kungkungan rezim yang masih terlalu kuat. Gus Dur merangkul mereka yang dicurigai, disingkirkan, bahkan dianiaya – bekas PKI, Tionghoa, sampai jamaah Ahmadiyah.
Kebenarian-keberanian Gus Dur melampui kebiasaan tersebut dilakukannya tidak dalam pembawaan yang kaku. Gus Dur hampir bahkan selalu bisa melakukannya dengan santai, halus, jinak, dan jenaka.
Keberanian-keberanian tersebut yang hari ini menjadi kenangan sejarah berharga bagi siapa saja yang tidak pernah berhenti membaca dan belajar sebagai manusia. Lewatnya, Gus Dur mengajarkan tentang anarkismeyang nyata. Yakni setegak-tegaknya menolak otoritas kebekuan.
Editor: Yahya FR