Kericuhan Kongres PAN beberapa waktu yang lalu di Kendari, disusul dengan disingkirkannya Amien Rais dan pengunduran diri Hanafi Rais dari struktural PAN, memunculkan perpecahan baru di internal PAN. Tak berhenti sampai di situ, Amin Rais tidak tinggal diam menanggapi hal itu. Beliau saat ini sedang merencakan untuk mendirikan partai baru (yang hanya tinggal menunggu waktu saja) sebagai tandingan PAN lama.
Melihat kondisi di atas, serta mengingat kiprah politik Pak Amien yang begitu panjang sejak masa orde baru dengan jabatan sentris yang pernah dia duduki, rasanya kurang etis bila masih harus merebut jabatan politik. Mengingat pengalaman dan usia yang sudah lanjut, menurut penulis, sebaiknya Pak Amien bertranformasi menjadi seorang negarawan.
Dalam tulisan ini, penulis tidak berniat untuk mengkritisi Pak Amien, tetapi penulis berharap sikap kenegarawanan seorang Amin Rais.
Negarawan
Dalam KBBI, negarawan adalah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Negarawan adalah seorang pejabat yang mengayomi semua golongan, tidak memihak manapun, tidak memihak pada yang menang maupun kalah dalam kontestasi politik (Siburian, 2017). Dinalisir dari beritasatu.com, Buya Syafi’i Maarif mengatakan, sifat seorang negarawan bisa menghindari konflik antar golongan dan berbagai polemik yang ada di Indonesia. Maka seorang negarawan sudah seharusnya meninggalkan ego sektoral, terutama masalah identitas keagamaan. Satu agama jangan sampai banyak golongan, lebih baik satu visi bersama, ujarnya.
Maka sangat disayangkan, jika sikap politik sekelas Pak Amien, masih berpihak pada gologannya dan mementingkan partainya saja. Gus Baha, dalam salah satu ceramahnya pernah bilang, “Menginginkan rakyat bersatu dengan cara membuat kelompok atau organisasi baru, ya justru malah menambah perpecahan, sebab setiap kelompok atau organisasi tentu memiliki ideologi sendiri-sendri”.
Hal-hal seperti ini yang sangat disayangkan dan sangat tidak bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa. Jika seorang negarawan kembali bersikap taktik, layaknya politisi partisan partai seperti dahulu, maka dapat berpotensi membuat kegaduhan dalam masyarakat, urusan kerakyatan terabaikan karena banyak menghabiskan waktu untuk berkonflik dalam inters konflik sesaat.
Hilangnya Moral Etik Politik
Selama ini, narasi-narasi memperjuangakan rakyat dari para elit politik hanyalah sebagai alat untuk menuju kursi kekuasaan. Sulit kita temukan seorang politisi yang benar-benar mementingkan hak kepentingan rakyat. Misalnya pasca pemilihan presiden 2019 yang lalu, setelah rakyat terpecah hanya garena beda pilihan, malah para elit politk yang dipilih berbalik arah demi jabatan kekuasaan. Alhasil, hanya kekecewaan pada rakyat yang tersisia. Maka tidak heran, aksioma “politik itu jahat” tidak terleakkan. Siburian (2017) mengatakan, secara deskriptif, politik itu sendiri netral. Tetapi aktor yang memainkannya yang membuat politik itu tidak netral, saling menjelekkan antar lawan politik demi keuntungan sendiri. Sabran melanjutkan, seharusnya politik tentang moral, karena dikaji secara mendalam dari pemikir yang etis dan secara sistematis logis. Moral politik bukan hanya sebatas profesi, tetapi sampai kepada kebajikan universal manusia, demi kesejahteraan bangsa.
Melihat kondisi politik saat ini, hampir tidak ada lagi prinsip kepimipinan bangsa dari para politisi, yang tersisa hanyalah penguasaan politik dalam arti “kursi jabatan”, namun sangat kecil pengaruhnya terhadap kepemimpinan yang dirasakan masyarakat mengahasilkan kesejahteraan. Sebab itu sangat penting kembali menguatkan kembali prinsip-prinsip moral dalam berpolitik.
***
Jika kita melihat sosok kenegarawan yang sempurna, maka itulah Nabi Muhammad Saw. Saat hijrah ke Madinah, beliau melakukan musyawarah kepada para tokoh-tokoh di Madinah untuk menyatukan suku-suku yang terpecah tanpa memandangan strata sosial dan identitas agama dengan membuat piagam Madinah. Beliau menyelesaikan perselishan tanpa menimbulkan masalah baru dengan keputusan yang sangat bijak.
Thomas Jefferson mengatakan, jika ingin mengetahui apakah seseorang itu levelnya negarawan atau masih politisi adalah apakah selalu membuat membuat perencanaan yang solutif dan memecahkan masalah tanpa adanya masalah lainnya.
Hemat penulis, saat ini adalah waktu bagi Pak Amien yang punya pendukung basis masa yang cukup besar, bersikap sebagai seorang negarwan. Penulis sangat prihatin dengan sikap para politisi terkhusus di Indonesia yang tidak malu berbuat perbuatan amoral demi kekuasaan, dan dalam pembicaraan tidak peduli dengan kebenaran dan tanggung jawab.
Dengan bertransformasi menjadi seorang negarawan, atau setidaknya menjadi politisi–negarawan, Pak Amien mendahulukan bangsa dan rakyatnya. Membimbing para generasi muda untuk menjadi politisi yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika berpolitik. Tidak peduli hanya pada kepentingan sendiri dan kelompoknya.
Menjadi negarawan yang tidak hanya memikirkan keuntungan semata, tetapi melampaui politisi yang hanya pintar bermain politik tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat dan negara. Menjadi negarawan berati bersedia meluangkan waktu pikiran dan tenaganya untuk mengayomi seluruh anak bangsa.