Berbicara soal dakwah kultural, tentu ia menjadi pembahasan yang tidak asing lagi dalam kehidupan umat Islam. Entah bagi kalangan para ulama, kiai, pemimpin, intelektual dan aktivis, ia sudah menjadi pembahasan yang tak kunjung habis untuk dibahas tuntas untuk bisa mendekati sasaran dakwah. Salah satu yang membahas tentang dakwah kultural adalah Pak AR Fachruddin.
Hal ini tidak terlepas akan pentingnya kegiatan dakwah kultural dalam kehidupan masyarakat, tentunya dengan cara yang nyaman dan tidak membosankan. Seringkali terjadi saat ini, para ustadz, mubaligh, dan pendakwah dalam melaksanakan tugas satu ini terlihat kaku dan menjenuhkan dalam menyampaikannya.
Secara tidak langsung, orang-orang yang menjadi sasaran dakwah bukan malah semakin dekat, justru malah sebaliknya. Mereka akan menjauh karena dakwah yang kaku dan menjenuhkan itu. Maka dari sini penulis ingin berasumsi, bagaimana seharusnya dakwah menurut Islam dengan menghadirkan metode dakwah dari salah satu tokoh besar Muhammadiyah dan bangsa.
Mengenal Kepribadian Pak AR Fachruddin
Pak AR Fachruddin adalah sosok kiai yang lahir dalam garis darah keturunan para ulama. hal ini ditunjukkan dengan posisi ayah beliau, Kiai Fachruddin, adalah putra dari Kiai Syahid, yang juga menjadi seorang kiai di kampung halaman. Sedangkan ibu beliau Maemunah yang dinikahi oleh ayah beliau adalah sosok seorang janda, dan merupakan putri dari Kiai Idris.
Beliau adalah sosok seorang dai, mubaligh, dan tokoh Islam yang sangat istimewa. Keistimewaan beliau sangat nampak apabila dilihat dari pendekatannya secara kultural. Dakwah kultural merupakan model dakwah yang dikembangkan oleh Pak AR Fachruddin dan berhasil menyentuh semua komponen masyarakat.
Saya boleh mengatakan bahwa Pak AR adalah sosok seorang muslim yang ideal. Hal ini tampak dari bagaimana beliau berdakwah dan bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Siapa saja yang dekat atau satu kali saja mendengar ceramah beliau pasti akan terkesan dengan sosok dai dan mubaligh yang berbadan subur itu.
Menurut Buya Syafi’i Maarif, akhlak dan kepribadian Pak AR mencerminkan akhlak dan kehidupan seorang sufi. Meskipun pada kenyataanya, Pak AR sangat jarang bahkan nyaris tidak pernah menyinggung soal tasawuf. Meski begitu, cara dan pribadi Pak AR mencerminkan hal itu; menjadikan kepentingan akhirat sebagai prioritas, dan menyikapi urusan dunia dengan sangat sederhana.
Pak AR tidak pernah menjaga jarak dengan siapa pun. Sebagai sosok kiai yang sederhana dan ikhlas dalam berdakwah, kecerdasan dan kepiawaian dalam berkomunikasi menjadi keistimewaan dari beliau. Ulama Muhammadiyah ini mampu berkomunikasi dengan presiden ataupun pejabat-pejabat negara lainnya.
Di sisi lain, beliau juga sangat gemar berkomunikasi dengan kalangan awam menggunakan bahasa yang mereka pahami. Beliau sosok kiai yang gemar duduk dan membicarakan banyak hal dengan dengan rakyat kecil di pinggiran sungai.
Strategi Dakwah Kultural di Muhammadiyah
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan masa jabatan terlama itu, seorang dai, mubaligh, atau pendakwah harus mempu memahami karakteristik objek dakwah terlebih dahulu. Agar pesan dakwah bisa tersampaikan dengan baik, tepat, sesuai dengan tingkat keagamaan, pengetahuan, pengalaman, spiritualitas seseorang maupun kelompok yang menjadi sasaran dakwah kultural.
Beliau mengambil sebuah perumpamaan dakwah bagai seseorang yang akan menulis. Jika dia menulis di atas kertas, maka dia harus menggunakan pulpen dan tinta. Tetapi, jika dia hendak menulis di papan atau tembok, maka tidak tepat apabila dia menggunakan pulpen dan tinta. Lebih pas untuk menggunakan kuas dan cat bila ingin menulis di tembok atau papan.
Beliau juga mengibaratkan dakwah kultural bagai seseorang yang hendak memotong sesuatu. Alatnya harus menyesuaikan dengan barang yang hendak dipotong. Metode atau cara yang digunakan harus disesuaikan. Misalnya, ketika seseorang hendak menebang kayu, alat yang digunakan adalah kapak atau gergaji, bukannya gunting atau cutter.
Menurut Pak AR dalam berdakwah, materi, alat, dan metode yang hendak digunakan harus sesuai dengan orang atau kelompok yang menjadi sasaran dakwah. Jika Islam disampaikan sesuai dengan tingkatan pemahaman, pesan dakwah akan mudah diterima dan dipahami.
Pak AR menjelaskan juga cara untuk memahami dan mengenali karakter objek dakwah. Beliau mengatakannya dengan cara mengamati dan mencermati tingkat keagamaan seseorang atau kelompok yang menjadi sasaran. Tingkat keagamaan itu meliputi pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman. Sekaligus kehidupan sosial-kemasyarakatan seperti adat istiadat dan tradisi yang menjadi sasaran dakwah penting untuk dipandang.
Inilah yang hari ini saya rasakan kurang dari para ulama, kiai, dai, mubaligh, ataupun pendakwah saat ini. Mereka lupa untuk memahami berbagai keberagaman yang ada. Ketika mereka menyuarakan dakwah seringkali mereka belum memperhatikan tingkatan pengetahun, pengalaman terhadap kelompok yang didakwahkan.
Akibatnya orang-orang akan merasa jenuh, bosan, dan berakhir dengan berhenti untuk mengikuti dakwah mereka. Metode dakwah yang ditegaskan oleh Pak AR merupakan sebuah metode yang tepat untuk digunakan oleh para ulama, dai, mubaligh saat ini. Dakwah yang disampaikan bisa dengan muda dipahami dan diamalkan bagi yang mendengarkan, dengan metode Pak AR.
Permasalahan Dakwah Islam Menurut Pak AR
Akhir-akhir ini menjadi kerisauan tersendiri bagi saya, mungkin juga bagi orang lain. Narasi-narasi yang muncul di berbagai media menyatakan bahwa Islam adalah agama yang menyukai kekerasan.
Dakwah Islam seringkali dinilai keras, kaku, menjenuhkan, dan bahkan berakhir pada rasa bosan. Islam yang seharusnya menjadi agama yang ‘rahmatan lil alamin dan likulli zaman wal makan‘, tidak bisa lagi diandalkan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Dan bahkan yang lebih parahnya lagi, Islam dianggap sebagai problem baru dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Pak AR, dalam melakukan dakwah kultural hendaknya dakwah disampaikan dengan cara yang lembut. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapatkan petunjuk.” (An-Nahl: 125).
Beliau menegaskan bahwa hikmah dari ayat tersebut adalah perintah atau seruan, agar dakwah dilakukan dengan tata cara yang baik dan bijaksana. Caranya adalah dengan menyadarkan akal pikiran dan membuka mata manusia. Dengannya, maka mereka akan menyadari hubungannya dengan Allah dengan melihat dan merenungkan fenomena alam yang ada di sekelilingnya.
Dakwah harus disesuaikan dengan perkembangan akal pikiran dan budi pekerti. Jika kebaikan disampaikan dengan cara yang bijak dan tidak menyakiti hati, maka orang yang diajak akan menerima dengan gembira, tanpa beban, apalagi sakit hati. Orang tersebut akan menerima seruan Islam dengan kerelaan. Dia akan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim dengan sebaik-baiknya, tanpa paksaan dari siapa pun.
***
Kebaikan harus disampaikan dengan bijak dan penuh hikmah agar dapat diterima dengan jalan pikiran yang sederhana, Sehingga dakwah bisa tersampaikan baik dan mudah dipahami. Saya mengambil kesimpulan bahwa dakwah kultural Islam tidak bersifat memaksa dan agama bukan masalah bagi kehidupan. Sebaliknya, Islam sebagai solusi dari semua problem yang ada. Wallahu A’lam.
Editor: Shidqi Mukhtasor