Pada zaman Orde Baru, pemberlakuan azas tunggal Pancasila pernah menjadi tantangan tersendiri bagi organisasi-organisasi di negeri ini. Tidak terkecuali Persyarikatan Muhammadiyah juga berhadapan dengan kebijakan pemberlakuan azas tunggal. Menjelang Muktamar di Surakarta pada 1985, Pimpinan Pusat Muhammadiyah bermaksud mengundang Presiden Soeharto supaya berkenan membuka muktamar. Pak AR yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah beserta rombongan menghadap Presiden Soeharto. Sebagaimana dituturkan oleh Syukriyanto AR dalam buku Anekdot dan Kenangan Lepas Tentang Pak AR (2005), berikut ini kisahnya.
Setelah beramah-tamah dan menyampaikan pesan Pimpinan Pusat Muhammadiyah kepada Pak Harto, lalu terjadilah dialog antara Pak AR dengan Presiden Republik Indonesia pada waktu itu.
“Saya bersedia hadir, asal Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai azas organisasi,” kata Pak Harto.
Seperti kesaksian Syukriyanto AR, ketika mendengar perkataan Presiden Soeharto, Pak AR langsung menjawab, “Saya tidak bisa memutuskan, karena hal itu merupakan masalah prinsip, keputusannya di muktamar nanti.” Kata Pak AR, “Karena masalah itu baru akan dibicarakan dalam muktamar, sebaiknya Pak Harto hadir, memberi pengarahan tentang azas tunggal itu.”
“Ya, tapi harus ada kepastian, bahwa Muhammadiyah bersedia menerima azas Pancasila!” tegas Pak Harto.
Sebagaimana kesaksian Syukriyanto AR, pada waktu itu Pak Harto memberikan penjelasan panjang lebar tentang kewajiban bagi setiap organisasi untuk menggunakan azas Pancasila. Sebab, negara Indonesia berdasarkan Pancasila. Semua organisasi dan perkumpulan di Indonesia harus mengikuti azas yang sama.
Setelah mendengar penjelasan Pak Harto, tiba-tiba Pak AR menyela, “Apa kira-kira boleh diibaratkan seperti orang naik kendaraan di jalur helm, sehingga semua pengemudi motor yang lewat di situ harus pakai helm?”
“Kira-kira begitu walau tidak persis,” jawab Pak Harto spontan. “Misalnya saja disebutkan Muhammadiyah itu organiasi Islam, berakidah Islam dan berazas Pancasila. Kan tidak apa-apa, tidak mengubah keyakinan kita sebagai orang Islam!”
Lalu Pak AR menimpali, “Jadi, bisa diumpamakan seperti pengemudi motor di jalur helm tadi?”
“Saya kira tidak masalah” jawab Pak Harto.
“Baik, kalau begitu kami menunggu kehadiran Bapak untuk membuka muktamar sekaligus memberi pengarahan.”
“Asal Muhammadiyah bersedia menerima azas Pancasila!”
Pak AR pun berpamitan sambil berucap, “Seperti di jalur helm.”
Akhirnya, Pak AR dan Pak Harto pun saling tersenyum. Dan ketika Presiden Soeharto hadir di Muktamar Muhammadiyah di Surakarta pada tahun 1985, ramailah media massa pada waktu itu dengan head line diplomasi “jalur helm.”
Diadaptasi dari buku Anekdot dan Kenangan Lepas Tentang Pak AR (2005) karya Syukriyanto AR.
Editor: Yahya FR