Falsafah

Ketika KH Mas Mansur Meluruskan Pandangan Teologis Dr Soetomo

4 Mins read

Keyakinan Dr Soetomo yang terpengaruh oleh filsafat emanasi dan lebih mengindahkan hakekat ketimbang syariat mendapat respons dari KH Mas Mansur. Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur ini memang tidak sepakat dengan keyakinan pahlawan pergerakan nasional itu. Akan tetapi, keduanya tetap sebagai sahabat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan toleransi. Keyakinan antara keduanya tetap berbeda sepanjang hayat masing-masing.

Dr Soetomo tetap pada keyakinan Wihdah al-Wujud-nya, sedangkan KH Mas Mansur memiliki keyakinan yang bertentangan dengannya. Nah, bagaimanakah keyakinan salah seorang tokoh berpengaruh di Muhammadiyah ini?

Tuhan di Mata KH Mas Mansur

Dialog antara KH Mas Mansur dengan Dr Soetomo yang dimuat di Majalah Penganjur edisi No. 5 Tahun II/ Juli 1938 merupakan bukti otentik bahwa keyakinan antara kedua tokoh nasional itu berseberangan. Sempat terjadi dialog yang cukup mengagetkan Dr Soetomo, ketika KH Mas Mansur menyatakan perbedaan prinsipnya.

“Tatkala kita terangkan bahwa kita tidak setuju dengan filsafat yang demikian, beliau terbelalak matanya dan tercengang. “Mengapa Tuan Mansur tidak setuju?” katanya. “Bukankah itu sudah yang sebenar-benarnya, yang sebetul-betulnya?” tulis KH Mas Mansur. Dialog tersebut makin berkembang ketika KH Mas Mansur menjelaskan keyakinannya.

KH Mas Mansur menuliskan kisahnya, “Bagi Tuan dan orang yang sependapat dengan tuan agaknya itulah sebenar-benarnya. Tapi saya sendiri tidak mau dengan filsafat yang demikian. Jiwa saya tidak sanggup membenarkannya, sebab semuanya itu jauh berlawanan dengan pelajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, jauh berbeda dengan Qur’an yang diturunkan Tuhan. Itu filsafat mengandung paham bahwa sebelum semua benda ada, asal benda sudah ada, yaitu Tuhan. Tuhan yang menjelma menjadi segala benda. Jadi tidak berbeda antara Tuhan dengan benda, Tuhan itu benda, benda itu Tuhan. Keyakinan saya tidak begitu Tuan Soetomo. Segala benda itu asalnya tidak ada. Kemudian diadakan. Yang mengadakan ialah Tuhan. Jadi berbeda di antara Tuhan yang menjadikan dan alam yang dijadikan. Tuhan Khalik, alam makhluk. Itulah yang sesuai dengan firman Allah dan Sabda Nabi.”

Perbedaan Pandangan

Bahwa “Wujud Pertama” adalah Tuhan, KH Mas Mansur sepakat dengan pandangan filsafat itu. Tetapi, Tuhan bukanlah benda yang kemudian menjadi titik awal dari keberadaan alam semesta ini. Oleh KH Mas Mansur, Tuhan dipahami bukan dalam Wujud Materi (Benda). KH Mas Mansur meyakini bahwa benda adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan (Khalik). Wujud Benda yang kemudian termanifestasikan dalam kehidupan alam semesta ini merupakan unsur “ciptaan.” Jadi, sifatnya tidak kekal (fana/nisbi).

Baca Juga  Meneladani Semangat Membaca dari Dua Ulama Besar

Sementara Wujud Tuhan sama sekali bukan dalam bentuk Benda, melainkan Dzat (Esensi). Dengan demikian, terdapat pembatasan tegas bahwa selain Tuhan adalah Makhluk (diciptakan), sedangkan Tuhan sendiri adalah Pencipta (Khalik). Alam semesta yang berupa Benda adalah diciptakan (Makhluk), bukan penjelmaan terakhir dari Dzat Tuhan, sebagaimana keyakinan Dr Soetomo.

Jika paham Wihdah al-Wujud menyakini bahwa seluruh alam semesta merupakan Wujud Tuhan, atau melalui Teori Emanasi, bahwa seluruh realitas alam semesta merupakan “Pancaran” dari Dzat Tuhan, maka keyakinan KH Mas Mansur tidak demikian. Paham Wihdah al-Wujud jelas menyakini jika Wujud Pertama yang diyakini sebagai Tuhan adalah “Benda” (Materi). Kemudian Materi itu berproses kembali menuju pada awal mula Wujud Pertama, yaitu kembali menjadi Tuhan yang asal.

Meskipun pandangan filosofis Dr Soetomo pernah juga dialami oleh beberapa filosof Muslim, sebut saja Muhammad Abduh, Ibnu Araby atau Farid Wadjdy, tetapi KH Mas Mansur memiliki argumentasi lain. Sama halnya ketika Dr Soetomo memiliki paham Wihdah al-Wujud, tetapi KH Mas Mansur menyatakan tidak sepakat dengan paham itu, karena menurutnya bertentangan dengan ajaran Islam. Menanggapi perbedaan paham Dr Soetomo tersebut, KH. Mas Mansur berprinsip: “Mereka laki-laki, saya pun laki-laki. Mereka mempunyai pikiran, saya pun mempunyai pikiran pula. Mereka merdeka dengan pikirannya, saya pun merdeka dengan pikiran saya.

Akal Itu Terbatas

Prinsip KH Mas Mansur ini sebenarnya terilhami dari salah seorang Imam Mazhab, Ahmad bin Hambal, yang pernah mempertahankan keyakinannya menghadapi serangan dari kelompok yang menganggap dirinya salah. Prinsip ini pun sebenarnya membuka peluang seluas-luasnya bagi “pintu ijtihad” bahwa setiap perbedaan pendapat (ikhtilaf) masih dapat ditolerir. Intinya, tidak ada pendapat yang merasa mendapat otoritas pembenaran tertinggi, karena setiap orang bisa berpendapat, khususnya untuk masalah-masalah yang bersifat aqliyyah.

KH Mas Mansur merasa bahwa dirinya pun merdeka berpendapat. Jika Dr Soetomo memiliki kemerdekaan berkeyakinan seperti paham Wihdah al-Wujud, maka KH Mas Mansur pun merasa memiliki kebebasan untuk berpendapat sesuai dengan keyakinannya pula. Bahkan, ia berargumentasi bahwa kemerdekaan berpikirnya lain dengan tipe kemerdekaan berpikir para filosof, seperti halnya keyakinan Dr Soetomo.

Baca Juga  Homo Religius: Apakah Beragama adalah Kodrat Manusia?

Tapi kemerdekaan saya terbatas, dan kemerdekaan mereka bebas tiada bertepi. Karena mereka terlalu membiarkan pikiran dan perasaannya bebas, hal yang kerap kejadian pada Ahli Filsafat sampai mereka lupa bahwa dilarang memikirkan Dzat Allah sedalam-dalamnya, sebab menyesatkan. Karena tidak ada yang tahu tentang Dzat-Nya kecuali Allah sendiri,” tulis KH Mas Mansur.

Khalik-makhluk

Tipe pemikiran KH Mas Mansur lebih condong ke arah pemikiran para Ulama Salaf yang cenderung deterministik. Dengan memposisikan diri sebagai manusia yang bebas berpikir, tetapi di sisi lain terdapat keyakinan yang membatasi kebebasan itu. Prinsip kebebasan, menurutnya, tidaklah bebas tanpa batas.

Pantaslah jika ia kemudian berseberangan dengan paham Wihdah al-Wujud sebagaimana pemikiran para filosof Muslim seperti Muhammad Abduh, Ibnu Araby, dan Farid Wadjdy. Pemikiran Dr Soetomo yang banyak dipengaruhi oleh para filosof terdahulu jelas lebih berlandaskan pada kebebasan berpikir yang sebebas-bebasnya. Tidak ada batasan dalam hal berpikir, karena kebebasan dalam filsafat itu.

Paham teologi KH Mas Mansur yang meyakini bahwa Tuhan adalah yang menciptakan seluruh alam semesta, termasuk manusia. Dengan demikian muncul struktur metafisika baru bahwa terdapat “Pencipta”, secara otomatis, mewajibkan adanya “makhluk” melalui proses penciptaan. Adapun Makhluk itu sendiri adalah Benda (Materi) yang diciptakan berasal dari “Ketiadaan” (‘Adam) menjadi “Ada” (Wujud), bukan berasal dari Dzat Tuhan yang hakiki.

Sikap Terhadap Wahyu

Munculnya struktur baru dalam sistem metafisika, yakni antara Pencipta dan Makhluk, mensyaratkan adanya perintah dan larangan kemudian menjadi asas bagi proses pengamalan (ritual). Sebab, struktur metafisis itu bersifat top down, yaitu melalui perintah dan larangan dalam Wahyu yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Keyakinan KH Mas Mansur itu kemudian mensyaratkan agar seluruh Makhluk tunduk dan taat menjalankan perintah Sang Pencipta.

Baca Juga  Ibnu Miskawaih dan Mazhab Annales: Punya Filosofi Sejarah yang Sama

Hal ini jelas lain dengan prinsip yang dipegang Dr Soetomo bahwa seluruh alam semesta pada hekekatnya merupakan manifestasi Dzat Tuhan, sehingga tidak ada syarat untuk terjadinya proses penghambaan diri (ta’abudiyyah). Justru yang terjadi, menurut Dr Soetomo, manusia harus mentransformasikan diri ke dalam realitas penciptaan lain (alam semesta beserta isinya) sebagai proses menyadarkan menifestasi Tuhan yang lain yang belum sadar. Hal ini sama persis seperti pendirian Dr Soetomo terhadap sesama manusia. Dia berkeyakinan bahwa: Aku = Dia, Dia = Aku.

Karena keyakinan KH Mas Mansur yang demikian, maka dia tidak mengabaikan perintah dan larangan sebagaimana tercantum dalam wahyu secara formal (syariat). Dia menjadi tunduk dan patuh kepada perintah dan larangan Sang Khalik melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Tidak seperti Dr Soetomo yang mengabaikan syariat dan lebih mengutamakan semedi mencari ketenangan hidup sendiri.

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *