Inspiring

Meneladani Semangat Membaca dari Dua Ulama Besar

3 Mins read

Bacalah!” merupakan wahyu pertama dari Tuhan kepada utusan terbaikNya di Gua Hira pada malam yang gigil di bulan suci Ramadan. Ayat ini merupakan seruan bagi umat Islam untuk membaca, merenungi, dan menghayati ciptaan Tuhan.

Sayyid Qutub menyebut alam raya ini sebagai al-Kitab al-Kauni (buku semesta). Buku ini dibuat dengan halaman-halaman yang indah, berwarna-warni, dengan isi yang menakjubkan sehingga menarik siapa saja yang ingin membacanya.

Membaca menjadi salah satu cara untuk menambah pengetahuan. Orang yang gemar membaca, berbagai tempat bisa dijadikan taman bacaan. Ia akan membaca di tengah kerumunan atau di saat berteman sepi. Di manapun bisa menjadi sekolahnya. Siapapun bisa dijadikan gurunya. Ke mana-mana ia akan senang membawa buku atau kitab untuk membaca. Sementara bagi orang yang tak suka membaca, dipaksa pun ia tak akan mau. Ia akan dibayangi tekanan dan dihalau siksaan.

Persoalan suka atau tidak suka dalam membaca, biasanya disebabkan berbagai faktor. Dan setiap orang pasti memiliki faktor yang berbeda, semisal lingkungan, diri sendiri, atau motivasi hidup.

Cara Belajar Imam Syafi’i

Dalam Diwan al-Imam asy-Syafi’iSilsilah al-Aimmah al-Mushawwarah al-Imam asy-Syafi’i (Jilid 2), Thariq Suwaidan mengutip kalam hikmah Imam Syafi’i:

“Siapa yang tak pernah merasakan pahitnya belajar walau sebentar, ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidup.”

“Siapa yang tidak belajar di masa mudanya, bertakbirlah untuknya 4 kali karena kematiannya.”

“Demi Allah, hakikat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa. Jika keduanya tidak ada, maka pribadinya tidak bernilai.”

Untuk memperoleh ilmu, seorang pelajar memang harus berkorban. Baik mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, maupun harta. Jika tak mau demikian, maka ia harus menerima hukuman seumur hidup: hina dan nestapa.

Baca Juga  Empat Jenis Ulama Menurut Quraish Shihab

Bahkan, Imam Syafi’i menganggap orang yang tak mau membaca atau belajar setara orang tak bernyawa. Perlu ditakbirkan 4 kali. Ini sebuah kiasan untuk menunjukkan makna salat jenazah. Demikian sia-sia hidup seorang pemuda jika malas membaca. Sebab malas membaca akan menjadikannya tak berilmu, dan orang tak berilmu takkan bernilai.

Sejak kecil, Imam Syafi’i sangat bersemangat belajar dengan cara membaca. Ulama besar kelahiran Palestina ini telah hafal Al-Qur’an saat berumur 7 tahun dan hafal al-Muwattha di usia ke-10.

Imam mazhab yang juga dikenal sebagai penyair ini telah belajar dari banyak guru. Dua ulama yang paling berpengaruh baginya adalah Sufyan bin Uyainah dan Imam Malik bin Anas.

Bagi Imam Syafi’i, bersabar dan hormat kepada guru adalah kunci kesuksesan. Seorang pelajar apabila melukai hati sang guru, berkah ilmunya akan tertutup, dan ia tidak akan mendapat manfaat melainkan hanya sedikit. 

Cara Belajar Syeikh Waliyullah ad-Dihlawi

Sebagaimana tertera dalam buku The Magnificent Seven: Ulama-Ulama Inspirator Zaman, Malik Madani menguraikan, Syeikh Waliyullah lahir pada tanggal 4 Syawal 1114 H atau 21 Februari 1703 M di Delhi atau Dihli, sehingga di belakang nama beliau tersemat ad-Dihlawi.

Pada usia 5 tahun, Syeikh ad-Dihlawi masuk pendidikan dasar. Pada usia ke-7, beliau telah mampu menghafal Al-Qur’an. Prestasi yang cukup memukau ini kemudian diikuti prestasi-prestasi beliau yang lain.

Saat menginjak usia 15 tahun, beliau semakin semangat membaca dan terus menambah pengetahuannya. Di usia itu, beliau tak hanya memperdalam ilmu hukum, tafsir, dan hadis, tetapi juga ilmu mantiq, filsafat, astronomi, kedokteran, dan matematika. Semua ilmu itu beliau kuasai untuk bekal mengajar di madrasah yang didirikan oleh ayahnya; Syeikh Abdurrahim.

Syeikh Abdurrahim, ayah beliau, merupakan ulama terkemuka pada masanya sekaligus murid kesayangan Syeikh Mirza Muhammad Zahid Hirawi (wafat 1111 H). Syeikh Abdurrahim juga menjadi salah satu anggota Tim Penyusun Fatawi Hindiyyah yang disusun atas perintah Raja Aurangzeb, Bahadur Alamgir (1618 – 1707 H).

Baca Juga  Kisah Kesuksesan Muhammad Ali Pasha Membangun Mesir Modern

Syeikh Abdurrahim dalam mendidik putranya tak hanya memperhatikan perkembangan intelektual dan pendidikan agama saja, tetapi juga menaruh perhatian besar terhadap perkembangan rohani, yaitu melalui tarekat. Dimana beliau saat itu menjadi pimpinan Tarekat Naqsyabandiyah. Setelah Syeikh Abdurrahim meninggal pada tahun 1131 H atau 1719 M, tanggung jawab di madrasah dan khanqah beliau di-handle oleh putranya; Syeikh Waliyullah ad-Dihlawi.

Syeikh ad-Dihlawi kemudian merantau ke Hijaz selama 14 bulan pada tahun 1143 H atau 1731 M. Di Hijaz beliau memperdalam ilmu hadis, fikih dan tasawuf.

Kisah hidup Syeikh Waliyullah ad-Dahlawi, begitu juga perjalanan hidup Imam Syafi’i dan ulama-ulama besar lainnya, menjadi cermin bagi kita bahwa untuk menjadi ulama besar butuh perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan untuk membaca, dan pengorbanan untuk berguru. Tidak instan, apalagi semudah membalikkan telapak tangan. Semuanya butuh proses dan tahapan demi tahapan.

Dari kisah membaca dua ulama besar ini, semoga menjadi pelecut semangat kita untuk tiada henti membaca hingga akhir hayat. Tradisi membaca beliau yang tentunya didapat dari para guru beliau, mudah-mudahan juga melekat pada diri kita, sehingga semangat membaca kita semakin berkobar.

Fathorrozi
5 posts

About author
Pendidik di Pondok Pesantren Nurul Qarnain Jember
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *