“Buku ini saya dasarkan atas al-Quran dan hadis sahih. Oleh karenanya, apabila terdapat kekeliruan supaya dibenarkan dengan dasar hadis yang sahih pula… Di samping itu, saya tidak berani menetapkan sesuatu dengan hukum tertentu, misalnya wajib, sunah, dan sebagainya. Tentang hal itu, saya serahkan sepenuhnya kepada pembaca.”
Kalimat di atas saya temukan dalam buku “Soal Jawab Yang Ringan-Ringan” karya AR Fakhruddin. Pak AR, begitu ia akrab disapa, adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1968-1990 yang dikenal ramah dan sederhana dalam berdakwah. Begitulah trade mark nakhoda Muhammadiyah terlama tersebut.
Judul “Soal Jawab Yang Ringan-Ringan” tidak berarti buku itu hanya berisi masalah-masalah ringan. Penjudulan demikian lebih menggambarkan kesederhanaan Pak AR dalam memecahkan persoalan agama tanpa menambah beban hidup umat. Tidak ada satu pun kalimat kasar, seperti bidah, sesat, atau kafir meluncur dari Pak AR. Pilihan diksinya lembut, susunan kalimatnya enak didengar.
Misalnya, ketika Pak AR menjawab persoalan-persoalan “rawan” seputar hukum memuliakan kuburan orang tua dengan membangun batu nisan. Pak AR memulai jawaban, “Sesungguhnya saya merasa berat hati menjawab pertanyaan di atas. Rasa berat hati saya itu karena nanti akan dikatakan: Wah kiranya yang tahu tentang agama, tentang hadis, seolah hanya Pak AR saja…”
Juga ketika menanggapi hukum sedekahan dan tahlilan. Pak AR menulis, “…kalau boleh saya berkata yang sebenarnya, mengadakan sedekahan ketika orang meninggal, kemudian berturut-turut pada hari ketiganya, ketujuhnya, keempat puluhnya, keseratusnya, dan keseribunya, itu bukan berasal dari agama Islam. Jelasnya, Allah tidak memerintahkan, begitu pula Rasulullah.”
Pelajaran penting yang dapat diambil adalah seorang mubalig, guru, ustaz, bahkan kiai harus mengatasi persoalan keseharian umat dengan bijaksana, tidak menggurui, apalagi menghakimi dan serba menyalahkan. Orang bilang, agama itu ibarat musik. Dengan kata lain, hidup seorang Muslim harus dipenuhi keindahan. Jiwa seorang Muslim mesti senantiasa damai dan tenteram.
Dakwah tidak boleh dilakukan dengan media atau cara menakutkan. Sebab, sikap demikian justru antitesa dari wajah Islam. Cinta adalah ruh Islam. Rasulullah, sebagai duta teladan Islam, adalah seorang maestro cinta. Cinta yang begitu dalam menyebabkan tidak setitik nila dari kebencian singgah di hati Rasulullah. Inilah kunci utama sukses dakwah Rasulullah.
Sayang, fakta di lapangan tidak seindah harapan. Tidak mudah menemukan juru dakwah yang justru bertolakbelakang dengan yang telah Rasulullah teladankan. Islam tidak diajarkan dengan bahasa cinta. Akibatnya, banyak pengajian, ceramah, tausiah, forum keagamaan, dan semisalnya, tidak mampu meneteskan embun kesejukan dan keramahan bagi jamaah.
Tidak gampang, memang, menghadirkan Islam sebagai sesuatu yang indah dan menenteramkan. Diperlukan juru dakwah yang benar-benar mampu memahami Islam secara paripurna. Juru dakwah dituntut mampu mengemas materi dakwah dengan dengan bahasa lugas, sederhana, dan bahkan mungkin kocak, sehingga menarik minat jamaah.
Banyak juru dakwah mampu menyampaikan ceramah dengan bahasa-bahasa akademis, tetapi gagal menerjemahkannya ke dalam bahasa yang mudah dicerap masyarakat awam. Sebaliknya, mudah menemukan juru dakwah yang cerdas menyampaikan ceramah-ceramah dengan bahasa awam, tetapi tidak fasih memformulasikan materi dakwah ke dalam bahasa akademis.
Malah ada juru dakwah yang mengubah wajah Islam menjadi kaku. Ia tiba-tiba menjelma “malaikat” yang gemar sekali melakukan penghakiman terhadap berbagai persoalan keagamaan di kalangan umat. Ia tidak mampu menjadi “keranjang sampah” yang menampung segala keluhan umat. Banyak persoalan hidup sehari-hari segera diberikan vonis hukum tanpa dipahami terlebih dahulu secara tuntas, sehingga dakwah yang disampaikan tidak membuat jamaah nyaman.
Sebagai ujung tombak penyebaran ajaran Islam, selaiknya juru dakwah menjadi representasi dari ajaran Islam yang penuh cinta dan rahmatan lil alamin. Masjid dan majelis taklim harus menjadi tempat-tempat yang memancarkan cinta, bukan malah dipenuhi acungan tangan mengepal atau mata yang merah menyala karena kemarahan.
Karena itu, dakwah harus disampaikan dengan penuh cinta. Itulah yang dicontohkan Rasulullah ketika menjawab pertanyaan seorang yang merasa banyak dosa dan tidak akan dapat mencicipi surga. Orang itu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa sebenarnya yang berhak masuk surga?” Dengan bahasa lembut Rasulullah menjawab, “Semua umat Islam masuk surga, kecuali mereka yang enggan.” Merasa masih ada yang mengganjal dalam hati, orang itu melanjutkan pertanyaan, “Siapa yang engkau maksud sebagai orang-orang yang enggan?” Jawab Rasulullah, “Yaitu barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasulullah, dia masuk surga. Dan barangsiapa yang berkhianat kepadaku, itulah orang-orang yang enggan.”
Jawaban Rasulullah itu terdengar amat sejuk. Riwayat itu membuktikan betapa Rasulullah benar-benar menggunakan bahasa cinta dalam dakwah. Beliau tidak serta merta memvonis si penanya sebagai calon penghuni neraka, meskipun beliau tahu betul bahwa yang sedang beliau hadapi saat itu adalah ahli maksiat.
Ya, tidak ada teknik khusus yang dijadikan sebagai patokan dalam berdakwah di zaman sekarang. Semua teknik bisa diterapkan. Yang harus diingat dengan baik, hakikat dakwah adalah mengajak umat mengamalkan ajaran Islam. Sementara Islam sendiri adalah agama kedamaian, ketenangan, dan kesejukan.
Editor: Yusuf