Bukan kebetulan jika karakter superhero Gundala punya kemiripan dengan Pak Habibie. Pada tahun 1969, komikus kawakan Indonesia, Harya Suryaminata alias Hasmi menciptakan tokoh bernama Gundala. Superhero ini adalah perubahan wujud seorang ilmuwan bernama Sancaka yang tekun meneliti serum anti-petir.
Era 1960an dunia sains sedang menapaki alas baru penelitian bioteknologi. Sains adalah pujangga baru kehidupan masyarakat modern. Persis, dalam suasana itu, kita bisa memahami nuansa kehadiran dua simbol dan figur kemajuan sains Indonesia. Kita punya Pak Habibie dan Gundala. Keduanya dihubungkan oleh imajinasi mengenai sains dan kebetulan yang tidak lazim tentang betapa pentingnya merintis riset biologi molekular.
Sebelum pulang ke Indonesia dan menjabat Menristek pada 1978, ia menulis On the integration method in elasto-plastic material under operational loads and plane stresses (1973). Riset ini banyak dikutip berkaitan dengan pengembangan teori termodinamika dan aerodinamika.
Selain itu, Pak Habibie mempelajari bagaimana negara-negara berkembang mampu mencapai jalan transformasi industri yang lebih baik. Jelas, bahwa tujuan Pak Habibie memastikan sains menjadi kebaikan bagi umat manusia. Itu adalah impian yang berakar pada manusia abad 20.
Begitu pula dengan Sancaka, tokoh fiktif karya Hasmi yang terpukau dengan betapa sentralnya sains dan hidup berlatar kota Yogyakarta, tempat kelahiran ibunda Pak Habibie. Sama seperti Pak Habibie, tokoh Sancaka juga pintar memecahkan masalah pelik. Dalam pengembangan karakter versi film ala Joko Anwar, Sancaka bertransformasi menjadi tokoh penyelamat demokrasi dari campur tangan monopoli dagang konglomerat licik Pengkor. Kita semua tahu, Pak Habibie adalah aktor penting penyelamat demokrasi, sekaligus memutus rantai monopoli bisnis yang telah menyebabkan Indonesia jatuh ke dalam krisis moneter.
Seorang Superhero
Tokoh di dunia nyata memang punya hubungan dengan karakter fiktif superhero. Kebanyakan tokoh fiktif pahlawan digambarkan sebagai seseorang yang terdorong untuk menyelamatkan bumi dan manusia. Mereka seringkali berasal dari orang-orang biasa, jurnalis, milyuner cum insinyur otodidak, hingga alien. Tokoh pahlawan seringkali ditampilkan berhadapan dengan dua hal, politikus licik dan mafia kartel. Kendati pasti mengandung upaya superlatif, kita bisa menimbang karakter fiktif superhero sebagai harapan menciptakan dunia lebih baik.
Ada di setiap benak pecinta tokoh, bahwa figur yang diidamkan akan melawan semua kebatilan di muka bumi. Kita juga bisa menimbang karakter fiktif selalu hadir dengan semangat zaman yang serupa dengan para figur nyata yang sama-sama muncul untuk menciptakan perdamaian. Banyak orang yang menyangka bahwa rata-rata karakter superhero mewakili kelompok republikan atau seorang demokrat yang progresif. Bahkan tokoh Green Arrow secara langsung dapat diidentifikasi sebagai seorang penganut anarkisme dan marxisme ketika pertama kali ditampilkan pada tahun 1941.
Kita bisa melihat dengan jelas tatkala figur pahlawan fiktif tadi ditampilkan ulang dalam suasana masyarakat sipil. Para hero tadi menerima misi melaksanakan tanggungjawab kewargaan dan semacam tindakan politik internasionalisme. Mereka adalah imajinasi perlawanan terhadap korupsi, konglomerat rakus, militerisme yang menindas HAM (yang biasanya digambarkan ke dalam bentuk invasi kelompok bersenjata), dan problem laten konsep negara-bangsa yang menyebabkan banyak ras minor atau imigran terombang ambing sebagai homo sacer.
Pak Habibie dalam hal ini melakukan semuanya, persis sebagaimana imajinasi kita pada seorang hero fiktif. Pak Habibie bukan cuma melakukan pembaruan demokrasi atau memajukan agenda riset, tapi juga berperan dalam mengembalikan martabat kelompok minoritas. Pada masa Pak Habibie, larangan penggunaan huruf mandarin dihapus. Ia berupaya melawan kroni-kroni Orde Baru yang kecewa pada keputusannya untuk memberi opsi merdeka bagi orang-orang Timor Timur. Tekanan politik maupun kemungkinan makar tentara juga sempat mengancam dirinya pada detik-detik penentuan kabinet.
Tindakan Heroik
Apa yang dibutuhkan dari seorang pemimpin adalah tindakan heroik. Pak Habibie menjabat presiden dalam waktu singkat, tapi ia akan dikenang selamanya. Ia akan dikenang karena menjadi teladan dalam mereformasi demokrasi. Generasi muda di Indonesia menganggap ia sebagai panutan dalam bidang sains, kendati propaganda yang berbau ultra-nasionalistik menuding Pak Habibie gagal mempertahankan Timor Timur. Tapi itu tidak pernah menukar kekaguman generasi muda pada kecemerlangan Pak Habibie.
Memang tidak semua pernah bertemu langsung Pak Habibie. Tapi semua orang paham bahwa pria kelahiran tahun 1936 ini merupakan hero. Banyak generasi muda yang membayangkan dirinya suatu saat menciptakan Gatotkaca-nya masing-masing. Mereka punya imajinasi betapa luar biasanya N250 itu sebagai bukti kesaktian pikiran dan tindakan Pak Habibie.
Kalau ada yang mengatakan amatlah berlebihan menginterpretasi kerja figur nyata melalui kisah-kisah fiksi, maka kenapa ada yang sampai menganggap pentingnya karakter Black Captain America atau Soviet Superman. Mengapa juga harus repot-repot memasukkan kisah-kisah imigran, buruh, atau orang-orang pinggiran ke dalam kisah-kisah hiperrealitas itu? Mengapa juga perlu mempertontonkan secara gamblang aspirasi-aspirasi feminisme?
Segala yang berhubungan dengan penindasan di dunia nyata punya bentuk lain di dalam fiksi. Dalam salah satu kisah Superman yang berjudul How Superman Would Win the War (1941), menampilkan adegan manusia baja itu mengangkut Hitler dan Joseph Stalin. Saat mencengkeram Hitler, superman berkata, “aku ingin naruh kaos kaki yang non-aryan beneran ke rahangmu”. Banyak simpatisan Nazi yang mengecam figur fiktif manusia super itu. Belajar dari Superman, figur ini memang lahir dari perdebatan politik dunia.
Sancaka Gundala
Sancaka Gundala pun tidak bisa dianggap tanpa merepresentasikan siapa dan apa dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia. Sebagai kisah komik, Gundala sudah mengalami dua kali adaptasi. Pertama pada versi film tahun 1981, kedua adalah garapan Joko Anwar tahun 2019.
Sekalipun ada perbedaan besar dalam alur cerita, kedua adaptasi komik itu bersepakat bahwa si Gundala menghadapi musuh yang serupa, yakni konglomerat licik yang berhasil memperoleh dukungan politik. Kelihatan jelas pada adaptasi film 2019, bahwa Sancaka beraliran politik kiri. Dia tumbuh besar dari dendam kematian ayahnya, seorang pekerja pabrik yang mati karena menuntut hak buruh. Dia hidup dikelilingi aktivis akar rumput yang menghadapi mafia.
Persis ketika Pak Habibie membacakan agenda politiknya sebagai presiden baru, ia mengatakan akan memberantas semua praktik ekonomi monopoli dan akan membebaskan semua tahanan politik Orde Baru. Figur nyata dan fiktir dipertemukan oleh semangat yang sama, memproteksi kehidupan manusia dan alam semesta.
Ketika mengenang seorang bijak yang telah berjasa bagi masyarakat dan zamannya, saya suka mengutip Hannah Arendt, das Licht der Offentlichkeit verdunkelt alles.Cahaya orang-orang yang sudah tiada akan terus dibutuhkan dalam menerangi masa-masa suram. Pak Habibie memang telah tiada hari ini, tapi ia akan menjadi pahlawan sebagai imajinasi yang akan terus hidup. Ia sama seperti Gundala, sains dan kemanusiaan-lah yang utama.