Hendra Hari Wahyudi dalam tulisan di IBtimes tanggal 10 Januari 2021 menyebut KH Ahmad Dahlan sebagai sosok radikal. Radikal yang ia maksud adalah singkatan dari rajin, terdidik, dan berakal, bukan radikal dalam konotasi negatif. Kurang lebih demikianlah kita mengenal KH Ahmad Dahlan yang dengan kreativitas, kemauan, dan ringan kakinya membangun persyarikatan ini.Â
Disadari atau tidak spirit KH Ahmad Dahlan itulah yang membuat Muhammadiyah menjadi organisasi yang punya sumbangsih nyata. Semangat filantropi, bekerja untuk membangun, dan keinginan untuk berbuat kebajikan melahirkan berbagai amal usaha yang berguna. Muhammadiyah besar selama ini karena amal sosialnya, termasuk dalam penanganan Covid-19. Sudah barang tentu, amal usaha itu bukan hanya urusan material, tetapi usaha mencerahkan melalui pengajian hingga forum kajian.
Di belakang banyak kerja persyarikatan itu, terdapat sosok-sosok pengikut KH Ahmad Dahlan. Dalam skala luas, nama mereka tidak tercatat sebagai pakar, ulama atau tokoh besar Persyarikatan. Mereka bahkan tidak disebut profesor, kiai, ajengan, atau ustadh. Sebutan mereka hanya “Pak”, sebagaimana lazimnya kita memanggil orang dengan sebutan penghormatan umum.
Namun, nadi persyarikatan hidup bersama amal-amal mereka. Di panggung-panggung para Ustadh mereka mungkin berada di pinggir atau di belakang pusat. Tetapi kegiatan pengajian itu berlangsung karena ketekunan mereka menyelenggarakan dan menyiapkan acara.
Potret Pak Suroto
Namanya Suroto. Nama Jawa sederhana, bukan nama yang kental simbol santrinya. Banyak di Jawa Tengah warga persyarikatan punya nama lokal demikian, hingga ada yang ditolak masuk sebagai anggota MUI lokal karena namanya bukan Ahmad, Saiful, Syafii atau Yahya. Namun urusan semangat Islam dan berjuang, nama Suroto mungkin tidak kalah dengan nama-nama yang sangat kental santrinya.
Pak Roto ini seorang pensiunan. Usianya sudah 70 tahunan. Semenjak pegawai sudah malang melintang mengurus Pimpinan Cabang hingga pengajian warga persyarikatan yang tanpa bendera persyarikatan. Perannya selalu sebagai penyelenggara kegiatan: menjadwal Ustadz, menyiapkan tempat dan alat, mengundang jamaah, memfasilitasi pengajian hingga urusan pasca pengajian.
Pak Roto bukan penceramah, tetapi selalu mendampingi penceramah. Ia bukan pula sosok imam dengan suara ala muazzin, tetapi ia rutin menyelenggarakan shalat tarawih ala Muhammadiyah di sebuah mushola kecil PTM. Jika ada Ustadz yang datang, beliau menjadi makmum saja. Tetapi dengan jamaah yang sedikit karena lokasi tidak di tengah pemukiman, tidak banyak ustadz yang mau shalat tarawih di situ. Pak Roto pun turun tangan menjadi imam dan mengundang anak-anak mahasiswa PTM agar turut shalat dan tadarus. Ia berpikir bahwa jamaah tarawih itu harus dipertahankan karena ada warga Persyarikatan yang suka untuk shalat di situ, meski jumlahnya tidak seberapa.
Pak Roto juga bersemangat dalam penyelenggaraan shalat Idul Adha atau Idul Fitri PCM yang rutin diselenggarakan di halaman sebuah ruko. Tentu itu kerja bersama para pimpinan PCM, tetapi semangat menyelenggarakan kegiatan rutin PCM itu bagian dari passion Pak Roto. Peran Pak Roto tidak terbatas dalam urusan pengajian, termasuk dalam kegiatan PCM lain. Di sini, cukuplah amal-amal pengajian dan agama sebagai contoh bagaimana nadi persyarikatan hidup bersama orang-orang yang hidup dengan panggilan ala Ahmad Dahlan itu.
Sosok Pak Anas Hamzah
Ada lagi sosok Anas Hamzah, seorang pensiunan. Meski aktif di Muhammadiyah agak kemudian, tetapi passion-nya untuk beramal sulit ditandingi oleh yang muda-muda. Ia menjadi ketua PCM di usia yang sudah matang.
Energinya tidak seperti orang sepuh. Ia sosok praktisi yang tidak pandai berdiskusi atau menerangkan masalah secara tertib rapi ala perencana. Ia kerjakan langsung apa yang harus dikerjakan. Saat ada informasi penjualan Majalah Suara Muhammadiyah, langsung diinfokan pada jamaah dan mendata siapa saja yang mau berlangganan. Beliau sendiri yang awalnya hingga beberapa bulan menerima dan mendistribusikan majalah itu sampai ke rumah-rumah.
Untuk urusan kegiatan. Beliau tidak pernah merasa harus diperlakukan sebagai bos atau pemimpin tertinggi. Saat ada Majelis punya program langsung saja didukung. Majelis pengembangan ranting ingin mencoba inisiasi pengajian di warga, selalu beliau siap untuk hadir kapan pun waktunya. Rasanya hampir tidak ada jawaban: “Tidak” untuk kegiatan PCM.
Cita-citanya membangun pesantren tahfid Muhammadiyah di PCM. Meskipun bukan ustadz, bukan akademisi, dan bukan penceramah tetapi gairahnya sangat tinggi. Urusan surat menyurat dan proposal kadang ia kerjakan sendiri, bahkan dengan mendatangi rumah panitia lain untuk minta stempel atau tanda tangan. Ia hubungi siapa pun yang perlu untuk mencari dana. Panitia didukung sepenuhnya sehingga jarang absen untuk rapat-rapat, kecuali saat sakit ada keperluan sangat mendesak.
Energi Pak Anas ini menjadi inspirasi bagi yang lain. Perlahan tapi pasti PCM semakin bergairah. Ranting-ranting baru terbentuk, termasuk embrio MDMC atas inisiatif warga Persyarikatan, hingga sistem penggalangan dana lewat kaleng dari rumah ke rumah. Orang merasa nyaman dan terdorong turut aktif dengan sosok Pak Anas yang hadir dan menginspirasi dengan energinya itu.
Pewaris Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan adalah sosok penggagas, pengabdi dan pekerja. Ia menggagas sekolah agama yang mengajarkan ilmu umum. Itu ia wujudkan di rumahnya sendiri, ia ajar sendiri dan ia biayai penyiapan sarananya.
Tetapi Dahlan sadar amal jamai (kerja dalam organisasi) adalah jalan untuk membangun masyarakatnya. Itulah di antara warisan dari spirit Ahmad Dahlan.
Warisan Ahmad Dahlan bisa dilihat pada sosok-sosok seperti Pak Roto dan Pak Anas, yang bisa ditemui di ranting, di cabang, di daerah, di wilayah hingga di pusat. Sosok-sosok demikian tampil karena panggilan hati. Kerja di Persyarikatan adalah suatu pilihan. Mereka bukan tenaga profesional karena untuk disebut profesional berarti mendapatkan gaji dan fasilitas dengan kerja yang telah ditentukan. Faktanya kerja mereka adalah “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah!”
Organisasi mana pun akan selalu hidup dengan orang-orang yang bekerja menyelaraskan dan menjaga detaknya. Orang-orang itu mungkin tidak tampak menonjol, tetapi kehadirannya menjadi detak jantung persyarikatan bergerak. Detak jantung itu penting, meski acapkali kita tidak berkesempatan untuk benar-benar memperhatikannya, kecuali saat ada masalah.
Secara umum, kita senang untuk melihat flagship, atau sosok yang bisa menjadi bendera untuk dijunjung bersama. Kita butuh flagship agar kita bisa terwakili tinggi sesuai dengan kemampuan flagship itu berkibar sehingga pemeran-pemeran utama yang umumnya ditonjolkan.
Tak Nampak tapi Bermanfaat
Namun, kehidupan sehari-hari organisasi berjalan dengan Bapak-Bapak atau Ibu-Ibu yang tampak rata-rata itu. Organisasi berjalan oleh orang-orang yang memelihara detak kehidupan organisasi dari waktu ke waktu. Banyak dari mereka telah selesai dengan diri mereka sendiri sehingga balasan materi atau immateri tidak terpikirkan untuk dicari. Terlebih, dalam praktiknya tidak ada penghargaan resmi atau ucapan terima kasih bagi mereka di Persyarikatan.
Itulah takdir para pewaris Ahmad Dahlan itu. Mereka bekerja dengan panggilan jiwanya untuk suatu gagasan yang lebih besar. Karena tidak merasa bekerja untuk siapa pun, kecuali untuk umat dan panggilan hatinya, maka mereka menjadi manusia bebas, yang bebas dari pikiran tentang penghargaan apa yang bakal mereka peroleh. Yang pasti, catatan amal manusia tidak akan hilang hingga akhir masa.