Tahadduts Binnikmah Tapi Hakikatnya Riya’
Belakangan ini pikiran saya agak berontak. Bukan karena kebijakan pemerintah, statemen kontroversial dari seorang pejabat, maupun beragam kejadian viral di Media Sosial.
Kejadian ini sebenarnya setiap hari kita alami dan kita lihat berlalu lalang di berbagai platform media sosial baik di fitur status, snap, story, maupun tweet.
Ya, betapa orang-orang yang dengan mudahnya ‘memamerkan’ makanan di media sosial, mulai dari ibu-ibu selesai masak kemudian upload di status Whatsapp dengan caption “menu masakan hari ini Bunnnn”. Ada juga santri putri yang upload menu makanan ke status Facebook dengan caption“hasil latihan masak resep keluarga dengan ibu tercinta”.
Sering juga kita temui pemuda-pemudi yang lagi eksis di restoran maupun cafe, cekrak-cekrek berlatar makanannya kemudian upload di snapgram sambil menulis “malming ngopi di kafe A, restoran B”. Dan masih banyak lagi postingan dengan menampilkan makanan (mengecualikan iklan makanan).
Lalu, apa yang menjadi masalah dari aktivitas media sosial sebagian orang di atas?
Bagi banyak orang, sebenarya hal di atas merupakan perkara yang lumrah dilakukan. Namun hal itu bisa menyakiti bagi sebagian kecil orang. Dan sebagian kecil orang itu adalah mereka yang kebetulan lagi mengalami kesulitan memperoleh makanan walaupun itu sesuap nasi.
Mari kita renungkan, bayangkan saja posisi kita berada pada orang yang mengalami kesulitan memperoleh makanan tadi. Di saat keadaan lagi lapar, merintih menahan perut yang perih, hanya bisa memandang makanan yang di-upload oleh teman-teman kita di media sosial tadi, dan tidak bisa memilikinya. Betapa ‘nelongsonya’ kita.
Kita hanya bisa turut mensyukuri atas nikmat yang diberikan teman kita. Itupun jika hati kita lagi bersih. Bila sebaliknya, pasti kita bisa su’udzon, iri, dan dengki.
Kemungkinan hal seperti itulah yang dialami dan yang ada dipikiran orang-orang yang kebetulan melihat makanan yang kita upload.
***
Loh! ya tidak bisa dong, bukannya itu termasuk tahadduts binnikmah?
Ya tidak lah! Tahadduts binnikmah kok hampir setiap hari. Seyogyanya jangan berselimut dengan tahadduts binnikmah yang membuatmu dengan bebas upload makanan. Ditambah lagi antara tahadduts binnikmah dan riya’ itu tipis banget perbedaanya. Salah niat sedikit aja sudah beda urusanya.
Jika ingin tahadduts binnikmah bisa dengan menunjukkan kenikmatan lain. Seperti foto-foto tamasya, olahraga, ataupun silaturahmi bersama keluarga. Itu kan juga termasuk kenikmatan.
Soalnya, makanan ini kebutuhan bersifat primer dan terus menerus harus terpenuhi. Jika sehari saja tidak terpenuhi sudah luar biasa susahnya.
Maka kita jaga perasaan mereka orang yang kebetulan sedang apes, tidak mampu untuk membeli makan. Atau istilah jawanya ‘tepo seliro’.
Saking sensitifnya makanan ini, Syekh Zarnuji dalam kitab Ta’lim-nya sampai mencegah para penuntut ilmu mengonsumsi makanan pasar.
Selain alasan kebersihanya tidak terjamin dan jauhnya makanan dari do’a-do’a kalimat suci, Syekh Zarnuji juga memasukan alasan karena apes-nya orang fakir yang tidak mampu membeli makanan yang ada di pasar dan hanya bisa memandanginya saja. (keterangan lebih lanjut baca kitab Ta’limul Muta’alim bab wira’i)
Karena alasan apes-nya orang fakir ini dalam pembahasan lebih lanjut para penuntut ilmu juga dicegah untuk mengonsumsi makanan di tempat yang kelihatan mencolok di keramaian umum.
Maka dari itu, mari kita amalkan apa yang telah diajarkan pendahulu kita untuk ‘tepo seliro’ menjaga perasaan orang lain. Mulai dari hal kecil, seperti yang diuraikan di atas.
Bisa saja, hal yang menurut kita sepele, malah menimbulkan sakit hati kesebagian kecil orang. Boleh kita bebas berekpsresi dengan media kita, tapi adab dan tatakrama lebih utama!