Perspektif

Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Humanisme-Teosentris

3 Mins read

Mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup, peran BPUPKI sangat penting untuk dibahas. Menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, para anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai Rajiman Wedyodiningrat menggelar beberapa persidangan yang nantinya akan menjadi fondasi utama bagi negeri ini. Salah satu agenda utamanya yaitu pembentukan dasar negara sebagai phylosophi groundslagh bagi sebuah rumah bernama Indonesia.

Saat itulah lahir istilah Pancasila di kalangan elit negeri setelah melalui beberapa agenda pidato dari beberapa tokoh. Di antara mereka ialah Soepomo, Moh. Yamin, dan Soekarno. Namun, secara resmi Pancasila disahkan pada 18 Agustus 1945 dengan sila-sila sebagaimana yang kita kenal saat ini.

Pancasila lahir di rumah bersalin yang kaya akan perbedaan paham dan ideologi. Saat itu merupakan fase yang dikenal sebagai fase ideologis, menurut Kuntowijoyo. Di mana setiap individu dan kelompok tertentu mengasosiasikan dirinya pada sebuah sistem paham atau ideologi yang dianut, semisal komunisme, sosialisme, nasionalisme atau ideologi Islam.

Oleh sebab itu, Pancasila merupakan rumusan ideologis yang kuat, baik secara konseptual maupun dalam eksistensinya sebagai rumusan yang menjiwai bangunan bangsa.

Kekuatan Pancasila terletak pada sila-silanya yang disusun dari berbagai perwakilan suku bangsa, yang memiliki pribadi kuat pula. Baik kekuatan dalam pandangan hidup (worldview), pengetahuan dan aktualisasinya di lapangan. Pancasila lahir dengan pertimbangan sosio-kultural bangsa Indoneisa itu sendiri sehingga disebut sebagai ideologi terbuka (tidak dipaksakan).

Jika diteliti dari beberapa sudut pandang, Pancasila memiliki kelebihan-kelebihan yang jika dihayati dan diamalkan tentu akan bernilai sangat tinggi. 

Pancasila Sebagai Pandangan Hidup dan Ideologi

Dalam sebuah acara di staisun televisi, Rocky Gerung bersama Budiman Sujatmiko saling mempertahankan argumennya masing-masing terkait status ideologi bagi Pancasila.  Rocky bertanya “Sejak kapan Pancasila disebut sebagai ideologi?”. Sebuah pertanyaan kritis yang harus dijawab. Rocky berpendapat bahwa tidak ada sejarahnya Pancasila disebut sebagai ideologi. Soekarno hanya bilang, lanjut Rocky, Pancasila itu sebagai phylosophi groundslagh, adapun Soeharto menyebut Pancasila sebagai sebuah asas.

Baca Juga  Melihat Pancasila di Pakelan: Sepenggal Kisah Merayakan Iduadha Bersama Non-Muslim

Kaelan (2004), seorang doktor filsafat bahasa UGM dalam bukunya Pendidikan Pancasila, mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila menjadi sebuah sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan (belief system). 

Dengan mengutip pendapat Ruslam Abdulghani (1986), Kaelan mengatakan bahwa dalam konteks tersebut Pancasila telah menjelma menjadi sebuah ideologi. Kemudian ia menyebutkan alasan mengapa Pancasila disebut sebagai ideologi dengan mempertimbangkan pandapat Wibisono (1996) bahwa Pancasila memiliki unsur pokok untuk disebut sebagai ideologi. Unsur pokok tersebut yaitu pertama, logos (rasionalitas atau penalaran); kedua, pathos (penghayatan) dan ketiga, ethos (kesusilaan) yang terdapat dalam tubuh Pancasila. 

Peran Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa ialah untuk menjiwai sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Ia adalah pandangan hidup bangsa yang akan menjiwai keadaan, sikap dan tindakan setiap individu atau masyarakat yang mengamalkannya. Dalam kehadirannya, Pancasila telah memenuhi unsur-unsur agar disebut sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa.

Idelogi Humanisme Theosentris

Notonagoro (dalam Kaelan, 2004) menyebut bahwa secara ontologis, Pancasila mendasarkan pada landasan sila-silanya yaitu : Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat dan Adil. Berdasarkan hal tersebut, Pancasila memiliki hierarki yang berpangkal pada Tuhan (sila pertama) dan berakhir untuk manusia (sila ke lima). Hal tersebut memperjelas kedudukan Pancasila yang bukan merupakan ideologi teokrasi atau anarki dalam konseptual dan praktiknya.

Pancasila lebih dekat pada sebuah ideologi humanisme-teosentris dalam konsep dan praktiknya. Hendar Riyadi (2019) penulis buku Nalar Islam Dialogis,Melalui Pembacaan Narasi Islam Wahabi dan Muhammadiyah, mendefinisikan bahwa ideologi humanisme-teosentris merupakan ideologi yang berpusat pada Tuhan, tetapi tujuan akhirnya untuk kepentingan manusia.

Baca Juga  Perayaan Tahun Baru: di Negara Teluk Euforia, di Indonesia Haram!

Hal tersebut terkuak dalam sila-sila yang disusun secara piramidal. Sebab itu, Pancasila memiliki karakter moderat atau tengahan (wasathiyah). Karakter moderat tersebut menegaskan bahwa Pancasila tidak condong pada paham teosentrisme (berpusat pada Tuhan) atau humanisme (berpusat pada manusia), tetapi berada di antara keduannya (in between).

Pancasila menegaskan bahwa negara Indonesia bukan negara teokrasi yang menjadikan ideologi berbasiskan ketuhanan (baca:agama). Konsekuensinya berarti siapapun yang berada di bawah naungan negara Republik Indonesia tidak elok bila ingin menarik Indonesia menuju negara agama. Hubungan agama dan negara di negara Pancasila merupakan hubungan mutualistis yang saling mengisi satu sama lain.

Sebagai ideologi humanisme-teosentris, Pancasila sangat relevan dan menjadi kearifan lokal (local wisdom) bangsa Indonesia. Kearifan lokal Pancasila tersebut tercermin dalam sistem filsafat, pengetahuan dan etika yang dibangunnya. Pancasila merupakan representasi dari realitas individu, masyarakat dan bangsa Indonesia itu sendiri sebagai kausa materialisnya.

Editor: Shidqi Mukhtasor

10 posts

About author
Penulis adalah Ketua Bidang Riset Pengembangan Keilmuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Bandung Timur dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Sains Fisika (HIMASAIFI) UIN Bandung.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds