Perspektif

Tips Agar Tidak Jadi Beban Hidup Orang Lain

4 Mins read

Kalau bicara soal beban, siapa saja bisa menjadi beban. Anak adalah beban untuk orangtuanya. Orangtua pun bisa menjadi beban untuk anak. Murid adalah beban untuk gurunya. Guru juga bisa jadi beban untuk murid-muridnya. Poinnya adalah, jangan hanya fokus pada beban itu, tapi lihat pula kebermanfaatan dari perannya. Inilah siklus hidup yang sangat manusiawi.

Orang-orang toxic itu tersebar di mana-mana. Mereka yang terbiasa dengan tabiat menyalahkan orang lain atas setiap masalah. Sehingga dari mulutnya muncul istilah “kamu jadi beban”. Tapi jangan sampai penilaian mereka itu membuat kamu putus asa dan menganggap diri sendiri benar-benar sebagai beban yang memberatkan. Ingatlah pada orang-orang yang mencintaimu, yang akan sangat bersedih kalau kamu memilih putus asa. Balaslah ucapan mereka dengan memberi manfaat seluas-luasnya pada kehidupan.

Bila dirasa perlu untuk berpisah, menjauh dari majikan toxic yang suka menekan. Maka, cari bos baru atau cari kos sendiri misalnya. Mungkin ini jalan terbaik. Belajarlah menjadi orang mandiri dengan ngekos sendiri, agar bisa memikirkan konsumsi sendiri, bangun sendiri, hingga mengatur pola hidup sendiri secara umum.

Bukankah Rasulullah juga berhijrah, ingin keluar dari tekanan kaum kafir Quraisy? (Qs. Al-Ankabut: 56) Allah berfirman bahwa bumi ini luas. Dengan ayat-ayat ini Allah memotivasi kepada hamba-hamba-Nya agar berhijrah dari suatu negeri yang dzalim menuju negeri lain yang kita dapat lebih leluasa, mandiri, beribadah dan menegakkan agama kepada-Nya,

Cari jalan agar mandiri ekonomi. Misalnya, menjadi pencari kayu bakar. Dengan tenaga sendiri, mengampaki kayu, menggulung, dan memikul. Lalu dijualnya sendiri ke pasar. Jadilah uang, dan mulailah kita hidup mandiri. Kalau toh ada kekurangan, ataupun soatl cukup atau tidak cukup, ya dicukup-cukupkan sajalah. Bismillahirahmanirrahim. Komputer Allah tentu lebih canggih hitungan-Nya, dan Allah tentu akan memberi jalan keluar.

Utsman bin Affan dan Maula-nya

Dari Ibnu Abbas  Qs.An-Nahl 76) : Dan Allah membuat (pula) perumpamaan dua orang lelaki yang seorang bisu. sampai dengan firman-Nya: Dan dia  berada pula pada jalan yang lurus (An-Nahl: 76)  Bahwa dia adalah Utsman bin Affan. Sedangkan orang yang bisu, yang bila disuruh oleh penanggungnya ke mana saja dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan, dia adalah Maula (bekas budak) Utsman ibnu Affan.

Baca Juga  Pokoknya, Menolak Damai dengan Korona!

Utsman bin Affan-lah yang memberinya nafkah, menjamin penghidupannya, dan mencukupi kebutuhannya; sedangkan al-Maula (orang yang ditanggungnya) itu tidak suka kepada Islam, menolaknya, dan melarang Utsman bin Affan bersedekah dan berbuat kebajikan, maka turunlah ayat ini.

Hikmah yang bisa diambil, bahwa majikan menanggung beban hidup al-Maulanya, walaupun dia buta, sudah jompo, dan lemah karena dulu sudah pernah memberinya manfaat, mengabdikan dirinya, mempekerjakan dirinya. Utsman memberi semacam jasa pensiun kepada al-Maula-nya. Walaupun ada jarak batin antara tuan dan budaknya, di mana sang budak tidak beriman, tidak menyukai tuannya berbanyak sedekah karena perbedaan prinsip keimanan.

Mencari Pekerjaan Halal walaupun harus Pakai Tenaga Kasar

انْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُول

Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung” (HR. Bukhari no. 2075, Muslim no. 1042).

Rasulullah memerintahkan mencari kayu bakar di hutan, lalu menjualnya sendiri ke pasar. Hasil dari keringat sendiri akan membawa perubahan pada sikap untuk suka bekerja keras.

Larangan Meminta-minta

Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam melarang untuk jadi peminta-minta. Rasulullah mengutuk para peminta-minta. Beliau bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

 “Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya” (HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040 ).

Memang, dalam surat Ad-Duha ayat 10  (dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah menghardiknya). Orang yang mampu tidak boleh menghardik para peminta-minta. Itu pasal yang lain. Inilah hukuman bawa orang yang tidak punya harga diri, yang hidupnya suka meminta-minta.

An-Nawawi menjelaskan:

Baca Juga  Wahai Pengurus Masjid, Segera "Lockdown" Masjidmu!

أَصْحَابُنَا فِي مَسْأَلَةِ الْقَادِرِ عَلَى الْكَسْبِ عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا أَنَّهَا حَرَامٌ لِظَاهِرِ الْأَحَادِيثِ وَالثَّانِي حَلَالٌ مَعَ الْكَرَاهَةِ بِثَلَاثِ شُرُوطٍ أَنْ لَا يُذِلَّ نَفْسَهُ وَلَا يُلِحَّ فِي السُّؤَالِ وَلَا يُؤْذِيَ المسؤول فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الشُّرُوطِ فَهِيَ حَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

 “Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja, dalam dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat, hukumnya haram, berdasarkan zahir hadits-hadits yang ada. Pendapat yang kedua, hukumnya boleh namun disertai kemakruhan, jika memenuhi tiga syarat: [1] tidak menghinakan dirinya, [2] tidak memaksa ketika meminta, dan [3] tidak memberikan gangguan kepada orang yang dimintai. Jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka hukumnya menjadi haram dengan sepakat ulama. Wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim, 7/127).

Mengubah Nasib Sendiri

(QS.Ar-Ra’du: 11): bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikuti bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum. Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Ayat ini digunakan sebagai ayat motivasi bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik kecuali dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Benarkah demikian?

Bagi setiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dari arah muka dan belakang yang disebut Malaikat Hafazhah. Dan ada pula Malaikat yang mencatat amalan-amalannya di-sisi kanan-kiri kita. Yaitu Malaikat Aqib-Raqib. Para Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu. Ada malaikat yang bekerja siang hari (malaikat An-Nahr) dan ada Malaikat yang piket malam (Malaikatul  Lail).

Menurut At-Thabari, maksud ayat ini justru menjelaskan bahwa semua orang itu dalam kebaikan dan kenikmatan. Allah tidak akan mengubah kenikmatan-kenikmatan seseorang kecuali mereka mengubah kenikmatan menjadi keburukan sebab perilakunya sendiri dengan bersikap zalim dan saling bermusuhan kepada saudaranya sendiri. Bukan perintah untuk mengubah secara struktur dan sistemik melainkan karena sikap dzalim permusuhan manusia yang suka menambah dan mengurangi perintah Allah

يقول تعالى ذكره: (إن الله لا يغير ما بقوم)، من عافية ونعمة، فيزيل ذلك عنهم ويهلكهم = (حتى يغيروا ما بأنفسهم) من ذلك بظلم بعضهم بعضًا، واعتداء بعضهم على بعض،  

Baca Juga  Jejak-jejak Khulafaurrasyidin (1): Estafet Fungsi Risalah dan Imamah

 “(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum) yang berupa sehat sejahtera dan penuh kenikmatan kemudian kenikmatan itu menjadi dibuang dan dirusak oleh Allah, (sampai mereka mengubah sesuatu yang ada para pribadi mereka) yaitu dengan sikap dzalim antar sesama dan permusuhan terhadap orang lain” (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qu’an, [Muassasah ar-Risalah: 2000], juz 16, hlm. 382).

***

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:  

قَوْلُهُ تَعَالَى: (إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ) أَخْبَرَ اللهُ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يَقَعَ مِنْهُمْ تَغْيِيرٌ، إِمَّا مِنْهُمْ أَوْ مِنَ النَّاظِرِ لَهُمْ، أَوْ مِمَّنْ هُوَ مِنْهُمْ بِسَبَبٍ، كَمَا غَيَّرَ اللهُ بِالْمُنْهَزِمِينَ يَوْمَ أُحُدٍ بِسَبَبِ تَغْيِيرِ الرُّمَاةِ بِأَنْفُسِهِمْ، إِلَى غَيْرِ هَذَا مِنْ أَمْثِلَةِ الشَّرِيعَةِ، فَلَيْسَ مَعْنَى الْآيَةِ أَنَّهُ لَيْسَ يَنْزِلُ بِأَحَدٍ عُقُوبَةٌ إِلَّا بِأَنْ يَتَقَدَّمَ مِنْهُ ذَنْبٌ، بَلْ قَدْ تَنْزِلُ الْمَصَائِبُ بِذُنُوبِ الْغَيْرِ، كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَقَدْ سُئِلَ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ- نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ

 “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Dalam ayat ini Allah memberitahu bahwa Ia tidak mengubah suatu kaum sehingga ada salah satu di antara mereka ada yang mengubahnya (sikap tidak tertib) . Bisa jadi dari golongan mereka sendiri, pengamat, atau faktor penyebab yang masih mempunyai hubungan sebagaimana para pasukan yang dikalahkan pada saat perang Uhud disebabkan penyelewengan yang dilakukan oleh ahli panah. Demikian pula contoh-contoh dalam syari’at.

Imam al-Qurthubi berpendapat, faktor berkurangnya (berhasil-gagal) atau hilangnya kenikmatan yang diterima hamba itu tidak tunggal. Menurutnya, faktor itu bisa murni bersumber dari kesalahan hamba itu sendiri, bisa pula dari kesalahan anggota keluarga atau komunitas sekitarnya.

Sebagaimana terjadi pada perang Uhud. Pasukan Muslimin pada perang Uhud kalah bukan lantaran kesalahan semua pasukan. Hanya ada kesalahan beberapa individu saja tapi orang lain mendapatkan getahnya. Dengan bahasa lain, kesalahan segelintir orang itu berdampak sistemik lalu menggoyahkan kekuatan kelompok secara keseluruhan.

Editor: RF Wuland

Avatar
77 posts

About author
Majelis Pustaka PCM Semin
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *