Saat pasukan Uni Soviet yang komunis akan berangkat di Perang Dunia ll, sebagian diantara mereka melakukan desersi. Mengutip dari Wikipedia, desersi adalah istilah kemiliteran yang berarti pengingkaran tugas atau jabatan tanpa permisi (pergi, bebas, atau meninggalkan) dan dilakukan dengan tanpa tujuan kembali.
Saat melakukan tindakan itu, alasan mereka bisa jadi sangat realistis dan relevan. Sebab mereka tidak tau tujuan berperang mereka apa. “Tidak ada bedanya apakah kami mati sebagai patriot pembela negara, atau sebagai pecundang yang bersembunyi di kolong ranjang, karena kami tak punya Tuhan yang akan membalas perbuatan baik kami di kehidupan selanjutnya!”
Ajaibnya Urusan Orang Mukmin
Urusan di atas tentu akan sangat berbeda dengan urusan orang mukmin. Yang segala urusannya kita yakini sebagai nilai ibadah seorang hamba di hadapan Allah SWT. Balasannya pun tidak main-main. Allah sendiri berjanji dalam firman-nya bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas juga dengan keburukan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Az-Zalzalah, ayat 7 dan 8 sebagai berikut:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Artinya: “Barangsiapa berbuat kebaikan sebesar zaroh pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan sebasar zaroh pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.”
Rasulullah sendiri bersabda bahwa urusan orang mukmin sungguh sangat menakjubkan.
Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Keyakinan ini bisa jadi membawa kita pada pemaknaan syahadat dalam spektrum yang lebih luas di tengah pandemi COVID-19 seperti ini. Terutama kepada mereka, yang saat ini berjuang di garis depan dalam rangka penangganan. Baik sebagai tenaga kesehatan, pekerja lepas yang masih harus menafkahi anak istri, dan juga siapapun yang masih berjuang di tengah pandemi Covid ini.
Keyakinan akan syahadat yang kita ikrarkan menjadi penentu dalam menghadapi situasi ini. Siapapun yang dalam hatinya berkeyakinan bahwa Allah adalah satu satunya penentu kehidupan kemudian dia berusaha secara maksimal serta berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah kemudian dia meninggal dunia, maka ia termasuk mati dalam keadaan syahid, Insya Allah.
Hal itu sesuai dengan pandangan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah yang dimuat dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19, disebut bahwa Wabah Covid-19 adalah salah satu musibah yang merupakan ujian dari Allah atas dasar sifat Rahman dan Rahim Allah, sehingga umat Islam harus menghadapinya dengan sabar, tawakal, dan ikhtiar.
Dalam edaran itu Majelis Tarjih juga menyebut bahwa Pasien Covid-19 meninggal dunia yang sebelumnya telah berikhtiar dengan penuh keimanan untuk mencegah dan atau mengobatinya, maka mendapat pahala seperti pahala orang mati syahid.
Dan siapapun yang masih diberikan oleh Allah kesempatan untuk hidup maka pilihannya adalah hidup mulia. Dengan cara terus bermanfaat bagi orang lain, melakukan perbuatan lebih baik dari hari kemarin, apabila salah segera bertobat kepada Allah, orang yang suka memberi, pemaaf, dan sifat-sifat baik lainnya sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw.
Imam Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir, “Keadaan seorang mukmin semuanya itu baik. Hanya didapati hal ini pada seorang mukmin. Seperti itu tidak ditemukan pada orang kafir maupun munafik.
Keajaibannya adalah ketika ia diberi kesenangan berupa sehat, keselamatan, harta, dan kedudukan, maka ia bersyukur pada Allah atas karunia tersebut. Ia akan dicatat termasuk orang yang bersyukur. Ketika ia ditimpa musibah, ia bersabar. Ia akan dicatat termasuk orang yang bersabar.
Di manakah Kita Setelah Bab ini?
Kita semua tidak tau, kapan pandemi ini akan berakhir. Yang harus kita pastikan adalah kita terus berharap dan berdoa kepada Allah serta selalu berusaha dan tidak pernah menyerah atas segala usaha. Menarik sekali, banyak sekali fenomena masyarakat yang sangat berubah drastis. Yang dulunya banyak lupa dan lali kepada keluarga, saat ini sangat perhatian dan sering berkumpul.
Yang dulu lalai salat, hari ini banyak sekali yang bertobat dan minta pertolongan kepada Allah. Yang dulu bekerja hanya dijadikan sarana memperkaya diri, saat ini sudah banyak yang menyadari bahwa pekerjaannya adalah bagian dari ibadah yang mulia disisi Allah. Konten konten kebaikan diproduksi sedemikian banyak dan menyadarkan kita semua.
Apa yang dituliskan Dr Aidh Al Qarni dalam bukunya, Laa Tahzan agaknya memang sangat relevan dengan kondisi seperti ini. Kita kembali kepada Allah, kita minta pertolongan kepada Allah.
Ketika laut bergemuruh, ombak menggunung, dan angin bertiup kencang, maka para awak kapal pun dengan panik berseru,”Ya Allah”
Ketika orang yang berjalan ditengah gurun pasir tersesat, kendaraan tak tahu lagi jalan yang benar, dan kafilah sudah kebingungan menentukan arah lajunya, maka mereka menyeru, “Ya Allah”
Ketika musibah menimpa, bencana, dan tragedi melanda, maka orang orang pun berseru, “Ya Allah.
Ketika pintu pintu permohonan telah tertutup dan sekat sekat permintaan telah dipasangkan, maka merekapun berteriak,”Ya Allah.”
Ketika semua cara telah dicoba dan tenryata tak ada celah untuk keluar. Ketika semua jalan telah menjadi demikian sempit, semua yang dicita-citakan buntu dan semua jalan pintas telah pupus, maka mereka pun menyeru,”Ya Allah.”
Allah pemilik semua kekayaan, keabadian, kekuatan, pertolongan, kemuliaan, kemampuan, dan hikmah. Pemilik semua kelembutan, perhatian, pertolongan, bantuan, cinta dan kebaikan.
Nanti, setelah pandemi ini selesai. mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing. Apakah syahadat kita masih sama? saat kita menghadapi situasi seperti ini atau sudah berbeda karena lalai?