Berbagai Anggapan tentang Pandemi Covid-19
Ada orang-orang yang menganggap bencana Pandemi Covid–19 ini nyata. Oleh karenanya, mereka berhati–hati. Kalau terpaksa keluar rumah, ya keluar rumah. Kalau tidak terpaksa, ya lebih baik di rumah. Menjaga kebersihan secara ekstra dibanding kebiasaan sebelum–sebelumnya.
Ada orang–orang yang menganggap bencana Pandemi Covid-19 ini setengah tidak nyata. Mereka abai dengan semua kehati-hatian untuk menghindari penyebaran virus. Antara percaya dan tidak bahwa virus itu ada, atau tahu bahwa virus itu ada, tetapi mereka merasa dirinya kebal.
Orang-orang yang menganggap bencana Pandemi Covid-19 ini nyata, tak perlu statistik yang mengerikan, sebagaimana negara–negara yang sudah kewalahan menangani pandemi ini, untuk sadar diri. Mereka merasa justru sebelum statistik mengerikan itu terjadi, sudah berusaha supaya tidak sampai menjadi begitu mengerikan seperti itu statistiknya.
Orang-orang yang menganggap bencana Pandemi Covid-19 ini setengah tidak nyata, bukan hanya perlu statistik yang mengerikan dulu, perlu keluarganya sendiri tertular virus, barulah kemudian merasa harus hati–hati. Bahkan, bisa jadi, itu belum cukup. Perlu ada orang terdekatnya yang meninggal karena virus tersebut, mungkin mereka baru mau berhati–hati.
Ada sesuatu yang kontradiktif perihal persoalan tersebut. Walaupun tidak bisa dijadikan patokan, banyak lho orang yang rajin ke masjid, terkenal sebagai pemeluk agama yang taat, yang menganggap Covid-19 itu sebagai bencana yang setengah tidak nyata. Selalu saja mereka menggunakan dalih “hidup mati di tangan Allah”.
Cerita dari Kampung
Sampai sekarang, dusun saya tidak sepakat perihal Jum’atan. Ada kubu yang sepakat untuk Jum’atan, ada pula kubu yang tidak. Padahal sudah jelas, dari semua ormas, serta organisasi keagamaan yang berafiliasi dengan pemerintah seperti MUI, mengatakan bahwa di masa pandemi seperti ini lebih baik tidak usah dilaksanakan Jum’atan dulu. Di dusun saya, daripada terjadi perdebatan yang berkepanjangan, akhirnya diputuskan, kalau mau Jum’atan silakan, kalau tidak juga silakan.
Apakah dusun saya aman? Sebelum saya jawab, saya jelaskan dulu. Di provinsi tempat tinggal saya sudah ada 38 kasus positif. Di kabupaten tempat tinggal saya sudah ada 6 kasus positif. Pemerintah setempat tidak memutuskan PSBB, sebagaimana yang disepakati oleh para pemimpin kita di pemerintahan sebagai solusi terakhir karena karantina wilayah tidak disepakati. Artinya, masyarakat masih bekerja.
Di antara para pekerja itu, khususnya di dusun saya, bekerja di berbagai tempat. Ada yang tempat kerjanya hanya di wilayah kecamatan saya, ada juga yang di kota. Dan menurut sepengetahuan saya, yang bekerja di kota tidak sedikit. Kita tidak tahu riwayat perjalanan seluruh orang yang bekerja tersebut. Padahal kita juga tidak tahu riwayat perjalanan orang–orang yang positif. Kita tidak tahu sudah berapa orang yang pernah bersosialisasi dengan orang–orang yang positif tersebut. Apalagi tidak ada tes massal, semakin tidak tahu jumlah yang sebenarnya positif Corona. Oleh karena keadaan yang tidak pasti tersebut, dusun saya tidak aman. Membuat kerumunan walaupun itu di tempat ibadah untuk beribadah, menurut saya tindakan yang sangat tidak berhati–hati.
Kalau mengharapkan pemerintah untuk karantina wilayah saja tidak mungkin, karena pemerintah sendiri tidak sanggup menanggung beban ekonomi rakyatnya, siapa lagi yang kita harapkan untuk bisa melakukan upaya preventif kalau bukan komunitas paling kecil seperti masyarakat satu dusun atau kampung ? Intinya, kalau pemerintah sudah tidak bisa membuat rakyat merasa aman, minimal kita sebagai warga di sebuah dusun atau kampung mengupayakan keamanan bagi warga dusun atau kampung kita.
Evaluasi Cara Beragama
Hal tersebut saya kira harus kita jadikan pengingat, bahwa ada yang salah dengan cara beragama kita selama ini. Sampai sekarang, orang yang beragama lebih banyak mengandalkan iman yang buta, alih–alih iman yang berkolaborasi dengan logika.
Kalau kita amati, penceramah agama kita, terutama yang di masjid–masjid dusun atau kampung sering memberikan ceramah yang melulu perihal fikih saja. Ibarat sebuah bangunan, fikih itu pagar. Pagar berguna untuk menjadi pembatas, supaya tidak ada orang yang mencuri, atau apapun saja yang membahayakan rumah kita, masuk ke rumah kita.
Fikih berguna sebagai batasan–batasan bagi manusia supaya tetap berada di jalur yang tepat dalam agama tersebut. Kalau shalat tidak ada tata cara secara fikihnya mungkin saja banyak orang akan membuat improvisasi yang aneh–aneh. Tetapi agama tidak melulu persoalan fikih.
Di dalam agama masih ada akhlak yang tingkatannya lebih tinggi daripada fikih. Nabi Muhammad pernah mengatakan, “Innama bu’itstu li utammima makarimal akhlak (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak)”. Sudah jelas bukan? Akhlak! Bukan ritual ibadah atau yang lain. Perihal akhlak inilah, yang masih jarang disampaikan. Atau malah mungkin kurang semangat menyampaikannya dibandingkan ketika menyampaikan perihal hukuman neraka bagi orang yang tidak melaksanakan ritual ibadah tertentu.
Maka tidak mengherankan jika ada pertanyaan seperti ini, “Kalau kamu mau berangkat Jum’atan melihat orang kecelakaan, dalam posisi sendirian, tidak ada orang yang menolong orang yang mengalami musibah kecelakaan tersebut, apa yang kamu lakukan, lanjut ke masjid atau menolong orang tersebut?” banyak orang akan menjawab, “Berangkat Jumatan, karena hukumnya fardhu ’ain.” Padahal tentu saja, tanpa perlu pertimbangan jumhur ulama pun, keputusan yang paling tepat adalah menolong orang tersebut.
Merespon hal–hal yang semacam itu, ada orang yang menganggap bahwa itu semua adalah salah agama. Karena agama, orang menjadi tidak berperilaku secara logis. Tidak! Sama sekali tidak. Agama tidak salah. Yang salah adalah pemeluk agamanya. Bahkan, air bersih satu ember saja kalau dipegang oleh orang yang salah bisa jadi tidak bermanfaat, digunakan untuk mengguyur orang tanpa alasan, misalnya. Padahal, kalau dipegang orang yang benar, air bersih satu ember tentu saja sangat bermanfaat, misalnya direbus sampai matang lalu digunakan sebagai air minum.
Ada redaksi masyhur yang konon pernah dikatakan oleh Einstein, “Ilmu tanpa agama buta. Agama tanpa ilmu lumpuh.” Sekarang, kita sedang mengalaminya.
Editor: Arif