Pandemi dan Ancaman Nature-Deficit Disorder — “Itu padi kan mbak?” tanya seorang anak perempuan usia kelas 5 SD yang berasal dari ibukota. Dia bertanya dengan nada suara yang sangat meyakinkan. Faktanya, yang ada di depan matanya adalah tanaman jagung. Percakapan singkat 15 tahun yang lalu di lereng Gunung Merbabu, masih sangat membekas dalam ingatan saya.
Sejak peristiwa itu saya berjanji pada diri sendiri, bahwa kelak anak saya minimal bisa membedakan mana jagung dan mana padi. Sayangnya ketika niat untuk mewujudkan janji itu datang, Covid-19 terlanjur menyerang, yang membuat saya dan anak saya kesulitan berinteraksi dengan alam.
Nature-Deficit Disorder
Tahun 2005 dalam bukunya Last Child in the Woods, Richard Louv mengenalkan istilah untuk sebuah kelainan yang disebabkan oleh kurangnya anak-anak berinteraksi dengan alam, yaitu nature-deficit disorder (NDD). NDD tidak masuk dalam daftar penyakit medis yang dirilis oleh WHO atau biasa disebut dengan ICD-10 (10th revision of the International Statistical Classification of Desease and Related Health Problems).
Akan tetapi, dampak dari NDD tidak dapat diremehkan. Diantaranya dapat melemahkan literasi ekologi. Selain itu, juga disinyalir berkontribusi pada kesulitan untuk fokus, kegelisahan, obesitas, serta berbagai penyakit fisik maupun mental. Hal tersebut jelas dapat memengaruhi kualitas hidup manusia.
Bukan hanya anak-anak saja yang dapat mengidap NDD. Orang dewasa yang terlau sering berkegiatan di dalam ruangan juga dapat menunjukkan gejala yang sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ancaman NDD dapat berlaku bagi semua kalangan di berbagai usia.
Berkurangnya interaksi antara manusia dengan alam tidak terjadi begitu saja. Beberapa hal yang memicu adalah adanya perubahan lingkungan fisik dan makin bertambahnya kepadatan penduduk. Perubahan tersebut kemudian memengaruhi keberadaan ruang terbuka hijau.
Lebih lanjut perkembangan teknologi yang tak terelakkan juga sangat mendukung manusia di masa kini untuk berdiam diri dalam ruangan. Namun demikian, sebelum pandemi datang kita masih sangat optimis dapat mengatasi kekurangan waktu berinteraksi dengan alam.
Bagi orang tua yang sibuk bekerja, minimal pada akhir pekan masih dapat meluangkan waktu untuk keluar rumah, baik sendiri maupun bersama keluarga. Pantai, taman, dan hutan adalah tempat-tempat tujuan favorit untuk berinteraksi dengan alam agar terhindar dari NDD.
Di masa pandemi ini, rasa-rasanya optimisme itu telah memudar, kalau tak mau disebut hilang. Terhimpit di antara beberapa pilihan yang tidak menyenangkan: sulit mencari ruang terbuka hijau, adanya kebijakan pembatasan, dan bahkan jika pembatasan telah dilonggarkan, masih ada banyak kekhawatiran orang tua untuk mengajak anak-anak keluar rumah.
Hadirkan Alam ke dalam Rumah
Menghadirkan alam ke dalam rumah dengan berbagai jenis tanaman di halaman adalah solusi paling praktis agar terhindar dari NDD, demikian Louv menyarankan. Halaman rumah boleh dibilang adalah pintu masuk bagi manusia untuk mengenal dan bersentuhan dengan alam.
Pendapat lain menyatakan bahwa menghadirkan alam melalui berkebun secara rutin dapat memberikan efek positif baik secara fisik maupun mental pada manusia. Hal tersebut diungkapkan oleh Richard Thompson dalam jurnal Clinical Medicine, Royal College of Physicians Inggris pada tahun 2018.
Thompson juga menyebutkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan untuk berkebun mampu membakar yang jumlahnya kalori setara dengan olah raga di gym. Dan kita semua tahu bahwa aktivitas fisik juga memengaruhi kesehatan mental seperti menurunkan tingkat stress dan meningkatkan suasana hati.
Namun demikian, pasti banyak yang akan membantah dengan argumen minimnya halaman rumah. Sisa lahan hanya sekian meter berebut dengan tempat parkir dan jemuran, bisa ditanami apa? Ada lagi pertanyaan lain yang mungkin mengganggu, yakni bagaimana melibatkan anak-anak dalam menghadirkan alam ke dalam rumah?
Saat ini banyak cara berkebun di lahan sempit. Baik berkebun secara tradisional dengan memanfaatkan sisa lahan yang tak seberapa maupun hidroponik. Yang paling estetis tentunya berkebun tanaman hias, baik di halaman maupun di dalam rumah. Di sini anak dapat dilibatkan dalam pemilihan jenis tanaman maupun kegiatan menanam itu sendiri.
Berkebun dengan cara hidroponik merupakan cara bertani favorit ala penduduk urban. Selain lebih bersih juga dapat menghasilkan pangan. Beragam sayuran yang sering ditanam menggunakan cara ini adalah sawi, pakchoy, dan selada. Harganya di pasaran pun lebih mahal ketimbang sayuran yang ditanam menggunakan metode tradisional.
Akan tetapi, berkebun hidroponik memiliki kekurangan, yakni mahalnya instalasi yang harus digunakan. Saya sendiri memilih memanfaatkan sejengkal tanah yang tidak seberapa untuk berkebun secara tradisional. Walaupun saya belum bisa menanam padi ataupun jagung. Setidaknya saya telah berhasil memperkenalkan mint, cabai, dan empon-empon kepada anak saya.
Untuk memulai berkebun sebaiknya menggunakan benih yang mudah tumbuh. Sehingga anak-anak lebih semangat dalam berkebun. Apabila anak-anak masih kurang sabaran, dapat juga membeli tanaman yang sudah jadi, lalu perlahan mengenalkan proses pembenihan.
Richard Louv: Seringlah Menengok Dunia Luar melalui Jendela
Cara lain untuk menghadirkan alam ke dalam rumah adalah menggunakan tanaman hias. Kini pamor tanaman hias sedang naik, banyak diburu karena nilai estetikanya. Sehingga harganya menjadi tidak masuk akal. Untuk itu, diperlukan sedikit kejelian agar dapat memboyong flora hias dengan harga yang ramah di kantong.
Apabila masih ada saja kendala untuk menghadirkan alam ke dalam rumah. Richard Louv dalam sebuah wawancaranya dengan New York Times di pertengahan tahun ini, menyarankan agar kita sering menengok dunia luar melalui jendela. Sehingga akan mempersempit kemungkinan kita dan anak-anak kita menderita NDD (nature-deficit disorder).
Editor: Zahra