Perspektif

Parade Kemiskinan dan Potensi Zakat di Indonesia

3 Mins read

Pagi itu saya berjalan kaki menuju Malioboro. Saya berangkat dari bilangan Jl. Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sepanjang jalan yang kurang dari satu kilometer itu, saya bisa menemukan sekitar selusin orang yang tidur di trotoar. Di depan toko-toko yang belum buka. Mereka menggunakan kardus sebagai alas dan juga penutup wajah. Dengan muka kusut dan pakaian seadanya.

Sebagian nampak ‘sedikit’ lebih beruntung: tidur di dalam kursi penumpang becak. Setidaknya tidak di trotoar.

Padahal, saat itu jalanan masih sedikit basah. Sisa hujan tadi malam. Saya berani bertaruh, tadi malam, orang-orang ini terkena tempias hujan. Kecuali mulai datang ke trotoar setelah hujan yang berarti sudah begitu larut.

Pemandangan di sepanjang Jl. Ahmad Dahlan itu tentu jamak kita temui di berbagai kota. Di Indonesia, barangkali setiap kota selalu menyisakan tunawisma.

Kalau Anda ingin melihat pemandangan yang lain, cobalah naik commuter line di Jakarta. Di sepanjang jalan, Anda akan melihat parade kemiskinan yang memanjang mengikuti rute rel kereta. Di kanan kiri rel, masyarakat marjinal terdesak semakin ke pinggiran. Baik dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti metafor.

Suatu ketika, saya berdiri di kamar sebuah hotel di Jakarta di lantai 25. Dari kamar saya yang menghadap ke belakang itu, saya bisa melihat parade kemiskinan lain. Baris-berbaris rumah-rumah kumuh dari kayu, besi, dan seng di bantaran sungai yang begitu kotor. Sebagian rumah menjorok ke sungai. Seperti tak mendapatkan tempat di daratan. Sementara, jika saya ke depan hotel, yang saya lihat adalah kemegahan metropolitan Jakarta.

Mereka itulah orang-orang yang dikategorikan ke dalam kelompok miskin atau miskin ekstrim.

Menurut BPS, orang miskin adalah orang yang tidak mampu mengkonsumsi 2100 kilokalori/kapita/hari. Jika dirupiahkan, angkanya sekitar 550 ribu/bulan. Jadi, orang miskin adalah orang dengan pendapatan kurang dari 550 ribu/bulan.

Baca Juga  Bassam Tibi: Islamisme Berbeda dengan Islam

Menurut Wisnu Setiadi Nugroho, akademisi UGM, tingkat kemiskinan Indonesia pada Maret 2023 adalah 9,36%. Angka ini menurun sedikit setelah di tahun sebelumnya berkisar di angka 9,57%. Hal ini ia sampaikan dalam seminar Refleksi Akhir Tahun: Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesna, Apa Peran Lembaga Zakat? yang digelar oleh Lazismu pada Jumat, (29/12/2023) secara daring.

Presentase tertinggi berdasarkan provinsi ada di Maluku-Papua yang mencapai angka 26,73% untuk pedesaan dan 6,13% untuk perkotaan. Di Jawa, ada 11,81% masyarakat desa yang miskin dan 7,4% masyarakat miskin yang tinggal di kota. Secara keseluruhan, masyarakat miskin kota di Indonesia ada di angka 7,29% dan di desa ada di angka 12,22%.

Dalam hal kemiskinan ekstrim, dengan ukuran yang digunakan oleh pemerintah yaitu pendapatan di bawah US$1.90 per hari, Indonesia berada di angka 1,5% di tahun 2022. Namun, hal tersebut masih jauh panggang dari api jika melihat target pemerintah yang menetapkan 0% angka kemiskinan ekstrim di tahun 2024. Selain itu, 1/3 orang Indonesia masuk ke dalam kategori rentan. Yang artinya akan jatuh ke dalam kemiskinan ketika terjadi shock, seperti Covid-19 atau bencana alam yang frekuensinya meningkat tajam karena krisis iklim.

Tentu, perlu upaya yang komprehensif untuk menyelesaikan ini. Semua pihak perlu terlibat. Termasuk di dalamnya lembaga filantropi atau lembaga ZIS (zakat, infak, sodakoh) seperti Lazismu. Pasalnya, potensi zakat di Indonesia begitu besar, mencapai angka 327 triliun, meskipun penyerapannya baru sampai 6,5%.

Selama ini Lazismu telah melakukan banyak hal melalui enam pilar (ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial dakwah, kemanusiaan, dan lingkungan). Enam pilar ini telah diterjemahkan ke dalam indikator-indikator SDGs (Sustainable Development Goals). Kontribusi Lazismu terbesar berada di goal pertama SGDs, yaitu no poverty, mencapai 61,1%. 30,3% kinerja Lazismu dihabiskan untuk indikator quality education, 18,3% untuk zero hunger, 14,9% untuk good health and well-being, 10,1% untuk sustainable cities and communities, 9,2% untuk climate action, dan 6,5% untuk decent work and economic growth. Sementara sisanya menempati presentase di bawah lima persen.

Baca Juga  Mantan Ketua Umum PP Tapak Suci Afnan Zamhari Meninggal Dunia

Bagaimanapun, Lazismu dan lembaga ZIS yang lain memiliki peran penting dalam pengentasan kemiskinan dan ketimpangan di masyarakat. Dengan pengelolaan zakat yang baik dan tepat sasaran, lembaga zakat dapat menjadi solusi untuk mewujudkan kesejahteraan umat dan mewujudkan pemerataan keadilan dalam ekonomi.

Yang dewasa ini harus dilakukan oleh lembaga filantropi adalah meningkatkan kepercayaan muzakki. Mengingat mayoritas muzakki masih menyalurkan zakatnya secara langsung kepada penerima, seperti penyaluran untuk masjid, yatim, dan seterusnya. Pemberian ini sifatnya karikatif, sehingga memiliki dampak baik, namun tidak sebaik pemberdayaan yang mampu mengubah status penerima dari miskin menjadi mampu, dari mustahik menjadi muzakki. Lembaga ZIS tentu bisa mengelola dana zakat secara lebih maksimal untuk melakukan pemberdayaan di tengah-tengah masyarakat.

Avatar
113 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds