Psikologi merupakan salah satu dari cabang ilmu sosial yang menjadi sasaran utama proses islamisasi. Sejak kongres ilmuwan Muslim pada tahun 1970an hingga sekarang telah berkembang banyak kajian untuk melahirkan atau memugarkan kembali konsep atau teori psikologi yang berdasar nilai-nilai Islam.
Pada level nasional, negara-negara muslim memiliki antusiasme kepada psikologi Islam yang lebih besar ketimbang di tingkat global. Sayangnya, baik pada kedua tingkatan itu, pengembangan psikologi Islam mengalami stagnasi jika tidak dibilang sebagai kemunduran.
Islamisasi mengandung masalah utama pada dua hal. Satu masalah pada kecenderungan yang hanya menjadikan ia sebagai ‘filterisasi’ atas pandangan-pandangan psikologi Barat. Di sini islamisasi menjadikan ilmuwan muslim psikologi reaksioner dan alergi pada apa-apa yang terlanjur di cap ‘Barat’.
Masalah kedua juga masih berkaitan dengan yang pertama dalam hal islamisasi memiliki standar filterisasi yang abstrak dan berorientasi di masa lalu. Satu ilmuwan muslim dan yang lainnya bisa saling menggugat dengan agresif dan bahkan sampai mengkafirkan. Ketimbang menjadi gerakan yang padu, psikologi Islam berakhir menjadi gerakan soliter laiknya riak-riak yang timbul-tenggelam.
Orientasi pada masa lalu sangat kentara dari tema-tema kajian psikologi Islam yang masih banyak berkutat pada wilayah konseptual dan filosofis atau bahkan sekadar implementasi tanpa refleksi pada karya-karya sebagian ulama besar suni klasik.
Hal ini boleh-boleh saja, namun tanpa paradigma berpikir yang lebih renovatif, kondisi demikian justru menutup kemungkinan wilayah kajian yang lebih peka dan solutif atas isu-isu kemanusian hari ini.
Masalah seperti keadilan gender hingga yang sedang ramai saat ini, soal LGBT, selalu dipandang dari kacamata fikih dan masa lalu. Sulit membayangkan muslim, bahkan yang telah berpendidikan tinggi sekalipun, dapat dengan tenang membijaki relasi pria-perempuan dan kaum-kaum termarginalkan seperti para LGBT.
Paradigma Tingkat Pertama: Reseptif-Aplikatif
Meminjam konsep yang digunakan oleh Amin Abdullah (2006), terdapat tiga tingkatan paradigma keilmuan yag relevan untuk membaca psikologi Islam. Paradigma pertama itu disebut dengan aplikatif-reseptif. Paradigma ini jamak dimiliki di akar rumput atau pada masyarakat awam kebanyakan.
Pada tingkatan ini, seseorang menemukan konsep-konsep psikologi Islam seperti sebuah resep dan materi siap pakai. Mereka langsung menerapkan apa-apa yang mereka terima baik di pengajian atau seminar-seminar. Sebagai suatu produk ilmu paripurna yang tinggal digunakan.
Paradigma di tingkat ini tidak membutuhkan pemahaman yang muluk-muluk mengenai konsep-konsep teoritis. Melainkan, sekadar sebagai pengembangan wawasan.
Yang terpenting di sini adalah adanya keyakinan bahwa psikologi Islam memiliki jawaban pada setiap jengkal masalah ummat. Dan ummat pun cukup sami’na waatho’na menjalankan solusinya.
Ironisnya, tidak hanya para awam, banyak pula ilmuwan yang masih terjebak di tingkat ini. Mereka adalah yang sekadar mencari dan mengulang apa yang sudah diterima sebagai model penanganan psikologis berbasis Islam. Mereka menguji keabsahan dan ketangguhan model itu dan menemukan hasil yang memuaskan.
Namun mereka ini sering tidak sadar. Metodologi mereka minim kualitas untuk menjustifikasi hasil penelitian. Serta, kajian pustaka mereka yang tidak teliti, gagal mengungkap bahwa banyak keteledoran pada studi-studi sebelumnya. Walhasil, suatu kesimpulan yang meyakinkan belum dapat ditarik pada banyak bidang kajian psikologi Islam.
Paradigma Kedua: Sakralis-Revivalis
Di tingkatan yang lebih tinggi, terdapat mereka dengan paradigma sakralis-revivalis. Para ilmuwan ini sejatinya hampir mirip dengan yang pertama. Namun, mereka melakukan studi yang lebih mendalam kepada literatur-literatur para ulama dengan mendetail untuk menemukan bagaimana ulama ini memandang manusia dan psikologi Islam.
Bagi mereka, karya-karya terdahulu pada zaman keemasan Islam atau dari para ulama besar adalah karya yang banyak tidak tersentuh. Mereka berasumsi terdapat banyak permata yang terpendam dan belum digali karena muslim terlalu lama disilaukan oleh kebesaran ilmuwan psikologi Barat.
Di samping itu sebetulnya, mereka memiliki inferioritas dalam diri dan fanatisme berlebih kepada para ulama. Mereka sebagai ilmuwan psikologi modern adalah muslim dari zaman yang lemah. Sedangkan, ulama itu hidup dalam generasi kemajuan puncak Islam. Belum lagi, keyakinan bahwa para ulama itu memiliki keunggulan moral-spiritual yang tidak bisa ditandingi.
Mereka bisa berbusa-busa membicarakan suatu pendapat, konsep atau teori psikologi para ulama, tanpa berani mengkritik dan mengevaluasinya. Sebabnya, ulama adalah pewaris para nabi, dan nabi adalah juru bicara Tuhan. Maka, melawan ulama berarti melawan nabi demikian pula Tuhan.
Retorika demikian hanya dalih bagi ketidakpercayaan diri untuk meneliti dan mengembangkan teori psikologi sendiri. Bertalian dengan itu, mereka seringnya menutup mata atau memang abai kepada kenyataan pembaharuan pada metodologi ilmu yang terjadi sejak zaman para ulama.
Eksperimentasi dan survei, misalnya, belum dikenal dan digunakan luas di zaman itu.
Jangan dipikir mereka ini tidak berbahaya. Jumlah mereka yang dominan menjadikan iklim intelektual psikologi para muslim seperti belum ‘move-on’ dari seribu tahun lalu.
Akhirnya mereka tidak pernah siap menghadapi masa depan dengan berbagai tantangannya, yang hadir karena pengembangan yang kilat pada teknologi dan industrialisasi.
Masalah intersepsi dan manipulasi pada data pribadi demi peningkatan intensi konsumsi dibarengi eksploitasi dan polusi alam berorientasi pada legitimasi produksi akan sulit masuk ke radar dan menjadi kegelisahan intelektual mereka. Jelas saja, karena itu bukan masalah psikologis di zaman ulama-ulama lama yang mereka buntuti.
Paradigma Puncak: Konstruktif-Kreatif
Paling penting bila ingin menjadikan psikologi Islam sebagai suatu ilmu yang kaya adalah sebelumnya para ilmuwan memiliki paradigma yang kondusif bagi pengayaan keilmuan. Paradigma yang pertama (reseptif-aplikatif) hanya membawa taklid. Paradigma kedua (sakralis-revivalis) hanya mendaur-ulang tanpa penguasaan metode serta sikap penelitian yang kritis dan penerimaan pada fakta empiris.
Maka dibutuhkan paradigma puncak yang bersifat konstruktif-kreatif. Ilmuwan muslim psikologi yang mengambil paradigma ini akan berpikir bagaimana ia dapat mendekati hakikat manusia dengan presisi.
Mereka juga memahami bagaimana hakikat itu saat ini direduksi dan apa yang bisa dilakukan untuk merestorasi.
Implisit dalam pandangan ini kesadaran sistemik dan kesadaran historis (Abdullah, 1996). Pada yang pertama, ilmuwan psikologi melihat suatu teori, konsep atau pandangan sebagai bagian dari suatu sistem berpikir yang lebih besar. Mereka tidak berdiri sendiri melainkan merupakan elemen yang koheren dengan elemen pemikiran lain yang berhubungan.
Berikutnya kesadaran historis menjadikan seorang ilmuwan psikologi mengenali bahwa konstruk dan sistem ilmu tadi merupakan sesuatu yang diproduksi pada suatu titik sejarah.
Para ulama pada titik itu bekerja dengan menggunakan perangkat keilmuan paling mutakhir yang mereka miliki.
Kedua hal yang implisit tadi, baik kesadaran sistem dan kesejarahan akan membawa kepada kesimpulan bagi seorang ilmuwan bahwa produk psikologi Islam hakikatnya juga merupakan hasil ijtihad yang membutuhkan renovasi di masa kini.
Tidak lagi dipandang pemikiran psikologi Islam sebagai suatu kultus melainkan sebagai sebuah materi. Pun apa yang hadir dari Barat bukan suatu yang haram sepenuhnya.
Dari apa yang ada di psikologi Islam di masa lalu, dan Barat di masa kini itulah maka seorang ilmuwan psikologi membangun sintesa: suatu psikologi yang rahmatan lil-alamin.
Paradigma Multi-Inter-Transdisiplin
Akan tetapi paradigma konstruktif-kreatif tidaklah lengkap. Ia belum memiliki aspek praktis yang dapat ditindaklanjuti pada tataran aksi. Maka paradigma ini pun tidak dapat menjadi paradigma keilmuan yang mengantarkan psikologi Islam ke arah baru secara konkrit.
Setidaknya paradigma itu dapat bekerja sebagai sebuah ‘mindset’ atau suatu sikap mental serta semangat yang membara untuk mengembangkan psikologi Islam ketimbang hanya menyalin-ulang seperti selama ini.
Adapun paradigma yang lebih efektif dalam mengimbangi semangat pengembangan psikologi Islam adalah paradigma multi-inter-transdisiplin.
Kunci dari paradigma ini adalah menolak relasi lama antara ilmu psikologi dan khazanah intelektual Islam yang bersifat arogan satu sama lain (Abdullah, 2020).
Baik keilmuan islam dan keilmuan sosial umum bukan dua hal yang sepenuhnya saling menyelisihi dan sepenuhnya benar. Mereka sama-sama produk historis, hasil dari sistematisasi yang dilakukan para intelektualnya (Abdullah, 1996).
Maka ketimbang independen atau bahkan berkonflik, relasi yang tepat di antara keduanya adalah relasi integrasi dan interkoneksi. Keilmuan Islam dan Barat perlu bekerjasama mensilahturahmikan metodologi hingga teori lantas mendekati fenomena dengan kemutakhiran yang dapat disumbangkan dari masing-masing disiplin (Abdullah, 2006).
Syarat mutlak dalam paradigma ini bahwa seseorang ilmuwan bekerja memahami kedua sisi, baik tradisi Islam dan keilmuan umum atau Barat, sebelum mampu memproduksi sintensis keduanya.
Dialektika kedua ilmu itu bahkan dapat berujung kepada kebutuhan untuk melampaui: mencapai level transenden atas sistem keilmuan yang eksis.
Pada titik itulah maka pengembangan psikologi Islam tidak lagi berkutat di tataran teori melainkan pada meta-teori. Suatu meta-teori adalah bangunan sistem ilmu yang koheren yang dapat melahirkan berbagai teori-teori lain.
Tercapainya fase ini, fase dimana diskursus yang dominan mengenai multiteori, interteori, dan trans/meta-teori merupakan indikator telah berjalannya psikologi Islam on the track menjadi benar-benar suatu mazhab besar dalam ilmu-ilmu sosial. Suatu mazhab psikologi yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan mental bagi semua.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. A. (2020). Multidisiplin, Interdisiplin & Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer. Yogyakarta: IBPustaka.
Abdullah, M. A. (2006). Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. A. (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Editor: Yahya FR