Perspektif

Pasca Aman Abdurrahman, Bagaimana Nasib Kelompok Pro ISIS?

3 Mins read

Beberapa waktu belakangan beredar sebuah video seruan pemimpin ideologis dan pendiri kelompok teroris pro Islamic State di Indonesia, Aman Abdurrahman.

Dalam video itu, terpidana mati tunggu Aman Abdurrahman dengan suara yang parau dan lesu menyeru para pendukungnya untuk meluruskan persepsi mereka soal amaliyah jihad. Singkatnya, Aman menyerukan para simpatisan teroris untuk bertobat total.

“Ketika orang hidup di darul kufr itu menggunakan ayat-ayat sabar, menahan dari mengganggu orang lain dengan tindakan apapun”, terang Aman yang dulu bersujud syukur saat divonis mati pada 2018 lalu. Sebuah pernyataan paradoks dari Aman Abdurrahman yang dikenal dengan keteguhannya pada ideologi radikal pegangan kelompok pendukung ISIS di Indonesia.

Pemikiran radikal Aman yang menjadi platform utama kelompok teroris tidak lain ialah mengkafirkan segala hal yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam murni versinya.

Pemahaman ini terlukis dalam buku-buku tulisan Aman. Demikian pula dalam teks terjemahan para gembong jihadis dari Timur Tengah. Serta video dan rekaman ceramah Aman yang terus beredar dan menjadi referensi di jejaring media sosial pendukung jihadis di Indonesia.

Pengaruh Aman Abdurrahman dalam Media Sosial

Selama nyaris dua tahun ke belakang, saya melakukan penelitian etnografi digital di dalam jaringan media sosial pendukung Islamic State di Indonesia. Sosok Aman Abdurrahman dan pemikirannya memberi warna yang kental dalam beragam diskusi.

Karena itu pula Aman alias Oman Rochman diputus bersalah oleh pengadilan karena menggerakkan orang melakukan aksi terorisme. Memang, Aman Abdurrahman dalam pembelaannya mengklaim bahwa tidak ada seruannya yang langsung mengajak pada aksi-aksi terorisme.

Namun demikian temuan penelitian menunjukkan bahwa narasi takfiri Aman merupakan tangga pertama menuju radikalisasi dan kemudian terorisme. Riset juga menunjukkan pola radikalisasi pendukung ISIS pada masa pandemi Covid-19. Melalui YouTube yang menyebarkan ceramah-ceramah Aman Abdurrahman, tersedia tautan untuk masuk dalam grup Telegram semi rahasia, di sanalah proses radikalisasi dimantapkan.

Baca Juga  Agamis dan Ateis: Apa Selalu Tegang?

Pola ini dilengkapi dengan masuk dalam grup Telegram rahasia yang secara terbuka menyerukan aksi terorisme dan melaksanakan baiat setia secara virtual. Lantas, setelah seruan tobat dari pemimpin ideologisnya, bagaimana peta pergerakan ancaman kelompok pro Islamic State di Indonesia?

Akankah Kelompok Pro-ISIS Bubar?

Kita patut meyakini bahwa ancaman terorisme dari ideologi dan kelompok pro Islamic State di Indonesia tidak serta merta tereduksi. Bila dilihat secara makro, penurunan aksi terorisme selama pandemi Covid-19 sebenarnya tidak berbanding lurus dengan berkurangnya ancaman terorisme.

Data faktual menunjukkan sejumlah tidak kurang dari 598 terduga teroris berhasil ditangkap dalam rentang waktu Maret 2020 hingga akhir tahun 2021. Artinya, ancaman terorisme berhasil dicegah, namun tentu bukan berarti nihil ancaman.

Merespons deklarasi ISIS di Irak oleh Abu Bakar al-Baghdadi pada tahun 2014, Aman Abdurrahman menginisiasi kelompok Jama’ah Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia. Tanpa jejaring komunikasi langsung Indonesia-Suriah, Aman menyeru pada kelompoknya untuk menyatakan kesetiaan baiat pada ISIS dan pemimpinnya Abu Bakar al-Baghdadi.

Setelahnya, JAD menjadi wadah radikalisasi yang berujung pada rangkaian panjang aksi terorisme dan fasilitasi anggotanya untuk berangkat berhijrah ke Suriah dan Irak. Dari sini sebenarnya tergambar bahwa jaringan pendukung ISIS di Indonesia lahir sebagai sebuah brand, layaknya sebuah usaha waralaba, ideologi ISIS diterima oleh para pendukungnya Indonesia serta merta dengan segala embel-embel simboliknya.

***

ISIS tidak datang ke Indonesia sebagai sebuah struktur organisasi, ia datang dalam bentuk ideologi dan keyakinan. Hal ini pula tergambar setelah tewasnya al-Baghdadi pada 2019 lalu, selain berhasil meregenerasi diri, ideologi dan aktivitas ISIS di episentrum konflik juga tidak drastis menurun, bahkan dalam beberapa kasus di beberapa daerah justru meningkat.

Baca Juga  Blessing in Disguise, Hikmah Peniadaan Haji di Indonesia

Adagium terkenal “pena lebih dahsyat ketimbang pedang” adalah perumpamaan yang cocok. Bahwa ide dan keyakinan terus berkembang terlepas dari kehilangan kuasa wilayah dan kepemimpinan. Ini menjadi salah satu kekuatan utama kelompok jihadis di seluruh dunia.

Pada level simpatisan individu, ideologi adalah kekuatan yang menggerakkan, terlepas dari faktor lainnya seperti kepentingan politik, kekuatan pendanaan, dan kesempatan dalam konteks kelompok.

Dari gerakan simpatisan perorangan itu pula lahir serangan-serangan lone wolf yang marak terus berkembang. Kultur ideologi kekerasan dan mengkafirkan ini pula berkembang serupa “senjata makan tuan”.

Kelompok pendukung ISIS dikenal sebagai spektrum kelompok jihadis yang paling ekstrem ketimbang afiliasi kelompok lainnya seperti Jama’ah Islamiyah. Aktivitas mengkafirkan dan konflik internal adalah hal lumrah. Buktinya, seruan pertobatan Aman di YouTube segera mendapat respons penolakan dari para pendukungnya sendiri. Kini Aman dinilai telah murtad dan tidak perlu lagi ditaati.

Tidak Berakhir di Sini

Para peneliti terorisme memang telah memetakan sebab-sebab bubarnya suatu kelompok teroris. Betul, salah satunya ialah hilangnya pimpinan kelompok atau pergeseran pemahaman ideologis. Keduanya masing-masing menempati urutan pertama dan ketiga dari 10 sebab utama bubarnya kelompok teroris versi Cronin (2006) dan Weiberg serta Perlinger (2010).

Namun, perkembangan kontemporer menunjukkan perubahan dinamis yang berbalikan. Seruan Aman berpotensi dinilai angin lalu bagi sebagian, dan pada saat yang bersama berpeluang mendapat respons positif.

Sebetulnya, persoalan ideologis dan seruan-seruan jihad Aman Abdurrahman hanya satu dari sekian banyak fenomena serupa di Indonesia. Ancaman ekstremisme kekerasan tidak berhenti sampai pada kasus Aman. Sayangnya, kita menjumpai narasi ekstrem radikal serupa dari spektrum kelompok yang lebih luas lagi. Beragam riset menunjukkan bahwa terdapat irisan-irisan dekat antar narasi yang disemburkan oleh kelompok pendukung teroris dan kelompok intoleran di Indonesia.

Baca Juga  Mahasiswa Stres, Bukti Pendidikan Agama Cuma Dianggap Formalitas

Kedekatan antar narasi tersebut adalah celah-celah munculnya terorisme. Misalnya seruan-seruan Indonesia bersyariah yang bila dipenggal akan senafas dengan seruan bahwa sistem yang berlaku di Indonesia ialah sistem buatan manusia yang jauh dari kehendak Tuhan. Dari kesamaan narasi tersebut terbuka celah menuju rekrutmen dan radikalisasi yang kemudian mengkristal dalam bentuk aksi-aksi intoleransi, kekerasan, bahkan terorisme.

Keadaan semacam ini telah gamblang kita jumpai di dunia maya dan di hadapan kita. Untuk itu, tentu kita mesti menyambut positif seruan pertobatan Aman Abdurrahman pada kelompoknya, sekalipun dampaknya pada pelemahan ancaman terorisme boleh jadi tidak signifikan.

Oleh karenanya, penting bagi seluruh komponen bangsa untuk juga berfokus pada pemutusan penyebaran narasi intoleransi, yang mirip dengan narasi Aman Abdurrahman sebelumnya, dapat menjadi celah radikalisasi dan berkembangnya aksi terorisme.

Editor: Yahya FR

Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds