Sore itu saya duduk sendirian di sebuah kedai kopi di jalan utama Kota Edinburgh. Kafe di lantai tiga sebuah gedung itu menghadap langsung ke Kastil Edinburgh, kastil yang menjadi saksi berbagai peperangan merebut kemerdekaan dari Pemerintahan Inggris di London.
Jalanan Princess Street di bawah tampak begitu rapi. Transportasi umumnya sangat maju. Penataan jalan begitu cantik dan elok. Ribuan turis setiap hari memenuhi jalanan. Tak terlihat kemacetan—apalagi polusi—walau sedikit. Kota ini terlampau indah untuk ditinggali.
Namun tentu saya tak lupa, peradaban yang begitu maju di Inggris ini dihasilkan dari proses penjarahan sumber daya yang begitu panjang. Negara ini pernah menjadi imperium terbesar dan terkuat di muka bumi. Hasil alam di Afrika, Asia, dan Amerika banyak diangkut untuk kepentingan orang-orang kulit putih di Britania.
Sami Abu Wardeh, artis keturunan Palestina di Inggris dalam pertunjukan tadi malam menceritakan sebuah lelucon. Ada tentara Irlandia, Palestina, dan Inggris sedang duduk di sebuah kedai teh. Masing-masing ditanya oleh pelayan kedai tentang bagaimana cara mereka menyajikan teh. Tentara Irlandia menjawab, “aku menyajikan teh dengan susu”. Tentara Palestina menjawab, “aku menyajikan teh dengan irisan lemon”. Sedangkan si Inggris menjawab, “aku menyajikan teh dengan mengambilnya terlebih dahulu di India”.
Begitu pertunjukan selesai, di pintu keluar teater ia membagikan selebaran yang saya tidak asing. Itu adalah poster pertunjukkan Alaa Shehada, seorang artis keturunan Palestina yang lain, berjudul The Horse of Jenin, yang pernah saya saksikan bulan lalu.
The Horse of Jenin adalah pertunjukan terbaik yang pernah saya lihat di kota yang cantik ini. Melebihi pertunjukan Abu Wardeh itu sendiri. Alaa menggunakan komedi tunggal, drama, dan musik untuk menceritakan sebuah ironi: patung kuda setinggi 5 meter dari rongsokan besi di tengah Kota Jenin, Palestina yang diambil paksa oleh tentara Israel. Padahal kuda itu adalah salah satu—dari sedikit—simbol kebanggaan dan perlawanan masyarakat Jenin. Alaa kecil konon ingin membawa kuda itu ke Ramallah untuk ditunjukkan kepada Yasir Arafat, presiden pertama dan deklarator negara Palestina.
Besi-besi yang digunakan untuk membangun patung kuda itu berasal dari reruntuhan puing-puing bangunan yang dihancurkan oleh Israel pada invasi tahun 2002, setelah intifada kedua meletus. Dibangun oleh seorang seniman dari Jerman yang datang ke Jenin untuk memberikan dukungan moral.
Kuda yang menjadi tempat bermain Alaa ketika remaja, tempat ia diam-diam bertemu dan bertukar surat dengan kekasih hatinya, direnggut oleh Israel. Dengan kelakar, Alaa berkata: “kuda itu memang sedang merancang molotov untuk dilempar ke IDF!”
Alaa ingin menyampaikan pesan, bahwa segalanya telah diambil oleh Israel. Tanah, rumah, hingga simbol seperti patung kuda. Palestina memang bisa dibilang sudah habis. Seorang kawan, ketika diskusi di kelas Arab-Israeli Conflict, berkata, peace process is just a process.
Penjajahan Palestina memang tidak hanya tentang tanah. Tapi juga tentang identitas, eksistensi. Para ahli menyebutnya settler-colonialism. Sebuah upaya menghapus sebuah bangsa—Palestina—dan menggantinya dengan yang baru—Yahudi. Persis dengan apa yang dilakukan di Amerika, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Di mana penduduk asli dibantai hingga nyaris sempurna, lalu pendatang mengambil alih semua yang tersisa di bumi yang kaya dengan sumberdaya.
Proses kolonialisme itu melibatkan penjajahan tanah, politisasi kewarganegaraan, hingga penjajahan wacana dan simbol. Politisasi kewarganegaraan digunakan oleh Israel untuk membatasi pergerakan penduduk Palestina. Jika Anda berpikir bahwa kebebasan untuk bergerak adalah salah satu hak dasar manusia, hal ini tidak berlaku jika Anda adalah orang Arab yang tinggal di Palestina. Gaza adalah penjara terbuka terbesar di dunia. Anda tidak bisa sembarangan keluar masuk kota yang telah hancur sehancur-hancurnya itu. Tepi Barat, kendati kondisinya sedikit lebih baik, Anda tidak bisa bebas bergerak. Lihatlah peta Tepi Barat yang tersebar di internet. Wilayah tersebut kini menjadi enklaf-enklaf kecil yang terpisah satu sama lain, berbentuk bulatan-bulatan yang saling berjarak. Di setiap enklaf, terdapat pos pemeriksaan yang sulit sekali ditembus. Membuat aktivitas ekonomi—apalagi politik—lumpuh total.
Bayangkan Anda tinggal di sebuah kecamatan, yang di luar kecamatan itu sudah beda negara, dan Anda tidak memiliki visa untuk menyeberang ke negara tersebut. Yang artinya Anda akan terus berada di kecamatan itu sampai, entah kapan.
Sementara itu, simbol-simbol perlawanan terus mendapatkan represi. Algoritma media sosial diatur sedemikian rupa aliran informasi tentang kejahatan penjajah tidak terekspos. Jurnalis-jurnalis dibunuh. Kampus-kampus dihancurkan. Di Barat, kampus yang tidak bisa dihancurkan, dibeli. Agar pimpinan tidak bicara kritis. Agar tidak ada dana yang dicabut dari investasi ke industri-industri yang terlibat dalam genosida.
Di Princess Street, tiba-tiba sebuah tram membunyikan bel kencang. Membuyarkan lamunan saya. Namun saya ingin selalu ingat, bahwa patung kuda di Jenin, kata Alaa, kini bukanlah patungnya lagi. Patung itu adalah milik kita semua. Ia menunggu kita, di tempat yang gelap nan sepi, untuk dibebaskan.

