Pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H, Soekarno-Hatta, sebagai proklamator dan juga presiden/wakil presiden pertama RI, membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pembacaan proklamasi tersebut disaksikan oleh banyak pejuang dan rakyat dengan hati yang gembira. Karena, merasa sudah terbebas dari penjajahan yang sudah sangat lama menimpa bangsa dan rakyat Indonesia.
Momen bersejarah ini diselenggarakan di sebuah rumah hibah dari Faradj bin Said bin Awadh Martak, Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. 17 Agustus 2020, 75 tahun genap Indonesia merdeka dari penjajahan sekitar 3.5 abad lamanya. Bak bayi yang baru lahir, bangsa ini sudah cukup banyak menggonta-ganti sistem pemerintahan. Mulai dari presidensial, parlementer, demokrasi liberal, hingga demokrasi terpimpin.
Dilema Sistem Pemerintahan
Tanggal 18 Agustus 1945, tepat sehari setelah Proklamasi dibacakan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan sistem pemerintahan Indonesia. Adapun anggota PPKI, yaitu Soekarno, Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Ki Hadjar Dewantara, Otto Iskandar, Radjiman, Soepomo, Soeroso, Sutardji, dan Wahid Hasyim.
Rapat yang dilakukan oleh para founding fathers tersebut, memakan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Masing-masing membawa gagasan yang menurutnya paling relevan dengan kondisi bangsa Indonesia yang majemuk.
Ki Bagus Hadikusumo misalnya, beliau memperjuangkan nilai Islam agar tetap ada dalam sistem dan bentuk pemerintahan Indonesia. Berbeda dengan Hatta, yang menurut Ki Bagus sangat liberal. Dengan perdebatan dan adu argumen yang banyak memakan waktu, maka lahirlah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar konstitusi. Isinya memuat seluruh hal yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia berserta tujuannya.
Selain itu, ditetapkan pula sistem presidensial yang dianggap tepat dan sesuai dengan keadaan di Indonesia kala itu. Namun, sistem presidensial yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta tidak berlangsung tanpa hambatan. Salah satu hambatannya adalah Belanda masih belum rela jika ladang jajahannya menjadi bangsa yang berdaulat.
Lahirnya PDRI
Menurut Mr. S.M Rasjid dalam Sekitar PDRI, ia mengatakan bahwa Indonesia sebagai target Belanda tidak akan bisa terealisasikan. Sebab, bangsa dan negara Indonesia masih memiliki Pemerintah yang sah, yakni Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Sejarah yang berhubungan dengan kelahiran Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah ketika terjadinya agresi militer Belanda yang kedua. Pasukan kerajaan protestan Belanda melancarkan aksi militer kedua di ibukota negara, yakni Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Para tentara Belanda kala itu berhasil menawan dan menangkap Soekarno-Hatta serta beberapa Menteri lainnya. Namun, tidak dapat menangkap Panglima Besar Jendral Soedirman.
Keberhasilan Belanda dalam melaksanakan aksinya, tidak menjadikan Pemerintah Republik Indonesia runtuh. Bangsa Indonesia masih bisa menjawab tantangan agresi militer tersebut dengan perang gerilya, yang diperankan oleh para ulama, santri, dan rakyat.
Sejalan dengan itu, Resolusi Jihad kaum muslimin 21-22 Oktober 1945, menyatakan permintaan kepada pemerintah. Permintaan tersebut di antaranya adalah meminta pemerintah melakukan suatu sikap yang nyata untuk menangkal usaha apapun yang dapat menjatuhkan agama dan kemerdekaan Indonesia. Tambahnya, dengan melanjutkan perjuangan yang bersifat Sabilillah demi mempertahankan tegaknya Republik Indonesia dan Islam.
Sebelum terjadi penangkapan oleh pihak Belanda terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Soekarno-Hatta menuliskan sebuah telegram. Telegram pertama itu ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kala itu ia masih menjabat sebagai Menteri Kemakmuran Republik Indonesia. Isi dari telegram tersebut ialah untuk membentuk sebuah Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Berikut teks telegram pertama yang dikirimkan Soekarno-Hatta kala itu:
Mandat Presiden Soekarno/Wakil Presiden Hatta kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara.
Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah memulai serangannya di atas ibu kota Yogyakarta.
Jika Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden Wakil Presiden
Soekarno Moh. Hatta
Presiden yang Terlupakan
Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah Jilid 2, menjelaskan latar belakang Soekarno-Hatta mengirim pesan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara. Syafruddin yang juga berasal dari partai Islam Indonesia, Masyumi, ditunjuk untuk menjadi Ketua PDRI. Hal ini dikarenkaan partai Islam Indonesia, Masyumi, selalu menunjukkan loyalitasnya yang tinggi terhadap kepemimpinan Soekarno-Hatta serta Panglima Besar, Jendral Soedirman.
Loyalitasnya tersebut dapat dilihat saat kudeta 3 Juli 1964 di Yogyakarta oleh Komunis Nasional Tan Malaka. Sikap loyalitas lainnya juga ditunjukkan ketika kudeta PKI di Madiun 19 September 1948 oleh Amir Sjarifoeddin dan Moeso.
Berdasarkan surat tersebut, Mr. Syafruddin Prawiranegara berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra beserta seluruh jajarannya. Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI yang loyal, tetap mengakui Presiden dan Wakil Presiden adalah Soekarno-Hatta. Kendati, mereka masih dalam penangkapan oleh Belanda.
Masa pemerintah darurat yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara tidak lama. Tanggal 13 Juli 1949, ia menyerahkan kembali mandat tersebut kepada Hatta yang kala itu juga merangkap sebagai Perdana Menteri.
Namun, sejarah tidak mencantumkan nama Syafruddin Prawiranegara masuk dalam jajaran presiden yang pernah memimpin bangsa Indonesia. Mengapa?
Karena pada dasarnya, Syafruddin Prawiranegara tidaklah menyalahgunakan amanah ini untuk menjadikan dirinya sebagai Presiden PDRI, tetapi hanya sebagai Ketua PDRI.
Editor: Nirwansyah