Songkok lazim dijumpai sebagai pelengkap pakaian pria tradisional masyarakat Kepulauan Melayu. Misalnya Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand Selatan. Di Indonesia sendiri, istilah songkok terkadang disebut juga peci atau kopiah.
Penggunaan songkok di Nusantara mulai populer di awal abad ke-20. Pemakai songkok tidak hanya dari kalangan umat Islam saja. Sebab, songkok atau peci hitam dianggap sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia. Seiring berjalannya zaman, peci menjadi atribut yang lazim dipakai oleh masyarakat Indonesia termasuk juga para birokrat pemerintahan di Republik Indonesia.
Asal-Usul Penamaan Songkok
Perihal penamaannya, Songkok menurut KBBI artinya penutup kepala kaum lelaki yang terbuat dari bahan kain beledu. Ia disebut “songkok” di semenanjung Melayu. Sedangkan, di Jawa disebut “kopiah” atau “kopeyah”. Ini juga dikenal luas di Indonesia sebagai “peci”, meskipun peci umumnya memiliki bentuk yang lebih elips dan kadang-kadang dihiasi beragam motif.
Pemakaian songkok di Indonesia dapat ditelusuri kembali ke masa penyebaran agama Islam di Nusantara. Pada saat itu, para pedagang dan ulama dari Timur Tengah membawa ajaran agama Islam ke kepulauan Indonesia.
Dalam beberapa penelitian, Songkok diketahui penyebarannya melalui pedagang dan ulama Timur Tengah yang datang ke Nusantara pada abad ke-13.Selain songkok, terdapat juga penutup kepala lainnya yang dikenalkan para pedagang yaitu sorban/kuffiyah. Yang kemudian, mereka juga membawa budaya dan tradisi Islam, termasuk dalam hal berpakaian.
Terdapat juga kemungkinan adanya pengaruh budaya Turki Usmani terhadap pemakaian songkok atau peci di Indonesia. Sebabnya, banyak monarki Islam di Nusantara yang menjalin relasi dengan Dinasti Ottoman di Turki. Istilah songkok di Turki dikenal disebut dengan Fez atau Tarbus. Penutup kepala ini identik dengan kopiah stambul berwarna merah yang dipakai masyarakat Ottoman.
***
Pemakaian kopiah di kawasan Melayu juga tercatat dalam beberapa hikayat (karya sastra lama). Misalnya, dalam Hikayat Iskandar Muda terdapat catatan mengenai pemakaian peci di abad-17 M. Dalam Hikayat Banjar (1663 M) menyebutkan pasukan khusus dari Majapahit, Bhayangkara, juga memakai peci sebagai penutup kepala mereka.
Berdasarkan penamaannya, topi berbentuk oval berbahan kain beledu ini ada yang menyebutnya peci, ada juga yang menyebutnya kopiah, dan juga dikenal sebagai songkok. Asal kata “peci” terdapat beberapa versi. Misalnya, kalau merujuk dari penamaan di Turki, topi ini diberi nama Fez atau Fezzi.
Sedangkan, menurut etimologi lainnya, peci berasal dari bahasa Tiongkok yaitu “Petje” yang artinya topi kecil. Dalam teori lain, penamaan peci dari bahasa Tiongkok lainnya yaitu “Pe Chi” artinya delapan energy, yang maknanya alat untuk penutup bagian tubuh yang bisa memancarkan energinya ke delapan penjuru angin. Pada umumnya, peci yang berkaitan dengan teori Tiongkok ini berbentuk setengah bola.
Ada juga yang menyebut topi ini dengan nama “Kopiah” yang berasal dari akronim bahasa Jawa (keratabasa) yaitu Kosong kerono di-pyah. Maksudnya kosong karena dibuang (sifat-sifat buruk). Teori lain menyebutkan penyebutan kopiah berasal dari kata Kuffiyah, penutup kepala tradisional dari Timur Tengah. Budaya menutup kepala ini kemudian sampai ke Nusantara oleh para pedagang Timur Tengah di masa lalu. Maka, penutup kepala tersebut familiar penyebutannya oleh orang-orang Nusantara dengan nama kopiah.
Apapun definisi penutup kepala yang telah disebutkan pada tulisan ini merujuk pada penutup kepala berbentuk oval dan berwarna hitam yang akan kita sebut Peci Nasional atau Songkok Nasional. Sebab, pemakaian atribut tersebut melekat pada sosok Soekarno sang penyambung lidah rakyat Indonesia.
Penggunaan Peci dalam Konteks Sosio-Historis
Penggunaan atribut peci dewasa ini dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan dan alasannya. Bila ditinjau dari tujuannya, maka pemakaian peci ditujukan pada konteks peribadatan, kemasyarakatan, dan kelembagaan. Pertama, peribadatan umat Islam. Peci identik dengan pakaian seorang muslim ketika melaksanakan ibadah salat. Kedua, acara kemasyarakatan. Pemakaian peci dalam konteks kegiatan sosial bermakna kerapian penampilan, adaptasi lingkungan, dan budaya. Ketiga, aturan kelembagaan atau organisasi yang melegalkan penggunaan peci sebagai salah satu ciri khas.
Ditinjau dari alasannya, pemakaian peci didasari motif sebab terjadinya suatu fenomena. Pertama, karena aturan. Beberapa lembaga atau organisasi mewajibkan anggotanya memakai peci sebagai keseragaman penampilan. Kedua, karena kemauan sendiri. Tak dipungkiri bahwa ada orang yang memakai peci dalam kesehariannya karena memiliki alasan tersendiri. Ketiga, pengaruh budaya. Warna budaya pada suatu tempat dapat berimplikasi pada orang disekitarnya. Misalnya seorang santri yang baru saja masuk pesantren, usai beradaptasi mestinya ia akan terbiasa pada kultur busana disana.
Pada masa pra-kemerdekaan, pemakaian songkok lumrah bagi kalangan pesantren. Mayoritas umat muslim menggunakan songkok, baju koko, serta sarung sebagai simbol religiusitas. Baik dipakai ketika beribadah maupun menuntut ilmu.
Di waktu yang sama juga terdapat budaya memakai penutup kepala yang lain. Contohnya orang Jawa proletar menggunakan kain iket, bagi orang Jawa aristokrat memakai blangkon sebagai penutup kepala. Orang Sunda memakai udeng atau totopong. Orang Bali memakai destar. Orang Palembang memakai tanjak. Kebanyakan penutup kepala masyarakat Nusantara didominasi dari bahan kain.
***
Seperti halnya berbagai aspek kebudayaan kebanyakan, busana menjadi sarana untuk mengungkapkan pendapat mengenai isu-isu sosial dan politik. Contohnya pada masa penjajahan Belanda, penguasa kolonial Belanda memiliki kontrol terhadap gaya berpakaian masyarakat Nusantara.
Terdapat penelitian mengenai interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940. Jean Gelman Taylor menemukan bahwa ada pengaruh akulturasi pada bagian tertentu pakaian gaya Barat pada busana orang-orang Jawa waktu itu. Pria-pria Jawa mulai meniru busana gaya Barat. Namun, terdapat hal yang menarik, penutup kepala seperti blangkon atau songkok tak pernah lepas dari kepala mereka.
Pada masa menjelang kemerdekaan, tepatnya tahun 1913, Tiga Serangkai mengenalkan songkok ke sebuah pertemuan besar. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara menghadiri rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag, Belanda. Mereka menggunakan atribut penutup kepala yang mencerminkan sebagai politisi Indische Partij dari Hindia Belanda.
Ketiga politisi tersebut masih menunjukkan identitas busana masing-masing. Ki Hajar menggunakan topi fez Turki yang populer di kalangan nasionalis pada masa itu berkat kemunculan Revolusi Turki Muda di Kekaisaran Ottoman. Tjipto menggunakan kopiah beludru hitam, Sedangkan Douwes Dekker memakai topi bowler.
Songkok: Simbol Kepribadian dan Nasionalisme
Pemakaian songkok dianggap sebuah simbol kesederhanaan dan nasionalisme. Soekarno sebagai presiden RI pertama memaknainya sebagai atribut kepala yang mempersatukan bangsa. Dalam sebuah wawancaranya bersama Cindy Adams, Soekarno menceritakan sebuah pertemuan Jong Java pada tahun 1921. Dimana beliau maju berbicara dalam rapat tersebut mengenai simbol kepribadian Indonesia. Kata Soekarno “Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”
Setelahnya, Soekarno selalu memakai peci hitam ketika tampil dalam acara-acara publik. Hingga menjelang kemerdekaan, peci menjadi simbol nasionalisme bagi bangsa Indonesia. Hal ini juga mempengaruhi cara berpakaian kalangan intelektual orang non-Islam pada waktu itu.
Soekarno membuat peci yang melekat di kepalanya menjadi suatu simbol bangsa Indonesia. Simbol sebagai identitas bangsa dapat diciptakan seiring perkembangan zaman. Efek psikologis tersebut dapat disadari maupun tidak oleh setiap individu. Di balik penggunaan peci hitam di Indonesia bukan lagi identik dengan atribut religiusitas semata, namun juga sebagai bentuk kepribadian dan sikap nasionalisme setiap pemakainya.
Referensi
https://tfr.news/articles/2021/4/23/kekuatan-pakaian-dalam-politik.
https://theconversation.com/its-2019-whats-the-proper-way-for-politicians-to-dress-126968.
Manggolal, A. & Thadi R. (2021). Fenomenologi Alfred Schutz: Studi Tentang Motif Pemakaian Peci Hitam Polos. JOPPAS: Journal of Public Policy and Administration Silampari, 3(1), 19-25.
Hadiwijaya, W. (2019). Kopiah/Peci Sebagai Salah Satu Atribut Bangsa Indonesia. JOurnal of Applied Science, 1(2), 31-40.
Kertamukti, R. (2013). Komunikasi Simbol: Peci dan Pancasila. Jurnal Komunikasi PROFETIK, 6(1), 53-66.
Editor: Soleh