Perspektif

Ancaman Pandemi Baru: Virus G4

3 Mins read

Belum lama ini, sebuah penelitian yang diterbitkan secara daring dalam jurnal sains PNAS, menunjukkan adanya potensi pandemi baru. Ya, yang disebabkan oleh virus G4. Sebagaimana diungkapkan para peneliti, virus G4 merupakan turunan dari flu babi H1N1. Yang sebelumnya strain virus H1N1 telah menyebabkan pandemi pada tahun 2009 lalu.

Mengenal Virus G4

Dalam penelitian berjudul “Prevalent Eurasian avian-like H1N1 swine influenza virus with 2009 pandemic viral genes facilitating human infection” tersebut, para peneliti juga melaporkan bahwa virus ini sudah menular dari hewan ke manusia.

Liu Jinhua dari Universitas Agrikultur Tiongkok, yang memimpin tim dalam penelitian memperkirakan, bahwa strain flu ini sangatlah berbahaya. Dan bahkan berpotensi besar menjadi pandemi. Alasannya sederhana, yakni karena inti dari virus ini adalah virus flu burung dengan campuran strain mamalia di dalamnya. Sementara manusia sama sekali tidak punya kekebalan terhadap virus ini.

Sialnya lagi, sebagaimana diwartakan The New York Times, strain yang ditemukan baru-baru ini sudah ada di peternakan babi Tiongkok sejak 2016 lalu. Dan bereplikasi secara efisien di saluran pernafasan manusia.

Sejauh ini, virus tersebut telah menginfeksi beberapa orang tanpa menyebabkan penyakit. Meski para ahli kesehatan tetap khawatir hal itu dapat menjadi lebih buruk meski tanpa adanya gejala dan peringatan awal sekalipun.

Ancaman Pandemi

Penelitian tersebut juga mengungkapkan, bahwa sebanyak 10,4 persen orang yang bekerja di peternakan babi sudah terinfeksi flu tersebut. Selain itu, 4,4 persen dari populasi Tiongkok secara umum juga sudah terpapar atau terinfeksi virus G4.

Lantas, bagaimana respons pemerintah Tiongkok? Tentu, masih sama seperti saat pertama kali virus corona jenis baru, atau SARS-CoV-2, menginfeksi negara mereka. Negeri Tirai Bambu dengan tegas menolak penelitian tersebut seraya mengatakan bahwa itu “tidak representatif”.

Baca Juga  Benarkah Pakai Masker Ketika Berolahraga itu Berbahaya?

Seperti diberitakan oleh kantor berita Perancis AFP, Kementerian Luar Negeri Tiongkok bergerak cepat untuk meredam kekhawatiran tersebut.

“Virus G4 yang disebutkan dalam laporan terkait adalah subtipe dari virus H1N1. Para ahli telah menyimpulkan bahwa ukuran sampel dari laporan ini kecil dan tidak representatif,” kata juru bicara kementerian luar negeri Zhao Lijian.

Zhao juga menambahkan, bahwa departemen dan pakar yang relevan akan terus meningkatkan pemantauan penyakit. Yakni dengan mengirim peringatan dan menanganinya tepat waktu.

Borok Lama di Kulit Baru

Tentu kita masih ingat pada awal tahun 2020. Saat dunia masih begitu pagi dalam menjajaki tahun yang baru. Tiongkok dikejutkan dengan penemuan virus yang menjangkiti kota Wuhan, Provinsi Hubei. Tepat saat perayaan Imlek, negeri tersebut dirundung kepanikan dengan serangan si penyakit yang belum pernah mereka temui sebelumnya.

Pemerintah mengambil langkah taktis. Peneliti dan tenaga medis diterjunkan untuk menyelidiki virus. Militer dikerahkan untuk menertibkan warga. Sementara warga, khususnya Wuhan, dihimbau untuk patuh, melakukan karantina dan membatasi aktivitas di luar rumah.

Sayangnya, virus dengan cepat menyebar. Hingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan di akhir Februari bahwa wabah ini telah menjadi pandemi. Setelah negara-negara lain seperti Iran dan Italia terdampak begitu parah.

Sayangnya lagi, persebaran terus meluas. Meski kini di beberapa negara pandemi telah mereda, namun harus diingat bahwa hingga hari ini ada 519.418 orang yang meninggal secara global karenanya. Demikian data yang dihimpun Worldometers per Kamis (7/2).

Bukan hanya korban jiwa. Pandemi telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan, utamanya ekonomi. Yang mana, bisnis menjadi hancur, banyak pekerja di rumahkan, hingga banyak yang mengalami gangguan kesehatan mental. Dunia dihajar payah oleh virus corona.

Baca Juga  Enam Tips Pendidikan Jarak Jauh yang Efektif dan Fun

Siapa yang Salah?

Menjustifikasi satu pihak dan satu faktor saja, rasanya tidak fair untuk dilakukan dalam kondisi yang sudah terlanjur ambyar ini. Namun, poinnya bukanlah sebagai bentuk justifikasi, tetapi sebuah evaluasi agar kesalahan berikutnya tak kembali dilakukan.

Ketika kasus di Tiongkok mencapai angka 300. Pemimpin negara tersebut dengan lantang mengatakan kepada publik bahwa, “pejabat yang menutup-nutupi kasus baru akan dipermalukan seumur hidup”. Namun, hal ini bisa dikatakan aneh, setidaknya jika kita melihat laporan dari South China Morning Post.

Dalam laporan tersebut, yang didapat dari data resmi pemerintah, kasus pertama tercatat sejak 17 November. Dengan korban pertama adalah pria berusia 55 tahun asal Provinsi Hubei. Sejak saat itu, setiap harinya terjadi penambahan satu hingga lima kasus per harinya.

Rumah Sakit Jinyintan di Wuhan menyebut, bahwa mereka pertama kali merawat pasien pada 1 Desember 2019. Padahal, pada pertengahan November saja, jumlah kasus diperkirakan telah mencapai belasan. Yang kemudian memuncak pada akhir tahun dengan lebih dari 300 kasus. Hingga akhirnya dunia tahu bahwa Tiongkok sedang “tidak baik-baik saja” beberapa hari berselang, saat Imlek.

Melihat Tiongkok merupakan negara dengan demografi yang padat. Dengan mobilisasi yang tinggi, serta mudah dan intensnya kontak dengan jiran maupun negara-negara non-regional. Harusnya transparansi terkait kapan dan siapa kasus pertama terjadi harus dilakukan.

Dengan langkah tersebut, negara lain juga akan menjadi lebih siap dalam melakukan penanganan, setidaknya dalam hal tracking. Karena persebaran virus corona yang begitu cepat dan masa inkubasi yang begitu lama, yakni 14 hari.

Langkah Tiongkok, yang bisa dibilang (bukan sepenuhnya) “terlambat” dalam membuka transparansi data kasus awal mereka, membuat negara lain terkan imbasnya. Istilah butterfly effect versi itu: satu kepakan sayap di Wuhan, menyebabkan topan di seluruh dunia.

Baca Juga  Menumbuhkan Secure Attachment di Tengah Pandemi

Kini, Tiongkok dihadapkan pada virus baru. Belajar dari kasus virus COVID-19. Paling tidak, Tiongkok harus belajar bagaimana transparansi data begitu penting. Jika kondisi pandemi ini tidak ingin dilanjutkan ke babak “tambahan waktu”.

***

Pada abad ke-20, Tiongkok memiliki seorang  penulis hebat bernama Zhou Shuren, atau awam kita panggil Lu Xun. Ia pernah mengatakan dalam satu kutipan legendarisnya bahwa sesuatu yang harus dihindari dalam hidup manusia adalah kesalahan yang sama. Katanya,

Borok lama di kulit yang baru

Lu Xun

Hari ini, kita akan melihat, apakah Tiongkok akan mengingat kutipan Lu Xun atau tidak.

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
3 posts

About author
Ahmad Efendi Yunianto, mahasiswa Sejarah UNY sekaligus wartawan kampus di LPM Philosofis. Penulis di salah satu media berita daring dan aktif mengirimkan esai ke media cetak maupun daring.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *