Gagasan penyusunan Pedoman Hisab Muhammadiyah telah lama muncul di benak penulis. Tepatnya ketika terlibat di Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Prof. Asjmuni Abdurrachman (1990-1995). Keinginan semakin kuat ketika menulis disertasi. Dalam proses penulisan disertasi, banyak hal ditemukan tentang hisab rukyat di Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Adanya kecenderungan pemikiran hisab dan rukyat pada kedua ormas besar tersebut, sangat dipengaruhi oleh pemikiran pribadi para tokoh. Kadangkala belum menjadi keputusan organisasi tetapi sudah dianggap sebagai keputusan organisasi.
Melihat realitas seperti itu, sebagai ormas modern tentu perlu memikirkan pedoman hisab yang dapat dijadikan acuan dan dikaji secara terbuka kelebihan dan kekurangan metode yang digunakan. Selain itu, proses regenerasi di bidang ilmu astronomi Islam (Ilmu falak) dapat berjalan dengan baik. Sekaligus generasi berikutnya tidak mengalami kesulitan dalam memahami pemikiran hisab yang dipedomani oleh persyarikatan Muhammadiyah.
Menyadari pentingnya sebuah pedoman hisab bagi Muhammadiyah, maka ketika penulis menjadi sekretaris Divisi Hisab dan Pengembangan Tafsir (1995-200), menyampaikan keinginan tersebut dalam Rapat Pimpinan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) yang langsung dipimpin oleh ketua MTPPI bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah.
Para peserta rapat yang hadir menyambut baik gagasan tersebut dan meminta divisi menyiapkan draft naskah. Pagi hari sekitar pukul 06.00 WI, penulis ke Rumah Ustadz Abdur Rachim di Kompleks Perumahan dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menindaklanjuti hasil rapat.
Sebagai sekretaris, seperti kebiasaan sebelumnya, penulis ke Rumah Ustadz Abdur Rachim ketika ada hal-hal penting terkait kegiatan divisi. Setelah berdiskusi, beliau menyampaikan poin-poin penting yang perlu dimasukkan dalam draft pedoman hisab Muhammadiyah.
Selain draft pedoman hisab, Divisi Hisab dan Pengembangan Tafsir juga mendapat tugas menyiapkan Proposal Tafsir Tematik. Selama ini tafsir yang berkembang di tengah-tengah masyarakat bersifat individual dan tidak komprehensif. Oleh karena itu perlu penafsiran kolektif dan komprehensif yang mampu mengakomodasi berbagai pandangan dan menampung aneka ragam disiplin ilmu.
Respons Terhadap Kehadiran Tafsir Tematik
Dalam tafsir tematik, tema-tema yang akan dikaji adalah berkaitan problem-problem yang dihadapi umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Adapun tema-tema aktual yang diangkat yaitu : (1) Al-Qur’an tentang keimanan dan akhlak, (2) Al-Qur’an tentang ekonomi dan perniagaan, (3) Al-Qur’an tentang keadilan dan kesejahteraan sosial, (4) Alqu’ran tentang kerukunan hidup umat beragama, (5) Al-Qur’an tentang linkungan hidup, (6) Al-Qur’an tentang komunikasi dan informasi, (7) Al-Qur’an tentang pengembangan sumber daya manusia, (8) Al-Qur’an tentang hak azazi manusia, (9) Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, (10) Al-Qur’an tentang kebudayaan, (11) Al-Qur’an tentang wanita, (12) Al-Qur’an tentang kesejahteraan keluarga, (13) Al-Qur’an tentang sejarah, dan (14) Al-Qur’an tentang kepariwisataan.
Penulisan tafsir direncanakan selesai dalam waktu empat tahun secara bertahap (1997, 1998, 1999, 2000). Setiap tahun diusahakan dapat menyelesaikan empat tema kajian sesuai dengan urutan skala prioritas. Sedangkan, penulisan naskah pedoman hisab direncanakan selesai pada tahun 1999. Dalam perjalanannya, penulisan tafsir menjadi skala prioritas. Tema pertama yang diangkat adalah kerukunan hidup umat beragama dan menghasilkan buku “Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antar Umat Beragama”, cetakan pertama terbit pada Juli 2000.
Reaksi atas Buku “Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antar Umat Beragama”
Kehadiran buku Tafsir Tematik mengundang reaksi dari internal maupun eksternal Muhammadiyah. Internal Muhammadiyah yang sangat keras menolak kehadirannya adalah MTPPI Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka meminta agar buku Tafsir Tematik ditarik dari peredaran.
Pihak eksternal yang sangat keras adalah Majelis Mujahidin Indonesia dikoordinir oleh M. Thalib. Pihak-pihak yang menolak menganggap buku Tafsir Tematik membawa virus paham “semua agama sama”, sangat berbahaya dan merusak akidah islamiyah.
Dalam waktu bersamaan draft pedoman hisab juga telah tersusun dan siap untuk dikaji. Pada saat itu, ada dua pandangan yang berkembang. Pertama, berkeinginan pedoman bersifat praktis dan mudah dipahami. Pandangan kedua, meminta pedoman tidak semata-mata praktis tetapi harus dilengkapi dasar pemikiran dan argumentasi akademik. Untuk menjembatani keduanya, naskah yang sudah tersusun, diperbaiki sesuai masukan-masukan yang berkembang. Dan hasil revisi diserahkan kepada sekretariat.
Pedoman Hisab dan Software Hisab Muhammadiyah
Periode kedua kepemimpinan Prof. Syamsul Anwar sebagai ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2010), penulis diberi amanat menjadi Ketua Divisi Hisab dan Iptek. Tentu saja amanat ini sangat berat mengingat SDM di bidang hisab tidak banyak. Padahal organisasi besar ini (Muhammadiyah), menyandang predikat sebagai ormas Islam pertama di Indonesia yang menggunakan hisab dalam penentuan awal bulan kamariah.
Untuk itu langkah pertama, penulis melakukan pendataan ahli hisab Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Berdasarkan data yang terkumpul, dipetakan sebaran ahli hisab Muhammadiyah dan dibuatkan program penguatan kualitas melalui berbagai pelatihan. Targetnya masing-masing wilayah memiliki kader yang handal di bidang hisab.
Selain proses kaderisasi di bidang astronomi Islam (ilmu falak), program unggulan divisi adalah melanjutkan penyusunan naskah pedoman hisab yang telah lama tertunda dan membuat software hisab Muhammadiyah. Bagi penulis, jika pedoman hisab dan software hisab Muhammadiyah bisa diwujudkan, maka akan mempermudah proses kaderisasi.
Alhamdulillah atas pertolongan Allah melalui kerja keras dan kekompakan tim penulis dan perancang software, naskah pedoman hisab dan software dapat diselesaikan. Keduanya dikaji dalam Rapat Pimpinan dan memperoleh berbagai masukan agar pedoman dan software lebih baik dan tidak ada masalah di kemudian hari.
Hasil perbaikan naskah pedoman hisab dikaji kembali dalam Rapat Pimpinan, sedangkan software hisab ada kendala teknis sehingga tidak dapat dikaji dalam rapat. Akhirnya rapat memutuskan naskah Pedoman Hisab Muhammadiyah layak dibawa ke Musyawarah Nasional Tarjih. Pada Munas ke- 27 di Malang tanggal 16-19 Rabiul akhir 1431 H/ 1-4 April 2020 M naskah pedoman hisab dibahas di Komisi.
***
Patut diketahui saat itu naskah pedoman hisab yang akan dikaji dalam Munas sudah berbentuk buku sehingga pedoman tersebut terkesan sudah final. Sayangnya selesai Munas dan belum ada perbaikan naskah Pedoman Hisab Muhammadiyah dalam bentuk buku dan file PDF sudah tersebar luas. Bagi mereka yang tidak memahami posisi buku tersebut maka akan menemukan berbagai kesalahan yang serius.
Komisi Hisab dipimpin oleh bapak Sjamsul Arifin utusan dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Beliau salah seorang ahli falak yang disegani di Jawa Timur dan tingkat nasional. Dalam pembahasan di komisi, ada beberapa hal yang menjadi perhatian para peserta yaitu konsep fajar (Subuh) antara konsep yang terdapat pada halaman 54 tidak sama dengan contoh perhitungan pada halaman 69.
Begitu pula konsep wujudul hilal dan relevansinya bagi upaya penyatuan kalender Islam. Pada halaman 54 dinyatakan bahwa waktu Subuh saat matahari berada 18 derajat dibawah ufuk (atau jarak zenith matahari = 108 derajat), sedangkan pada halaman 69 contoh proses perhitungan awal Subuh ketika menghitung sudut waktu matahari menggunakan saat matahari berada 20 derajat di bawah ufuk.
Perbedaan dalam Menyikapi Konsep Awal Subuh
Dalam menyikapi perbedaan konsep awal Subuh dan proses perhitungannya para peserta Munas Tarjih terbelah menjadi dua kelompok. Pandangan pertama menyatakan sebaiknya awal Subuh mengikuti konsep awal yang terdapat pada halaman 54. Mereka berargumentasi bahwa -20 derajat tidak memiliki dasar yang kuat. Hasil riset terkini menunjukkan bahwa awal Subuh ketika matahari berada 18 derajat di bawah ufuk bagian Timur.
Kelompok kedua berpendapat awal Subuh tidak perlu diubah selama belum memiliki data observasi yang memadai dengan kata lain penggunaan -20 derajat masih bisa dipertanggungjawabkan. Akhirnya pimpinan sidang berpendapat perubahan menuju yang lebih baik sesuai tuntunan syar’i dan sains merupakan sebuah keniscayaan.
Meskipun demikian, perlu didukung data yang valid dan komprehensif. Oleh karena itu sambil menunggu hasil riset tentang fajar yang komprehensif draft naskah awal waktu salat Subuh dapat diterima dan tetap menggunakan -20 derajat. Selanjutnya pimpinan sidang menyampaikan, apakah bisa disepakati? Hadirin serentak menjawab setuju.
Penentuan Awal Bulan
Pembahasan berikutnya bab IV tentang penentuan awal bulan terdiri kedudukan hisab dan kriteria awal bulan, pedoman penentuan awal bulan, dan contoh cara melakukan perhitungan. Respons pertama disampaikan oleh Utusan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan bapak K.H. Jayatun. Menurutnya konsep wujudul hilal yang terdapat pada halaman 78 naskah Pedoman Hisab Muhammadiyah perlu dikaji ulang, khususnya ketika wilayah Indonesia membelah menjadi dua bagian.
Dalam kasus seperti ini wilayah bagian Timur (Makassar) mengalami kesulitan. Pandangan ini diperkuat Dr. Ali Parman yang menyatakan salah satu hal yang perlu diselesaikan dalam forum ini terkait penentuan awal bulan kamariah adalah mencari jalan keluar agar sesama pengguna wujudul hilal tidak terjadi perbedaan,
Sebagian yang lain berpandangan konsep wujudul hilal yang dirumuskan dalam naskah Pedoman Hisab Muhammadiyah sudah memadahi dan tidak perlu dipersoalkan dan jika ada kasus wilayah Indonesia membelah menjadi dua bagian maka penyelesaiannya bisa menggunakan konsep wilayatul hukmi. Suasana sidang cukup hangat masing-masing bertahan dengan argumentasi yang dimiliki.
Di sela- sela “ketegangan” penulis mencoba memahami pandangan kedua belah-pihak. Apa yang disampaikan K.H. Jayatun dan Dr. Ali Parman tidaklah berlebihan dan sangat beralasan karena mereka mengalami langsung seperti kasus pada tahun 1381 H/1962 M wilayah Indonesia membelah menjadi dua bagian. Sebelah Barat Makassar posisi hilal di atas ufuk, sedangkan sebelah Timur Makassar posisi hilal dibawah ufuk.
Dalam surat edaran tertanggal 26 Januari 1962, No. III/IV.A/1962 Muhammadiyah menyatakan untuk daerah sebelah Barat Makassar Idul Fitri 1381 H/1962 M jatuh pada hari Rabu Pahing bertepatan dengan tanggal 7 Maret 1962 M, sedangkan daerah sebelah Timurnya jatuh pada hari Kamis Pos 8 Maret 1962. Ini menunjukkan sesama pengguna wujudul hilal terjadi perbedaan.
***
Sementara itu pandangan yang menyatakan konsep wujudul hilal tidak perlu diubah juga bisa dipahami karena merujuk salah satu keputusan Munas Tarjih ke-25 di Padang Sumatera Barat tentang wilayatul hukmidalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menjembatani pandangan yang berkembang penulis menawarkan jalan tengah, konsep wujudul hilal tetap dipertahankan namun unsur-unsur yang disebutkan pada halaman 78 perlu dirumuskan.
Pada halaman 78 unsur no. 3. semula tertulis “pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud)” menjadi “pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud) di Seluruh Wilayah Indonesia”. Tambahan kalimat di Seluruh Wilayah Indonesia akan mewujudkan kemantapan bagi wilayah bagian Timur dan kesatuan hari raya bagi warga Muhammadiyah sekaligus memberi ruang untuk membangun kebersamaan dengan pihak lain. Usulan ini dterima dalam rapat untuk dibawa ke Pleno. Pada saat pleno sebagian peserta menerima sebagian yang lain menolak.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.