Perspektif

Pembacaan Kritis Terhadap Hadis (Tanggapan untuk Hatib Rahmawan)

4 Mins read

Oleh: Muhammad Abdullah Darraz*

Saya merasa tersanjung, karena tulisan saya di IBTimes.ID, mendapat respon dari saudara Hatib Rahmawan, seorang dosen pengampu Ilmu Hadis dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Tulisan itu sendiri sebetulnya secara iseng saja saya tulis setelah membaca dua buah karya Syahrur, Tajfif Manabi’ al-Irhab (2008) dan al-Din wa al-Sulthah: Qiraah Mu’ashirah li al-Hakimiyyah (2018, cet. Ke-4). Di kedua buku tersebut, terdapat satu pembahasan tentang hadis “al-’asyrah al-mubasysyirin bi al-jannah” yang disampaikan Syahrur ketika membicarakan konsep al-Walla wa al-Barra’.

Hadis dan Pembacaan Kritis

Melalui tulisan ini, saya ingin memberikan tanggapan balik terhadap uraian yang disampaikan oleh saudara Hatib, terkait apa yang menjadi pokok analisis Syahrur tentang keberadaan hadis 10 orang yang dijamin/diberi kabar baik masuk surga “al-’asyrah al-mubasysyrin bi al-jannah”.

Pertama, saya tidak terlalu yakin bahwa Syahrur menggunakan teori Strauss soal oposisi biner dalam membaca hubungan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Mungkin dia menggunakan teori ini pada topik lain, tapi tidak pada topik ini. Tanpa harus menggunakan teori itu, sebetulnya dalam narasi-narasi sejarah Islam klasik, kita akan dengan sangat mudah menemukan bagaimana pertentangan yang terjadi antara kaum Muhajirin dan Anshar, terutama pasca Rasul wafat.

Setidaknya, kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh al-Thabari dan al-Baladzuri telah sangat jelas dan panjang lebar merekam mengenai sengketa yang terjadi antara kaum Quraisy-Muhajirin dan Kaum Anshar-Madinah.

Hal ini tak lain terkait dengan pertikaian politik-kekuasaan. (Lebih detail tentang hal ini, lihat tulisan saya yang berjudul “Khilafah, Bay’ah dan Pembentukan Otoritas Politik-Keagamaan dalam Islam” pada Darraz (ed.), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme, Bandung: Mizan, 2017)

Baca Juga  Pemanfaatan Dana Infak Masjid Menurut Muhammadiyah dan NU

Bahkan menurut simpulan Khalil Abdul Karim, peristiwa Saqifah yang menjadi cikal-bakal pem-bai’at-an Abu Bakar sebagai khalifah pertama pasca nabi wafat itu bukanlah sebuah dialog yang berjalan mulus dan menghasilkan kesepakatan secara aklamasi. Dialog Saqifah adalah satu perdebatan yang juga mengundang paksaan dan kekerasan. Khalil Abdul Karim menyebutnya sebagai al-hiwar bi al-silah (dialog dengan pedang).

***

Buntut dari peristiwa Saqifah itu, seorang tokoh utama kaum Anshar, yang pertama kali hendak mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pengganti Rasul, yakni Sa’ad bin Ubadah, sampai akhir hayatnya menolak untuk mem-bai’at. Baik kepada Abu Bakar maupun kepada Umar selepas Nabi Muhammad wafat.

Bukan hanya tidak mau mem-bai’at dua khalifah dari kalangan Muslim-Quraisy-Muhajirun itu, tapi ia juga tidak mau ikut salat berjamaah dan berhaji bersama keduanya (Abu Bakar dan Umar bin Khattab).

Hingga akhirnya ia menyadari bahwa Negara Madinah dan kepemimpinan politik hanya milik kaum Quraisy. Lalu ia pun memutuskan untuk pergi ke Syam dan melakukan gerakan bawah tanah menjadi oposan di sana.

Jika kita percaya pada narasi-narasi sejarah semacam ini, pertentangan dan pertikaian antara para sahabat ini adalah satu fenomena yang patut kita sesalkan. Karena di kemudian hari, yang terjadi bukan hanya sekedar pertikaian, namun juga terjadi peperangan “berkuah darah” (dalam istilah yang dipakai Buya Syafii Maarif) antar kaum mukmin yang telah mengorbankan puluhan ribu jiwa.

Kedua, dalam kerangka pembahasan tentang konsep al-Walla wa al-Barra (Loyalitas dan Pembangkangan), Syahrur ingin menunjukkan bahwa konsep yang sebetulnya mulia ini bisa dengan mudah diselewengkan menjadi sesuatu yang jauh dari apa yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Singkatnya, menurut Syahrur, loyalitas dan pembangkangan yang bersifat teologis (loyalitas dan penerima tentang keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus penolakan terhadap berbagai hal yang merusak keimanan itu) bisa dengan mudah ditundukkan menjadi loyalitas politis dengan latarbelakang kesukuan demi meraih kekuasaan politik.

Baca Juga  Membumikan Konsep Pancasila Sebagai Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah

Adanya hadis al-’asyrah al-mubasysyirin bi al-jannah diragukan oleh Syahrur. Karena menurutnya, Rasul tidak mungkin hanya menyebutkan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga itu hanya dari kalangan kaum Quraisy-Muhajirin dan mengabaikan kaum Anshar.

***

Sebetulnya dengan meragukan konten hadis-hadis seperti ini, Syahrur ingin menunjukkan sikap kritis terhadap hadis-hadis yang dirasa bertentangan dengan isi Al-Qur’an. Hal ini juga berlaku dengan hadis-hadis semisal yang bernada politis, seperti hadis “al-Aimmah min Quraisy” (Pemimpin itu berasal dari Kaum Quraisy), atau “Hadza al-Sya’nu ba’di fi Quraisy” (Perkara kepemimpinan ini setelahku ada di tangan Quraisy).

Lebih jauh, Syahrur mempertanyakan, jika benar ada hadis-hadis seperti itu, bukankah yang demikian merupakan bagian dari fanatisme kesukuan terhadap Quraisy (ta’asshub li quraisy)? Bagaimana tanggapan kaum Anshar ketika mendengar hadis tersebut? Bagaimana menimbang kebenaran hadis-hadis ini dengan timbangan Al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13, misalnya?

Kita percaya ada hadis-hadis yang menggambarkan tentang kemuliaan para sahabat itu, termaauk Sahabat Anshar. Bahkan kita dituntut untuk percaya pada keutamaan dan kebajikan yang telah mereka lakukan. Namun sejauh mana kepercayaan itu harus dipertahankan.

Karena dalam hal ini, masih tersisa ruang kosong untuk akal kritis mempertanyakan persoalan tersebut. Dan persoalan ini sama sekali tidak berada pada ranah keimanan. Di lain pihak, kita menemukan narasi sejarah yang membeberkan realitas yang sama sekali bertolak belakang dengan citra mereka ketika mereka masih hidup bersama Rasulullah.

Ketiga, sekali lagi pembacaan kritis yang dilakukan oleh Syahrur terhadap hadis-hadis itu disandarkan pada dua hal, yakni pembacaan secara kritis terhadap narasi-narasi sejarah dan pembacaan terhadap isyarat yang ada dalam Al-Qur’an.

Persoalannya adalah adakah umat ini istikamah dan konsisten untuk mewujudkan apa yang dinyatakan di dalam kitab suci itu? Ataukah justru sebaliknya. Mungkin semasa Rasulullah masih hidup, atas pengayoman dan bimbingan dari Rasul, kaum mukminin bisa menjaga idealitas dalam menjalankan agama ini.

Baca Juga  Pernikahan Dini: Warning Bagi Keluarga Sakinah

Namun siapakah yang bisa menjamin, jika setelah Rasul wafat, kita dihadapkan pada watak-watak para sahabat yang sangat manusiawi, tidak luput dari khilaf dan kekeliruan. Karena sejatinya, mereka bukanlah seorang nabi seperti Muhammad yang senantiasa mendapat bimbingan wahyu agar tidak terjerumus pada dosa dan kesalahan.

***

Keempat, dari uraian poin ketiga di atas, Syahrur melihat secara lebih kritis mengenai kegagalan kaum beriman ini dalam menghadapi perkara politik kekuasaan, terutama sejak Rasul wafat.

Nilai-nilai Islam yang universal tentang kemanusiaan, persaudaraan, perdamaian, dan persatuan seharusnya bisa menjadi payung bagi kehidupan politik umat Islam. Bukan sebaliknya, ditanggalkan dan dicampakkan dalam pertikaian meraih kekuasaan.

Wallahu a’lam.

* Kader Intelektual Muhammadiyah, Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Garut
Editor: Yahya FR
Avatar
30 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds